x

Pabrik tekstil. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

budiawan santoso

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita, Industri, dan Penghijauan Lahan

Terhadap lingkungan sekitar, migrasi pabrik tekstil memberi dampak sosial, budaya, psikologi, dan ekologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rabu, 5 Juli 2017, ketika mau berangkat ke desa Doplang, Karangpandan, Karanganyar, ada pesan masuk dari seorang teman di telepon genggam saya. Pesan itu bernada minta tolong untuk dibelikan koran lokal tertanggal hari itu juga. Pesan darinya saya sanggupi, sebab ia sedang berada di luar kota Solo, tepatnya di Blora.

Setelah mendapatkan koran, ternyata ada salah satu berita tentang migrasi perusahaan tekstil dari wilayah Jakarta dan Jawa Barat ke Soloraya (Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Sragen, dan Solo). Migrasi perusahaan tekstil di kota besar itu dilakukan, sebab ada pertimbangan ekonomis.

Pertimbangan ekonomis tersebut, karena UMR (upah minimum regional) masih rendah, yakni Rp 1,5-an juta. Sedangkan di kota besar sana sudah lebih dari 3,5 juta. Dan, lanjut, harga lahan di Soloraya murah serta lokasi luas sehingga memungkinkan membangun pabrik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan adanya migrasi perusahaan tekstil, dan beberapa perusahaan tekstil telah mendapat perizinan, memberikan dampak bagi masyarakat sekitar. Secara ekonomis, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat mengingat usaha ini padat karya sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Sesampai di sini, tentu kita pantas merefleksi atau mencermati lebih lanjut. Maksudnya, ada sudut pandang lain pula yang perlu kita amati, terutama secara sosial, budaya, psikologi, dan ekologi.

Dalam hal ekologi, kemunculan sekaligus pembangunan pabrik tekstil ini tentu akan menyapu dan menghilangkan lahan hijau. Penghilangan dan kehilangan ini memberi efek terhadap lingkungan di sekitar. Udara panas, polusi, sungai ataupun parit ikut tercemar, tanah turut berubah, sehingga ini menggoyah dan merubah ekosistem.

Lebih lanjut, pohon-pohon peneduh, penghasil buah-buahan, penyerap karbondioksida dan penghembus oksigen (sumber nafas kehidupan semua makhluk hidup) semakin berkurang. Burung-burung, ikan-ikan, serangga, ayam, bebek, dan binatang lain, turut kena imbasnya. Atau setidaknya, ini turut mengganggu ketahanan, keproduktifan, kealamian, dan kesehatan mereka.

Dari pelbagai dampak adanya industrialisme ini mengingatkan kita, terutama di kalangan pemerintah, pengusaha, kemudian masyarakat pada umumnya, agar menyikapi lebih cermat, penuh pertimbangan, tak mengabaikan pada aspek lain, dan tentu saja ada tanggung jawab bersama untuk memperbaiki atau setidaknya menjaga ekosistem di lingkungan sekitar.

Adapun ingatan ini mengantar pada tindakan beberapa perusahaan yang memiliki tanggungjawab terhadap hal itu, seperti ditunjukkan lewat iklan dari Djarum Fondation di Koran Tempo, 2 September 2014. Salah satu kalimat iklannya berbunyi begini: “Sebatang pohon... sangat berarti bagi lestarinya hidup di kemudian hari.”

Iklan tersebut menyadarkan kita terhadap kebermaknaan sekaligus kebermanfaatan pohon dalam kehidupan kita. Ada slogan, begini di iklan tersebut: “Selamatkan Pohon = Selamatkan Oksigen = Selamatkan Kita”.Lalu, ada informasi penting lainnya, yakni: “Satu batang trembesi dapat menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahunnya”. Dan, seperti yang pembaca ketahui, bahwa Djarum Foundation menyumbang 500 bibit pohon trembesi, 500 pohon mangga dan alat tanam pada 20 kecamatan di kota Tuban, Jatim.

Lalu, di sebuah ‘memo bisnis’ di koran Tempo, 27-28 Mei 2017 dari PT Indaco Warna Dunia. Perusahaan itu melakukan kegiatan CSR sekaligus mendukung Program Keanekaragaman Hayati dengan tema ‘1000 Eucalyptus Hijau sampai ke Hati’. Penanaman dilakukan pada Sabtu, 13 Mei 2017 untuk memulihkan fungsi Hutan Lindung Dusun Dlingo, Desa Gondosuli, Tawangmangu. Kegiatan itu didukung Dinas lingkungan Hidup Karanganyar dan beberapa relawan yang peduli terhadap lingkungan, seperti Solidaritas Motor Tawangmangu (Soulmate), Masyarakat Tawangmangu Peduli (Mantap), dan masyarakat setempat.

Artinya, jika migrasi industri tersebut tak bisa ditekan atau telanjur ada di wilayah (dulunya masih ada lahan hijau), maka, langkah sekaligus kebijakan lain yang perlu ditempuh, yakni adanya tanggung jawab bersama dari mereka (dan termasuk kita, pada nantinya) untuk melakukan penghijauan kembali agar fungsi lahan hijau sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, dan mengurangi pemanasan global, tak lekas hilang. Dan, di satu sisi, upaya tersebut untuk melindungi flora, fauna, dan lingkungan dari kerusakan dan ancaman kepunahan serta menjaga tingkat keanekaragaman hayati tetap tinggi sehingga mampu menopang kehidupan semua makhluk hidup di sekitar, termasuk kita.

Ikuti tulisan menarik budiawan santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler