x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PERPPU Ormas, PERPPU Balas Dendam?

Silahkan baca Perppu Ormas tersebut. Isinya menunjukkan indikasi kuat adanya ketergesa-gesaan atau instanitas politik, sehingga menjadi kacau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pembubaran ormas oleh pemerintah dengan menggunakan dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (disingkat Perppu Ormas) bisa berlaku kepada ormas apa saja sepanjang ditafsirkan oleh pemerintah bahwa ormas tersebut tidak sejalan dengan agenda ataupun pemikiran rezim.

Tetapi Perppu tersebut tampaknya dibuat dengan target pertama adalah pembubaran HTI. Setelah itu, para ormas harus bersiap-siap dibubarkan tanpa penetapan izin Pengadilan, tanpa melalui proses adu kebenaran secara terbuka di dalam sidang pengadilan. Keputusan ada di tangan eksekutif sendiri.

Perppu Pemicu Masalah Hukum

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Silahkan baca Perppu Ormas tersebut. Isinya menunjukkan indikasi kuat adanya ketergesa-gesaan atau instanitas politik, sehingga menjadi kacau.

Pertama, Perppu Ormas itu menghapus Pasal 63 sampai dengan 80 UU Ormas. Pasal-pasal  yang dihapuskan tersebut mengatur prosedur pemberian sanksi kepada ormas yang melanggar hukum dengan bentuk sanksi berupa pemberian peringatan pertama, kedua, ketiga, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatannya, sampai terakhir diajukan permohonan pembubaran oleh pemerintah ke pengadilan.

Berdasarkan UU Ormas, sanksi penghentian sementara kegitan ormas di lingkup nasional oleh pemerintah harus meminta pertimbangan lebih dulu kepada Mahkamah Agung (MA). Sedangkan dalam ruang lingkup daerah, penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD, kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya.

Nah, ketentuan-ketentuan yang bersifat melibatkan lembaga-lembaga lain tersebut diamputasi oleh Perppu Ormas. Pemerintahan Jokowi-JK tidak mau berbelit-belit dalam membubarkan ormas. Maunya instan. Sanksi peringatan cukup sekali, selanjutnya jika tetap melanggar maka dilakukan penghentian kegiatan serta pencabutan status terdaftar atau status badan hukumnya sehingga secara otomatis ormas tersebut dinyatakan bubar.

Presiden Jokowi dalam membuat Perppu Ormas tersebut menganut sistem kewenangan tunggal oleh pemerintah, tidak mau melibatkan pertimbangan hukum lembaga-lembaga lainnya dalam penjatuhan sanksi yang lebih berat yang berupa penghentian kegiatan ormas dan pembubaran ormas.

Masih mending Perseroan Terbatas (PT) yang nasib hukumnya lebih baik, di mana tak ada ketentuan ekstrim dalam UU PT yang menentukan sanksi pencabutan badan hukum PT dan pembubarannya secara sepihak oleh pemerintah. Sanksi administratif kepada PT bukan berupa pencabutan status badan hukumnya, tapi pencabutan izin-izin tertentu yang dimilikinya di mana suatu saat izin serupa dapat diperoleh jika PT mengakhiri pelanggarannya dan telah mempertanggungjawabkannya.

Ormas merupakan lembaga demokrasi. Bahkan partai politik (yang tak jauh beda dengan ormas, sama-sama sebagai organisasi demokrasi) pembubarannya harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Makanya UU Ormas menentukan bahwa pembubaran ormas harus dengan putusan pengadilan setelah melalui tahap-tahap pemberian sanksi administratif.

Dalam UU Ormas (sebelum diubah dengan Perppu Ormas), pembubaran ormas harus melalui permohonan ke pengadilan. Permohonan tersebut sifatnya sengketa sehingga ormas yang bersangkutan harus dipanggil oleh pengadilan untuk dimintai keterangan dan berhak mengajukan alat bukti yang meringankan atau bukti yang membantah tuduhan terhadapnya. Artinya, permohonan pembubaran ormas oleh pemerintah bisa saja tidak dikabulkan oleh pengadilan jika ternyata tidak beralasan hukum, atau tuduhan pemerintah terhadap ormas tersebut tidak terbukti.

Kedua, di dalam Perppu Ormas diatur ketentuan pidana yang dapat dibandingkan dengan ketentuan di dalam KUHP. Pasal 82 A ayat (1) Perppu Ormas menentukan bahwa tindak pidana menurut Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d, diancam pidana penjara minimum 6 bulan dan maksimum 1 tahun. Perbuatan yang dimaksud adalah melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tindak pidana Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Perppu Ormas tersebut sama dengan Pasal 170 KUHP jika dilakukan lebih dari 1 orang dengan ancaman pidana penjara  maksimum 5 tahun 6 bulan. Jika perbuatan kekerasan bersama-sama itu mengakibatkan luka biasa korban maka ancaman pidananya maksimum 7 tahun penjara dan diancam pidana penjara maksimum 9 tahun jika korbannya luka berat, serta diancam pidana penjara maksimum 12 tahun jika korbannya meninggal dunia.

Artinya, ancaman pidana bagi anggota atau pengurus ormas yang melakukan kekerasan tersebut secara khusus dibatasi maksimum 1 tahun penjara tetapi minimum 6 bulan penjara. Masalahnya, mengapa ada perbedaan perlakuan hukum antara kekerasan yang dilakukan oleh anggota atau pengurus ormas dibandingkan dengan pelaku non-ormas? Perppu Ormas tersebut telah membuat masalah disparasi hukum atau diskriminasi perlakuan hukum.

Ketiga, Perppu Ormas menjadikan kualitas demokrasi menjadi lebih buruk dengan mencantumkan dan menegaskan kembali pasal blaspemi di dalam Pasal 59 ayat (3) huruf b yang memperberat ancaman pidananya yakni paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Padahal menurut Pasal 156 a KUHP ancaman piadananya maksimum 5 tahun penjara.

Ancaman pidana yang berat tersebut juga berlaku untuk tindak pidana melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, di mana ancaman pidananya menurut Pasal 156 KUHP lebih rendah, yakni maksimum 4 tahun penjara atau denda maksimum Rp 4.500,- (sekarang dikalikan Rp 1000,- berdasarkan pendekatan dasar hukum menurut Peraturan MA No. 2 Tahun 2012, sehingga dendanya maksimum Rp 4, 5 juta). Sekali lagi, ketentuan tersebut yang berbeda dengan KUHP sehingga menimbulkan ketidakadilan karena membedakan ancaman hukum bagi anggota dan pengurus ormas dengan warga masyarakat lainnya dalam tindak pidana yang sama.

Keempat, terdapat penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c tentang definisi ajaran atau paham terlarang yang menimbulkan masalah tafsir, yakni, “Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila' antara lain ajaran ateisme, komunisme/manrisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Rumusan frasa “…paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” itu dapat dimaknai begini: istilah Pancasila dan UUD 1945 itu bersifat komulatif. Jadi, jika ada ajaran atau paham yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila saja atau UUD 1945 saja, maka itu tidak termasuk dalam definisi ajaran atau paham terlarang. Jika misalnya ditafsirkan bahwa upaya mengubah Pancasila saja merupakan paham terlarang, maka artinya upaya mengubah UUD 1945 juga terlarang. Lha padahal kan bukan masalah jika dilakukan amandemen UUD 1945 oleh MPR?

Seharusnya kalimat yang benar adalah “…paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila.” Soal penggantian atau perubahan UUD 1945 sepanjang tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 maka itu tidak ada masalah.

Kelima, Perppu Ormas tidak logis dalam cara membubarkan ormas. Pasal 80 A Perppu Ormas menentukan, “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.” Mengapa pembubaran ormas didasarkan pada pencabutan status badan hukumnya? Bagaimana dengan ormas-ormas yang tidak berbadan hukum? Sebab tidak ada keharusan bahwa ormas wajib berbadan hukum. Apalagi di dalam Perppu Ormas tidak dijelaskan aturan tentang cara-cara atau proses pembubarannya dan bagaimana konsekuensi hukumnya jika ormas tersebut tidak membubarkan diri sebagai ormas.

Inilah jika terburu-buru dalam menyusun Perppu itu sehingga adalah masalah-masalah mendasar yang ditimbulkan darinya yang menimbulkan kekacauan hukum.

Perppu Ormas menjadi cara instan untuk membubarkan ormas tanpa melalui jalur pengadilan. Apalagi syarat tentang kedaan “kegentingan yang memaksa” kenegaraan sebagai dasar diterbitkannya Perppu. tersebut masih dapat diperdebatkan sebab tidak ada ormas yang pada saat ini atau dalam waktu dekat yang mengancam NKRI. Artinya, kalaupun ada ormas yang ditafsirkan melanggar Pancasila maka masih dapat ditempuh prosedur menurut UU Ormas.

Reaksi Para Pembela Demokrasi

Sikap yang paling konyol dalam menilai Perppu Ormas tersebut adalah apologi bahwa Perppu tersebut dipakai sebagai jalan singkat untuk melucuti kekuatan fasis dalam kasus Ahok. Istilah fasis tersebut sebenarnya hanya istilah dendam kepada kelompok muslim yang melakukan aksi-aksi bela Islam dalam kasus penodaan agama.

Diantara pembelaan para pendukung Ahok adalah bahwa sudah saatnya pasal blaspemi dalam Pasal 156 a KUHP dihapuskan, sebab pasal itu menimbulkan pelanggaran HAM. Meski tidak semua penentang pasal blaspemi tersebut adalah para pendukung Ahok.

Jelas bahwa Perppu Ormas tersebut sebagai bentuk amputasi terhadap pelibatan lembaga-lembaga lain dalam pembubaran ormas dan hal itu bisa menjadi tirani hukum eksekutif. Selain itu Perppu tersebut menimbulkan disparasi atau diskriminasi perlakuan hukum serta memperberat ancaman hukuman delik blaspemi.

Tetapi mereka pada umumnya para aktivis tidak bereaksi apa-apa. Ketiadaan reaksi yang berarti di antara para aktivis demokrasi bertolak belakang dengan sikap mereka saat penyusunan RUU Ormas dahulu yang dikawal ketat oleh para aktivis.

Apa mungkin bahwa Perppu Ormas ini merupakan produk politik balas dendam setelah kelompok politik PDIP-Golkar-Hanura-Nasdem kalah dalam perebutan kekuasaan politik di DKI Jakarta? Sebab jika targetnya hanya membubarkan HTI, tak ada keadaan genting bagi negara untuk bisa bersabar menempuh prosedur yang lebih demokrastis menurut UU Ormas.Karena itu, setelah HTI siapa lagi?

Namun, ideologi tak mungkin dapat dibubarkan oleh keputusan hukum. Organisasinya mungkin bubar, tapi ideologinya tetap bisa berkembang. Hanya pendidikan baik dan propaganda rasional yang baik serta pengalaman hidup yang bisa membangkrutkan ideologi.

Sumber foto: Tempo.co

 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler