x

Iklan

Ridhony Hutasoit

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemberdayaan Keluarga dalam Pendidikan Anak

Sebuah elemen signifikan yang sangat perlu diberdayakan dalam pendidikan anak secara formal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu pertanyaan tersohor dari seorang pujangga Shakespeare : “Apakah arti sebuah nama?”. Pertanyaan ini, adalah sebuah pertanyaan retorik yang acap kali dijawab dengan kesunyian. Kesunyian yang membawa diri kepada sejarah identitas diri awal ketika pertama kali bersuara di atas muka bumi. Maka dalam kontemplasi lanjutan, muncul sebuah pertanyaan: “Dari manakah asal sebuah nama?”. Jawaban lugas dan sederhana adalah dari sebuah keluarga. Artinya, pendidikan awal setiap insan dimulai dari keluarga, karena nama diberikan bukan sekedar sebagai penanda diri, melainkan lebih dalam lagi sebagai suatu harapan besar dan penautan nilai-nilai agar setiap insan dapat mulia dalam menjejakkan sejarah hidupnya dalam peradapan manusia.

Bukan hanya sekedar penamaan semata, bentuk-bentuk pembentukan diri sangat signifikan terjadi dalam keluarga. Orang tua memiliki andil terbesar dalam proses ini. Pembentukan diri baik melalui kognitif, afektif, hingga psikomotorik berada dalam dimensi yang katalis dalam ruang keluarga. Mengapa demikian? Karena insan menjadi saksi hidup atas berbagai elemen kehidupan, mulai dari bagaimana penyebutan struktur keluarga dan maknanya, pilihan-pilihan untuk berlibur, ungkapan-ungkapan emosi, pengendalian atas hal-hal yang disukai, kedisiplinan, kesigapan untuk merespon dan menghormati, hingga keputusan-keputusan sulit dalam suatu konflik. Maka tak heran, perilaku orang tua secara langsung dan tidak langsung memengaruhi anak untuk merepetisinya.

Pernyataan tidak langsung yang saya tuliskan ini merujuk pada kondisi alam bawah sadar anak di mana alam bawah sadar anak memiliki ruang yang sangat besar untuk mempengaruhi karakter seseorang. Fenomena ini sering kita dengar dengan sebutan “fenomena gunung es”. Fenomena yang pernah menenggelamkan kapal “maha besar” titanic ini, merupakan hal yang perlu menjadi perhatian dunia pendidikan Indonesia terhadap keluarga sebagai stimulus pembentukan diri anak dalam alam bawah sadarnya. Mulai dari pembentukan citra diri yang berharga, hingga keputusan hidup untuk elegan dalam memperlakukan sesama sangat signifikan terasah dalam keluarga. Pembentukan anak dalam keluarga memiliki efek jangka panjang dan tidak sedikir kasus akan menjadi bekas yang sukar dipulihkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga penopang dasar pembentukan kualitas sumber daya manusia bangsa. Sinkronisasi dimensi pendidikan keluarga dan formal demi satu tujuan yang sama ini memerlukan satu mekanisme yang efektif. Mekanisme ini, mau tidak mau, harus membawa orang tua sebagai pusat mitigasi risiko pendidikan anak. Penguatan peran keluarga dalam mendidik anak akan selalu berkolerasi positif dengan penguatan "kematangan" orang tua saat mendidik anak termasuk didalammnya membangun citra diri anak. Namun, pencapaian kematangan orang tua tentu sangat dipengaruhi oleh inheren risk yang dominan, yaitu variasi family upbringing atau asuhan keluarga sebelumnya. Bahkan dalam pengamatan saya, tidak jarang orang tua secara tidak sadar membawa perlakukan yang sama atas cara mendidik orang tua mereka kepada anaknya sendiri, walaupun berdampak negatif. Salah satu contoh modus cara mendidik yang cukup meregenerasikan dampak negatif seperti: bumbu “ayunan tangan” dalam mendidik anak, kuatnya paradigma bahwa anak harus mengetahui kesalahannya sendiri tanpa harus diberi tahu, lemahnya apresiasi atas prestasi yang wajar, pembandingan antar anggota keluarga, pembodohan masif dalam membedakan sesama, penargetan ouput terpuji tanpa melihat apakah proses pencapaiannya jujur atau tidak, hingga ketabuan dalam mengangkat pendidikan sex pada anak. Masih banyak elemen-elemen “statis” lain yang cenderung masih dibawa oleh orang tua dalam mendidik anak.

Oleh sebab itu, pendidikan Indonesia harus mampu menyentuh ruang ini. Sentuhan pada ruang ini bukan berarti mengambil alih atau mendikte orang tua dalam mendidik anak, melainkan sebagai media edukasi atau konseling/konsultasi agar penanganan anak lebih komprehensif dan objektif. Sentuhan ini dapat diwujudkan dengan cara penguatan kolaborasi antara guru kelas/wali kelas/guru konseling dengan orang tua sebagai guru kehidupan. Kolaborasi ini tentu dibangun dengan interaksi keduanya. Kolaborasi ini memerlukan perhatian khusus bukan seksedar aktivitas berupa pertemuan antara komite/perwakilan orang tua dengan sekolah melainkan berupa kunjungan guru kepada tiap-tiap keluarga dapat diwujudkan. Program Guru Berkunjung ini dapat membentuk kedekapan secara personal antara guru dan orang tua anak. Kunjungan secara personal ini akan memberikan ruang yang lebih lebar dan nyaman untuk orang tua berkonsultasi dan/atau diarahkan dalam mendidik anak. Media komunikasi yang semakin terbuka dan intens ini diharapakan akan dapat mengikis cara-cara mendidik orang tua yang berdampak negatif tadi, sehingga pola didik keluarga dan sekolah dapat selaras. Komunikasi yang intens ini juga dapat membuat guru bukan sekedar pengajar formal, melainkan sebagai “orang tua kedua” yang makin mengenal dan memahami anak termasuk orang tuanya lebih dalam lagi (know your student/KYS and know their parents/KTP). Pengenalan/pemahaman yang komprehensif ini merupakan bahan guru dan sekolah untuk menghasilkan solusi dalam memecahkan permasalahan anak. Media ini diharapkan kelak menjadi dasar pembentukan “rekam medis” atau bisa disebut rekam didik anak yang utuh dan berkelanjutan.

Selain itu, mekanisme kunjungan ini dapat menjadi umpan balik dalam mewujudkan orang tua yang berkontribusi di sekolah. Kontribusi ini dapat diwujudkan dengan program orang tua mengajar. Program ini dapat menjadi sumber inspirasi anak atas kehidupan melalui pengalaman dan/atau profesi orang tua siswa. Selain itu saya yakin ada kebanggaan tersendiri anak ketika orang tuanya berkisah atau mempresentasikan nilai-nilai diri, pengalaman kerja, termasuk keteladan hidupnya. Di sisi lain, saat orang tua menjadi “guru”, rasa empati atas profesi guru pun akan meningkat. Hal ini dapat meredam friksi-friksi karena perbedaan pola ajar. Pada aspek penguatan edukasi orang tua anak, sekolah dapat mengadakan program kelas keluarga dalam rangka memberikan wawasan bagi orang tua bagaimana mengajar/mendidik anak dengan tepat dengan memanggil pakar-pakar dalam dunia pendidikan anak.

Program Guru Berkunjung, Orang Tua Mengajar, dan Kelas keluarga ini diharapkan dapat memperkuat dan mengoptimalkan “kematangan” orang tua dalam mendidik anak, sekaligus bahan evaluasi dalam pengembangan pendidikan formal bangsa yang berkelanjutan. Saya yakin, pelibatan orang tua/keluarga dalam pendidikan formal akan membentuk anak yang berkualitas yang bukan sekedar cerdas secara pengetahuan, melainkan kaya dalam karakter. Anak yang berkualitas tersebut adalah modal utama untuk masa depan Indonesia yang makin gemilang.

 

(gambar Ilustrasi, Sumber Gambar: https://www.lifestyle.okezone.com)                   

Ikuti tulisan menarik Ridhony Hutasoit lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler