x

Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto (kedua kiri) bersama Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid (kiri) dan Sekjen Idrus Marham, saat menggelar rapat pleno DPP Partai Golkar di Gedung DPP Partai Golkar, Jakarta, 18 Juli 2017. TEMPO/Imam Su

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Runtuhnya Marwah DPP Golkar

DPP Partai Golkar masih milik SN, tanpa memberikan kesempatan munculnya tokoh sentral baru

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selasa, 18 Juli 2017. DPP Partai Golkar akhirnya mengadakan Rapat Pleno terkait situasi internal partai. Sesuai ramalan saya, hasil rapat pleno menetapkan tujuh keputusan yang bisa di duga oleh siapapun. Subtansi hasil rapat pleno DPP Partai Golkar adalah tetap tunduk dan patuh kepada Pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi-JK.

Tujuh keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar antara lain mendukung pemerintahan Jokowi-JK, tetap mendukung pencalonan Jokowi sebagai Presiden di Pemilu 2019, menolak isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), menugaskan secara bersama Nurdin Halid dan Idrus Marhan untuk menjaga eksistensi partai, tetap mendukung pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu dan mengamankan seluruh DPD Partai Golkar.
 
Sedangkan keputusan terkait status tersangka sang ketua umum, Idrus Marhan menyatakan menunggu surat dari KPK. Setelah itu DPP Partai Golkar akan mengambil langkah hukum yang salah satunya adalah mem-praperadilan-kan status tersangka Setya Novanto. Jelas bahwa DPP Partai Golkar masih milik SN tampa memberikan kesempatan munculnya tokoh sentral baru.
 
Butuh Pemimpin Baru
 
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, SN langsung mendapatkan perlawanan dari sesepuh (legenda) Partai Golkar, yakni Akbar Tanjung. Sebagaimana kita ketahui, Akbar dalam beberapa pernyataannya saat diwawancarai mengatakan agar Partai Golkar mencari pemimpin baru.
 
Pernyataan sang legenda partai bagaikan istilah "jauh panggang dari api". Hal ini dibuktikan dari tujuh keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar yang masih memuat frasa "berkonsultasi dengan SN selaku Ketua Umum". Sungguh memilukan bagi Akbar bila nasehatnya tidak diindahkan oleh DPP Partai Golkar.
 
Akan tetapi, nasehat Akbar bukan tanpa sebab. Politik memang bisa membutakan mata politisi, tetapi tidak dengan hati nurani. Akbar jelas menginginkan Golkar terus hidup dan besar dengan segala hambatan dan rintangan. Karena dengan semua ujian lah, Golkar menjadi salah satu partai tertua di Indonesia yang layak dijadikan model (contoh) bagi partai lain.
 
Sejauh yang saya pahami, nasehat Akbar sebenarnya baik dan sanggup dilaksanakan dengan objektifitas politik. Golkar dengan usianya tentu memiliki stock pemimpin partai. Sejatinya, disaat ketua umum harus menghadapi proses hukum, maka pemimpin baru langsung mengambil beban amanah menjaga dan memenangkan Golkar.
 
Bukan malah memaksakan kehendak untuk tetap memiliki ketua umum berstatus tersangka. Karena, terlalu mendukung SN (baca : loyalis) akan mengurangi marwah kepemimpinan DPP Partai Golkar dimata pendukung idiologis (pemilih lansia) yang telah mendukung partai beringin sejak lama.
 
Di lain sisi, pemimpin baru tidak harus diciptakan saat ini juga. Saya setuju bahwa Golkar harus berpegang tegung kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Untuk menjaga stabilitas organisasi, Pelaksana Tugas Harian (Plt) Nurdin Halid sudah bisa dikatakan sebagai "pemimpin baru" dengan jangka waktu yang tidak ditetapkan.
 
Pertanyaannya adalah bagaimana Golkar bisa memenangkan pemilu 2019 apabila bersikukuh (seandainya) dalam mempertahankan SN sampai akhir periodesasi kepemimpinan? Padahal Ketua DPR juga harus diganti!
 
Harus Berani
 
Dengan membaca sutuasi politik saat ini. DPP Partai Golkar harusnya mengeluarkan keputusan pleno yang lebih berani dan tegas. Sebagai contoh, Golkar akan membela SN sesuai proses dan mekanisme hukum yang berlaku. Namun, dukungan ini bersyarat yaitu apabila putusan Hakim menyatakan SN bersalah. Maka DPP Partai Golkar dengan tegas merekomendasikan pemberhentian status ketua umum dan kader partai yang melekat di SN.
 
Keputusan seperti ini berpotensi meningkatkan loyalis-loyalis (pemilih) Golkar di daerah. Mereka yang sepanjang waktu berhadapan dengan masyarakat baik di pasar, warung dan tempat keramaian lainnya mampu menjawab dengan lantang juga berani setiap cibiran masyarakat.
 
Keberanian ini bermamfaat bagi Golkar mengingat kebiasaan kita yang giat berjuang sampai titik darah terakhir bila ketua umum dan partainya dicaci orang lain. Pemilih-pemilih idiologis ini bisa mempengaruhi pemilih pemula untuk mendukung Golkar saat pemilu. Karena melihat bahwa DPP Partai Golkar tegas dalam bersikap.
 
Selanjutnya, demi menjaga status "Menteri Golkar", tidak ada masalah mengeluarkan keputusan tetap mendukung Pemerintahan Jokowi-JK. Akan tetapi, mengingat saat ini adalah tahun pemilu. Setidaknya dukungan terhadap pencalonan Jokowi menjadi capres di pemilu 2019 harus diimbangi dengan langkah penyelamatan partai.
 
Kita mengetahui bahwa tidak ada dukungan yang gratis di politik. Semua dukungan memiliki harganya tersendiri, apakah kue kekuasaan atau kursi kabinet, tetap terasa nikmat. Hanya saja, Golkar dengan status Partai Tertua di Indonesia sewajarnya memberikan contoh bagaimana cara partai menghadapi ujian gelombang politik sembari mengingatkan bahwa partai beringin kuat dan perkasa.
 
Akhirul, tujuh keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar adalah milik Golkar. Mau kemana dan bagaimanapun situasi kedepan, hanya DPP yang bertanggungjawab. Semoga Negarawan Golkar kembali turun gunung untuk menyelesaikan ketidakberanian partai tua ini.
 
Andrian Habibi
Deputi Kajian KIPP Indonesia

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler