x

Iklan

Hersubeno Arief

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sandyakalaning Partai Golkar?

Golkar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Hersubeno Arief

Konsultan Media dan Politik

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana  nasib dan masa depan Partai Golkar? Pertanyaan itu mengemuka  setelah Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK) menetapkan  sang ketua umum “Gus” Setya  Novanto menjadi tersangka dalam kasus mega korupsi e-KTP. 

 

Status hukum Novanto selanjutnya  akan sangat menentukan bagaimana perjalanan politik Partai Golkar. Apakah statusnya akan meningkat menjadi terdakwa dan kemudian terpidana? Atau Novanto bisa berkelit dan bebas?

 

Berdasarkan track record KPK, sebagian besar yang menjadi tersangka, akan berakhir menjadi terpidana. Karir politik, maupun karir birokrasi pemerintahannya juga berakhir. Namun KPK tidak selamanya sakti. Ada beberapa tersangka yang berhasil menang melawan KPK.

 

Wakapolri Budi Gunawan dan Dirjen Pajak yang kemudian  menjadi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo termasuk yang bisa berkelit dari jerat KPK. Mereka melawan dengan mengajukan gugatan pra peradilan. 

 

Budi Gunawan batal menjadi Kapolri, namun karirnya terus melaju. Dia menjadi Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), pangkatnya naik menjadi jenderal penuh bintang empat.  Hadi Poernomo, bisa tetap menikmati  pensiun dengan menghirup udara bebas.

 

Perlawanan Budi  dan Hadi hampir dipastikan akan menjadi opsi yang dipilih Novanto. Jangan lupa Novanto bukanlah manusia  “biasa.” Dia masuk dalam kelompok manusia sakti dan super licin. Berkali-kali berhasil lolos dari berbagai kasus yang hampir menjeratnya.

 

Masih ingat  kasus “Papa Minta Saham”? Dia mundur sebagai Ketua DPR dan setelah memenangkan gugutan di Mahkamah Konstitusi, tanpa ribut-ribut  Novanto mengambil alih kembali jabatan tersebut dari Ade Komarudin.

 

 Peristiwa itu menunjukkan kelasnya. Sepanjang sejarah republik ini berdiri, hanya Setya Novanto lah yang bisa melakukan. Mari kita saksikan bagaimana akhir adu kesaktian antara Novanto melawan KPK.

 

Nasib dan masa depan Golkar

 

Secara natural Golkar adalah partai penguasa. Selama 32 tahun  Orde Baru,  Golkar adalah partai penopang pemerintah. Posisi tersebut terus berlanjut sampai dengan pemerintahan Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati dan SBY.

 

 Sempat sebentar menjadi oposisi dengan bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP), Golkar kembali menjadi pendukung pemerintah,  setelah Aburizal Bakrie berhasil disingkirkan sebagai ketua umum dan digantikan Novanto.

 

Di bawah Novanto, Golkar segera mendeklarasikan diri sebagai pendukung Jokowi dan mendapat kompensasi kursi di kabinet. Golkar bahkan mencoba “mencuri di tikungan” dari PDIP  dengan cara  mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres 2019.

 

Pencapresan Jokowi secara dini oleh  Golkar,  dalam batas-batas tertentu bisa menguntungkan Golkar dan Jokowi. Jadi ini semacam kerjasama yang menguntungkan. Namun kalau dicermati yang sangat diuntungkan tentu saja Jokowi.

 

Setidaknya ada empat keuntungan yang diperoleh Golkar. Pertama, menjadi bagian dari pemerintah, walau kalah dalam pilpres. Kedua, berlindung di bawah kekuasaan Jokowi. Ketiga, mendapat limpahan suara dari pendukung Jokowi. Keempat, memiliki figur capres yang berpotensi kuat akan kembali memenangkan Pilpres 2019.   

 

Pertama, dengan bergabung menjadi pendukung Jokowi, Golkar kembali ke habitat semula sebagai bagian dari pemerintahan.

 

 Kekuasaan adalah oksigen bagi Golkar. Mereka tidak bisa hidup bila berada di luar kekuasaan. Nafas Golkar menjadi sesak. Tak mengherankan bila mereka kemudian beramai-ramai mendongkel Aburizal Bakrie (Ical) dari posisi ketua umum. 

 

Keberanian Ical melawan penguasa --termasuk kepada Soeharto--tidak cocok dengan gaya hidup alami Golkar. 

 

Kedua, dengan bergabung di pemerintahan, Golkar berharap mendapat perlindungan politik dari Jokowi, utamanya berkaitan dengan kasus-kasus hukum.

 

 Sebagai bagian dari kekuasaan tak dapat dihindari mereka juga  bermain-main dengan berbagai proyek anggaran dan terlibat dalam kasus korupsi.

 

 Harapan Golkar tersebut tampaknya tidak terpenuhi dengan banyaknya kasus korupsi kader Golkar yang tetap diproses secara hukum, dan kini Novanto pun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. 

 

Ketiga, dengan menjadi pendukung pemerintah,  Golkar akan mendapat limpahan suara dari pemilih Jokowi. 

 

Besar kecilnya limpahan suara ke Golkar akan sangat bergantung apakah Jokowi akan tetap dicalonkan oleh PDIP atau tidak. Bila PDIP tetap mengajukan Jokowi sebagai Capres 2019, maka limpahan suara terbesar akan tetap diperoleh PDIP.  

 

Keempat,  pencapresan Jokowi merupakan strategi Golkar menghadapi Pilpres 2019. Sebagai _incumbent_ Jokowi adalah capres paling kuat. Golkar tampaknya tidak hanya cukup puas dengan menjadi pendukung, tapi mereka ingin mempunyai jasa besar dan bila perlu “mengakuisisi” Jokowi. 

 

Keuntungan Golkar bisa menjadi berlipat, bila Jokowi dipasangkan dengan kader Golkar sebagai cawapres. Nama yang disebut-sebut antara lain Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan (LBP).

 

Jokowi lebih diuntungkan

 

Lantas apa keuntungan Jokowi  dengan bergabungnya Golkar di pemerintahan?

 

Pertama, memecah kekuatan oposisi. Kedua, mendapat sumber daya yang berpengalaman mengelola pemerintahan. Ketiga, mempunyai banyak opsi kendaraan politik. Keempat, posisi tawar Jokowi terhadap PDIP menjadi kuat.

 

Pertama, berhasilnya Jokowi menarik Golkar bergabung ke dalam pemerintahan adalah kunci keberhasilan melumpuhkan Koalisi Merah Putih (KMP).

 

 Golkar di bawah pimpinan Ical adalah tiang utama KMP. Dengan pengalaman Golkar di pemerintahan dan parlemen, mereka bisa menyapu bersih posisi pimpinan DPR.

 

Di bawah kendali KMP, DPR menjadi kekuatan  yang bisa mengganjal berbagai program pemerintah. 

 

Dengan berbagai manuver memecah belah Golkar yang semula diinisiasi oleh Jusuf Kalla, pemerintah berhasil menyingkirkan  Ical. 

 

Setelah itu  satu persatu anggota KMP bisa dipreteli.  PPP dan PAN kemudian menyusul Golkar, meninggalkan   PKS dan Gerindra.

 

 Pemerintahan Jokowi berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan dengan menguasai secara mutlak lembaga eksekutif dan legislatif.

 

Kedua, bergabungnya Golkar membuat pemerintahan Jokowi memiliki sumber daya manusia yang cukup berpengalaman mengelola pemerintahan, terutama mengendalikan berbagai ‘permainan’ di DPR. 

 

Sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak di parlemen, PDIP kedodoran mengelola berbagai lobi-lobi di DPR. Penguasaan posisi pimpinan DPR oleh KMP adalah bukti nyata bahwa wakil-wakil rakyat dari partai pendukung pemerintah kalah lihai dan kalah pengalaman melawan Golkar. 

 

Maklumlah selama 32 tahun Orde Baru, wakil rakyat dari Golkar cukup berpengalaman mengendalikan parlemen. Jadi mereka bisa menjadi operator lapangan yang handal bagi Jokowi.

 

 

Ketiga, dengan bergabungnya Golkar, Jokowi mempunyai banyak opsi untuk pencapresan. Sebagai kader, atau dalam bahasa Megawati “petugas partai,” belum ada jaminan Jokowi akan dicalonkan kembali oleh PDIP.

 

Dicalonkan atau tidaknya Jokowi sebagai capres PDIP sangat tergantung bagaimana kepentingan politik trah Soekarno dalam hal ini Megawati dapat diakomodasi.

 

Pilihannya Jokowi bisa dipasangkan dengan Budi Gunawan yang dikenal sangat dekat dengan Megawati, atau  dengan Puan Maharani putri Megawati. Jika Jokowi dipasangkan dengan Puan, maka kelangsungan trah Soekarno akan dapat terjaga. 

 

Keempat, dengan adanya Golkar, Jokowi mempunyai posisi tawar yang kuat di hadapan Megawati. 

 

Bila Megawati memutuskan tidak mencalonkan kembali Jokowi, maka dia tinggal memperkuat Golkar sebagai kendaraan politiknya ditambah dengan beberapa partai seperti Nasdem, Hanura, PPP dan PKB. 

 

Ibarat seorang gambler yang ulung, Jokowi kini punya banyak opsi kartu di tangan. Dia tinggal memilih kartu mana yang akan dia mainkan.

 

Posisi Jokowi yang sangat kuat tadi bisa menjadi malapetaka bagi Golkar. Bagaimanapun dari sudut pandang Jokowi, Golkar adalah “anak pungut”,  sementara PDIP adalah “orang tua kandung.” Jadi ketika harus memilih, hampir dapat dipastikan Jokowi akan lebih memilih PDIP.

 

Penetapan Novanto sebagai tersangka adalah signal buruk bagi Golkar. Pernyataan sejumlah pimpinan Golkar termasuk Sekjen Idrus Marham bahwa Golkar tetap pada posisi mencalonkan Jokowi sebagai capres, menunjukkan bahwa Golkar posisinya sangat lemah. Mereka tidak berdaya dan berharap belas kasihan, agar tidak ditinggalkan  oleh Jokowi.

 

Situasi Golkar akan tambah sulit bila sejumlah pimpinannya yang disebut-sebut terlibat dalam kasus e-KTp ditetapkan sebagai tersangka. KPK memiliki daftar panjang  politisi Golkar.  KPK sudah mulai memeriksa Ade Komarudin dan Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunanjar Sudarsa.

 

Bila itu semua terjadi, maka Golkar bisa benar-benar porak poranda. Kecuali bila Golkar berani melakukan perlawanan dan keluar dari zona yang mereka kira nyaman, di bawah ketiak Jokowi.

 

Apakah ini merupakan  sandyakalaning Golkar? Tanda-tanda akan berakhirnya  masa keemasan partai yang berjaya sepanjang Orde Baru berkuasa?

 

 

Ikuti tulisan menarik Hersubeno Arief lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu