x

Iklan

Noprizal Erhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Blunder Kebijakan Trump

Di satu sisi Trump butuh dukungan dunia untuk menghadapi krisis Korut, namun di sisi lain Trump menolak perjanjian iklm global dan perdagangan global.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di masa kampanye pilpres lalu, Trump percaya diri mendengungkan slogan,  Make America Great Again – yakni kebesaran Amerika harus diukur dari indikator ekonomi:  lapangan kerja meningkat,  upah karyawan meningkat, dan pertumbuhan ekonomi melaju tinggi. Ini seperti kerinduan nostalgia di era 1950an dan 1960an ketika AS mendominasi perekonomian dunia. Namun tidak sinkron dengan realita dunia sekarang yang trennya berkompetisi dan saling tergantung satu sama lain dalam jejaring persekutuan global.  Bukan sebaliknya, acuh tak acuh dengan persekutuan, dan merasa pede dengan one country show? Itulah yang disindir - dengan peringatan yang sedikit keras - oleh Angela Merkel, kanselir Jerman di  G20 Hamburg, "Kompromi ada jika kita mengakomodasi pandangan satu sama lain. Kami juga bisa mengatakan, kita berbeda." (The New York Times, 7 Juli 2017). Cukup tandas!

Realitanya, untuk menjadi besar Amerika tidak hanya butuh kondisi dolar yang super sehat. Kemakmuran adalah piranti untuk mengakhiri, bukan akhir itu sendiri. Semakin besar cita-cita nasional seiring ketika mampu mempromosikan demokrasi dan liberalisasi ekonomi, dengan kekuatan dibagi antara pasar dan pemerintah. Untuk memajukan visi ini, Amerika Serikat mesti membuka perdagangan dan menyediakan payung militer yang  menciptakan geopolitik melindungi dari ketidakstabilan dunia.

Kebijakan over protective Trump menciptakan kengerian di dalam dan luar negeri, orang-orang yang bekerja di dunia import kehilangan pekerjaannya, negara-negara sekutu tidak memperlihatkan sikap fair mereka dalam hal anggaran militer. Negara sekutu kini telah menjadi rival, bukan lagi partner.

Visi Trump pada beberapa hal ada benarnya, tapi secara fundamental misleading (ngawur). Gagasan over protective Trump ditolak dan dikecam oleh Jerman, Jepang dan Korsel sebagai contoh negara yang secara jelas menentang visi tersebut. Trump seakan lupa bahwa politik dan  ekonomi AS selama ini dilayani sistem global yang makmur dan demokratis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai grand  strategy-nya, pasca Perang Dunia II, ekonomi global tumbuh makin kaya. Orang-orang Eropa makin kaya. Uni Soviet kolaps. Dan Amerika diuntungkan oleh ini semua. Sejak itu tak ada Perang Dunia III. Rezim Trump seakan lupa bahwa Perang Dunia II datang begitu cepat menyusul Perang Dunia I lantaran AS mengisolasi diri. Reaksi cepat itu merupakan inkubator yang mencemooh kebijakan global AS yang mentah dan premature di masa itu.

Sekarang era baru. Peran apa yang mesti AS tunjukkan? Seringnya Trump memperlihatkan pikiran yang bercabang. Beberapa minggu lalu di Eropa ia mengingatkan bahaya nuklir Korea Utara dan perlunya sikap kesatuan global, dan memberi janji mempertahankan ide-ide liberalisasi dan kebebasan Amerika, namun disisi lain, Trump menerapkan kebijakan protektif perdagangan, menolak kesepakatan iklim global dst. Bagi luar negeri, aksi bertentangan AS ini seperti bumerang.

Menurut survei Pew Research Center, dari 40.448 responden di  37 negara menemukan penurunan besar pandangan positif terhadap AS.  Pada akhir kepemimpinan Obama, persentase pandangan positif ini mencapai 64%, tetapi anjlok menjadi 49% saja di masa sekarang.  Responden ditanya, adakah pemerintahan AS saat ini telah menjalankan hal benar untuk dunia? Jawab mereka di Jerman hanya 11%. Sedang di masa Obama bisa mencapai 86%. Di Mexico, hanya 5 % yang setuju dengan kebijakan Trump, anjlok dari 49% dibawah kepemimpinan Obama. Hanya di Rusia dan Israel rating Trump di atas skor-skor itu. (The Washington Post, 9 Juli, 2017)

Alhasil, sulit bagi Trump untuk memimpin secara global. Pemimpin luar negeri lebih suka berseberangan dengannya tanpa mesti mengorbankan politik dalam negeri yang terugikan. Trump membuatnya makin sulit ketika bersikap antagonis menolak kesepakatan iklim global di Paris. Di sana sebetulnya tak ada kepentingan negara manapun, yang diminta adalah kesukarelaan.

Tentu ketika anda bersikap protektif dan lebih mementingkan nilai ekspor dan ketersediaan lapangan kerja, hal itu tak ada masalah. Namun sebaliknya, hal ini menjadi bumerang. Ketika Trump meninggalkan kesepakatan Trans Pacific Partnership, dengan 11 negara Pacific Rim, hal ini dianggap oleh ekonom sebagai langkah blunder Trump karena negara-negara Asia ekonominya sedang tumbuh-tumbuhnya sangat pesat.

Dan beberapa minggu lalu, Eropa dan Jepang mengumumkan kesepakatan dagang mencakup 40% dari nilai perdagangan dunia dan tidak melibatkan AS di sana. Hal ini tentu akan melemahkan ekspor AS. Eropa mengingatkan akan melakukan pembalasan jika AS membatasi ekspor baja mereka.

Trump mungkin berasumsi bahwa masalah perdagangan dan isu iklim termasuk isu nuklir Korea dapat dipisahkan dan tidak mengganggu geopolitik global. Namun sejarah mencatat sebaliknya, bahwa perdagangan dan pertahanan mesti bergandengan tangan. Bagaimana Trump ingin menerapkan sanksi ekonomi global terhadap Korut, sementara ia tak bersama-sama dalam kesepakatan ekonomi global dan iklim global? Trump hanya menghargai satu sisi, tapi tak menghargai sisi yang lain. Daya Trump lemah di level global dan itu menjadi blunder bagi kepmimpinan AS di masa kini.****

Noprizal Erhan

Direktur Institut Paradigma Indonesia

Ikuti tulisan menarik Noprizal Erhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler