x

Sejumlah pengunjung melintas di depan pertokoan yang memberikan diskon dalam Midnight Sale di Mall Taman Anggrek, Jakarta, 17 Juni 2017. Midnight Sale merupakan bagian dari Festival Jakarta Night Sale yang digelar selama satu bulan. TEMPO/Fajar Janua

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kalau Tunanetra Nongkrong di Mall

Kami harus berjalan hati-hati dan lambat, bahkan sering tersasar meski di dalam ruangan. paling unik, berjalan di mall saja terasa seperti berjalan di alam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah lama saya tidak pergi nongkrong atau ngopi bersama dengan teman-teman seperti ketika melihat dulu. Saat ini hambatan mobilitas di tempat ramai membuat saya mengurungkan niat apabila ada seorang teman mengajak nongkrong atau sekadar ngopi santai. Sebenarnya, bila saya mau, saya bisa saja pergi sendiri dan berjalan meraba raba ke tempat yang ingin saya tuju untuk sekedar nongkrong. Tapi, tentu akan banyak risiko yang tidak cuma membahayakan saya tapi juga orang lain yang ada di sekitar saya. 

Namun Rabu kemarin, saya dan tiga teman tunanetra saya iseng-iseng menjajal mal tanpa bantuan orang melihat. Tujuan kami Starbucks Pondok Indah Mall. Meski tanpa bantuan orang melihat, kami tetap mengajak teman kami yang low vision agar kami tidak kehilangan arah saat di dalam mal dan tidak menabrak orang yang lewat di sekitar kami. Saya ingat, terakhir mengunjungi PIM tepatnya di Street Galery tahun 2015 atau dua tahun lalu. Saat itu saya bertugas mewawancarai seorang narasumber bernama Yopie Lasut. Karena itu, saya masih menghapal sedikit wilayah dan jalan yang ada di sekitar Street Galery.

Kami memulai petualangan – sebutlah begitu, dari pintu utama PIM 1. Lalu kami berjalan lurus dan harus melewati tiga buah eskalator untuk mencapai sky bridge yang membawa kami ke Street Galery. Dulu ketika melihat, saya begitu lancar melewati setiap landmark berupa merchant atau coffee shop yang berada sebelum Street Galery. Tapi sekarang, saya menyadari sangat tergantung dengan panduan arah dari teman saya yang low vision.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sempat juga berpikir teman low bision saya akan berjalan layaknya orang melihat pada umumnya. ternyata saya salah. Akselerasi dan kecepatan berjalan teman penuntun low vision tentu berbeda. Tapi berjalam dengan teman teman low vision sangat nyaman. Mereka berjalan tidak terlalu cepat, tapi sangat sigap bila ada orang melihat yang akan menabrak kami. Langkah kaki kami juga terasa seirama, sehingga saya tidak menginjak belakang alas kaki penuntun, saat harus berjalan satu jalur. 

Sore itu kami berjalan tanpa tongkat penuntun. Mungkin secara penampakan luar kami seolah seperti orang melihat yang akan nongkrong. Kami baru teridentifikasi sebagai tunanetra ketika harus memilih kursi di dalam coffee shop. Seru dan unik sekali. Sebab, di beberapa bagian, teman penuntun low vision tidak yakin akan pilihan jalur yang mereka ambil. Merupakan kebahagiaan sederhana bagi saya yang tunanetra total ketika teman low vision bercanda tentang kemana arah yang harus diambil. Saya yang masih mengingat sedikit jalur di sana sesekali menimpali sok tahu arah yang harus diambil.

Akhirnya, setelah berjalan 15 menit, kami menemukan tempat yang kami tuju. Ada beberapa pintu kaca yang ternyata mengganggu teman low vision. Buat mereka yang low vision, pintu kaca dapat lebih berbahaya dari pada keset atau tempat sampah yang ditaruh di bawah. Arahan langkah mereka masih mengikuti panduan pada mata, tidak dapat mengidentifikasi benda bening di depan mata. Tidak heran bila banyak tunanetra low bvsion atau tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan pada matanya, sering menabrak pintu kaca. 

Usai memesan minuman, biasanya teman-teman dapat langsung berkumpul di satu tempat duduk. Tapi kali ini , kami harus salingmencari untuk menemukan tempat teman kami berada, agar kami dapat duduk di satu tempat yang sama. Setelah dekat pun, kami harus saling memanggil nama untuk memberi kode agar kami dapat menemukan satu sama lain. Saya sadar, kami mungkin terlihat agak berisik. Tapi semoga pengunjung di sana semua tahu kalau kami rombongan tunanetra yang juga ingin merasakan nongkrong di mal.

Keunikan terakhir yang dapat saya rasakan, kami nongkrong tidak boleh lebih dari jam 5 sore. Sebab teman penuntun kami yang low vision tidak dapat mengidentifikasi obyek dengan jelas di atas pukul lima sore. Di waktu waktu tersebut, bantuan sinar matahari sudah berkurang amunisinya. Rupanya mereka yang low vision sangat tergantung dengan bantuan sinar untuk melihat. Meskipun ada pula yang malah tidak dapat melihat sama sekali bila terkena sinar yang terlalu terang. 

Akhirnya pertemuan sore itu kami akhiri dengan berjalan lambat dan hati – hati. Kami keluar melalui pintu Street Galery. Beberapa kali teman penuntun saya hampir menabrak orang dan agak kikuk melintasi eskalator. Antara kikuk memegangi saya agar tetap seimbang atau kikuk karena takut, saya tidak tahu. Tapi bagi saya yang pernah melihat sempurna, kegiatan naik eskalator menjadi berkah akhirnya saya syukuri. Walau kini garis tangga tidak lagi terlihat, setidaknya saya tidak takut melangkah di atas eskalator, karena sering melintas di atasnya dulu.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler