x

Iklan

Bagja Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menua dengan Gembira

Cerita dua orang tua menempuh usia tua.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

DI rapat editorial Tempo pada Rabu kemarin, sambil menunggu peserta lain, saya iseng bertanya kepada Rahman Tolleng, seorang aktivis dan pemikir politik yang baru saja merayakan ulang tahun ke-79. “Apa rasanya menjadi tua?” Ia menjawab dengan tegas: “Kesepian!”

Sebagai aktivis yang turut melahirkan Golkar dan selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa penting di Republik ini, Rahman pasti punya banyak teman. Tapi, katanya, usia membuatnya tak bisa lagi leluasa bergerak untuk saling mengunjungi dan bertukar cerita sesama kawan. Usia membuat tubuh menjadi ringkih sehingga tak selalu siap berjalan jauh. “Penyakit bisa datang kapan saja, dan macam-macam,” katanya.

Pertanyaan tentang usia itu muncul ketika saya memberitahukan bahwa Amarzan Loebis, redaktur senior mantan tahanan politik Orde Baru setelah huru-hara 1965, tak bisa hadir di rapat karena diare. Ia rupanya habis makan rajungan dan tak sengaja memakan bisanya. Pencernaannya bermasalah sehingga tak bisa menempuh perjalanan dengan bus ke kantor Tempo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang beruntung dari Rahman dan Amarzan adalah pikiran. Keduanya bisa tetap jernih memandang persoalan-persoalan besar dan rumit lalu memberikan pendapat dengan argumen yang kokoh berbasis pengalaman dan bacaan yang luas. Rahman merasa tak punya kendala dengan ingatan, begitu pula dengan Amarzan. Ia kini tengah menulis otobiografi sebagai saksi dan pelaku di sekitar peristiwa paling gelap dalam sejarah Indonesia, di masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Suatu kali saya bertanya kepada Amarzan, mengapa ia memakai decker di lututnya. Ia menjawab kira-kira begini: antara pikiran dan tubuh acap tak selaras. Pikiran memerintahkan kakinya melangkah tapi kaki itu malah lunglai. Ia pun terjatuh tanpa tahu penyebabnya. “Kalau sudah seumurku kamu akan tahu alasannya,” kata dia.

Barangkali memang banyak hal yang hanya bisa dijelaskan dengan pengalaman. Dulu saya tak paham ketika ayah saya mengatakan sesungguhnya kita punya anak hanya sebentar, ketika tiga anaknya pamit setelah selesai masa libur Lebaran. Bukankah kami masih jadi anaknya sampai seusia ini?

Saya baru sadar pernyataannya itu benar belaka ketika anak sulung menolak dicium di depan umum. Ketika kecil ia pasrah saja diusel-usel ketika tidur, dikilik-kilik udelnya ketika terlambat bangun di Minggu pagi. Ia kini hanya menerima ciuman saat hendak berangkat sekolah. Ia segera remaja, segera punya urusan sendiri, bahkan hidup sendiri karena setiap orang tua selalu mendidik anak-anaknya agar mandiri.

Lalu kita pun akan kembali sendiri. Tak lagi menjadi orang tua tapi menjadi orang yang tua. Untuk membunuh kesepian, Amarzan punya resep yang ia praktikkan sejak keluar dari Pulau Buru dan menjadi orang bebas di tahun 1978: bergembira di mana saja dan kapan saja...

“Juga punya hobi,” Amarzan buru-buru menambahkan. Hobi, katanya, membuat dia punya kegiatan. Ia suka berkebun. Di rumahnya di Cikarang ia punya pekarangan cukup luas yang ditanami macam-macam pohon dan tanaman. Ada pohon Dewa Ndaru yang bibitnya diambil dari Gunung Kawi. Di sana, orang memungut daunnya karena dipercaya membawa rezeki. Di rumah Amarzan, pohon itu jadi peneduh, tempat dia duduk memandangi langit setelah membakar sampah.

Di kursi di terasnya itulah tamu-tamu mengalir menjenguknya. Sekadar mendengarnya membual tentang banyak hal atau singgah dari sebuah perjalanan. Dari situ pula ia membagi cerita lewat banyak grup Whatsapp. Umumnya lucu. Rupanya itu cara dia menyegarkan ingatan, juga beradu pikiran. “Tak punya hobi itu bahaya,” katanya. “Saya beruntung punya cucu sehingga jadi punya teman kembali.”

Cucunya dua. Laki-laki dari anak semata wayangnya. Jika ia menengok kembali kepada hidupnya yang lalu, Amarzan selalu bersyukur ia masih hidup, sehat, dan stabil. Sewaktu ditahan di Pulau Buru, ia nyaris tak punya harapan. Usia 23 menjadi tahanan politik dan berpikir akan mati di gulag itu karena kekuasaan Soeharto begitu kuat. Maka sekeluar dari pulau di Maluku itu ia berjanji akan menghidupkan percandaan kepada siapa saja agar hidup selalu gembira dan tak kesepian.

Kepada yang ulang tahun, menualah dengan gembira...

Ikuti tulisan menarik Bagja Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler