x

Iklan

Noprizal Erhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kontroversi Reklamasi

Reklamasi menjadi perdebatan antara menguntungkan & merugikan. Merugikan para nelayan, penyebab banjir dsb. Benarkah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reklamasi telah menjadi bahan perdebatan di berbagai belahan dunia dan bukan hanya di Indonesia seperti terjadi juga di Manila, Filipina  (Navotas Boulevard Project), pantai timur laut pulau Penang (Malaysia),  Muttom (India), Bali (Indonesia), dll. Beberapa nelayan dan warga setempat melakukan protes mengklaim bahwa proyek reklamasi mengurangi hasil tangkapan ikan mereka. Bagaimana pemerintah dan warga negara bersikap proporsional terhadap masalah ini?

Sebelum isu reklamasi mencuat ke permukaan, masalah kota-kota di dunia memang kompleks - utamanya kota-kota di negara berkembang - dibekap masalah-masalah fundamental dan klasik seperti banjir,  rob, kemacetan lalu lintas, urbanisasi, pemukiman liar, drainase kota yang mampet, waduk dan taman publik yang tak terurus, dll. Menyebabkan kota-kota di dunia jauh dari gambaran  human city (kota manusiawi).

UNDP mencatat tahun 2014 , populasi masyarakat kota (urban) mencapai 55% dari total populasi dunia, atau naik 30% sejak 1950. Sementara menurut BPS, jumlah penduduk Jakarta meningkat 244% yakni dari 2,9 juta jiwa di tahun 1961 menjadi 10 juta jiwa di tahun 2014 (data Jakarta saja, non Jabodetabek). Nampak  urbanisasi di Jakarta lebih gila dibanding  rerata urbanisasi dunia yang hanya 30% itu.

Karena itulah sebagian kalangan memandang jika pembangunan  sudah mentok ke arah manapun kecuali ke arah laut maka diperlukan   pembangunan reklamasi yakni dengan ekspansi daratan atau pembuatan pulau-pulau baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah banyak negara di dunia menerapkan reklamasi, di antaranya Singapore dengan proyek Changi Airport dan Marina Bay-nya, Belanda dengan The Flevopolder-nya, Uni Emirat Arab dengan mega proyeknya The Palm; The World;Burj Al Arab, Qatar dengan The Pearl-nya, Hongkong dengan bandaranya, Tokyo Bay (Jepang), Flamengo Park Rio de Janeiro (Brasil), Back Bay (Boston), dll semua telah menerapkan reklamasi. Jika dihitung sudah ratusan proyek reklamasi pantai di dunia telah dibangun.

Tentu saja reklamasi bermanfaat bagi perluasan daratan suatu negara/kota. Dengan pertambahan luasan itu, lahan hunian penduduk meluas, lahan infrastruktur membesar, objek pariwisata meningkat, pertumbuhan ekonomi  meningkat, infrastrukturnya menjadi alternatif pengurai kemacetan, sedimentasi buatannya mampu meredam gelombang air laut, proyek reklamasi jelas menyerap lapangan kerja yang banyak, pengangguran bisa di-minimize, dsb. Reklamasi berdampak strategis bagi masuknya investasi asing ke suatu negara. Pendapatan pajak negara pun meningkat. Dsb. Lalu kenapa di beberapa belahan di dunia - termasuk di Indonesia - masih ada gagap dan penolakan terhadap reklamasi?

Harus diakui proyek reklamasi bisa mengganggu kehidupan terumbu karang  (coral life) dan kehidupan laut lainnya (marine life). Menyebabkan ikan-ikan bisa mati, kekurangan makanan, tereduksi (terpapar) imbas proyek reklamasi.

Riset  Dr. Mohamed Yagoub dari UAE University mengatakan bahwa mega proyek reklamasi Uni Emirat Arab telah menghancurkan vegetasi tanaman mangrove dari 122  menjadi 27 km persegi. Dan lahan basah (wetlands) tempat tumbuhnya terumbu karang dan biota laut  telah berkurang  dari 423  menjadi 168 km persegi.

Lalu ada yang mengatakan, jika kawasan pantai direklamasi, maka suatu kota akan tenggelam  (banjir merata)? Saya kira  pandangan ini terlampau berlebihan dan tidak berdasar pada logika saintifik yang tepat. Seperti diketahui rencana reklamasi Jakarta  hanya membutuhkan timbunan 330 juta meter kubik pasir (data dari Kementerian Lingkungan Hidup, 2003), jika dibagi dengan panjang garis pantai dunia sepanjang 1.634.701.000 m (data World Resources Institute 2012) dan kemudian dibagi dengan lebar ke arah darat hanya 10 meter, maka reklamasi Jakarta hanya akan menyebabkan luapan air laut setinggi  2 cm! Bukan 1 meter! Hal ini sesuai dengan postulat Archimedes (Buoyancy Force). Lalu jika ada yang mengatakan Jakarta bakal tenggelam merata, sebenarnya mereka menggunakan teori yang mana dan logika yang mana? Dan tak ada satu pun negara di dunia yang mengklaim bahwa pesisir pantai mereka telah tenggelam 1 meter akibat reklamasi!

Harus dipahami di suatu negara yang tak ada protes keras disana  dimungkinkan di kawasan itu penduduknya bukan berprofesi nelayan atau  jumlah nelayannya tidak signifikan.  Namun di belahan dunia lain yang penduduknya menggantungkan hidup dari mencari ikan, proyek reklamasi jelas akan   berdampak besar karena akan mengurangi hasil tangkapan ikan mereka.

Lalu bagaimana stake holders (pemerintah/investor) menyikapi ini?

Sesuai amanat UUD 45, pemerintah mesti memprioritaskan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan pribadi atau golongan dengan tetap menjaga kesinambungan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan reklamasi adalah jenis pembangunan yang tak biasa di negara kita, menjadi sesuatu yang baru, dan bersentuhan dengan kehidupan rakyat banyak yakni para nelayan. Jangan samakan Indonesia dengan UAE atau Singapore, mereka negara maju dengan income rata-rata penduduknya di atas negara kita. Sehingga penduduk mereka yang berprofesi nelayan terbilang tidak signifikan atau bahkan tak ada? Jadi protes terhadap proyek reklamasi seperti angin sepoi-sepoi, sunyi, tak sekencang Jakarta, bagai topan Tornado. Pemerintah dan inisiator pembangunan harus paham benar dengan masalah ini jika tak ingin dimaki-maki dan menjadi blunder di kemudian hari. Mereka harus jeli dan bijak menyikapi.

Harus ada jiwa ksatria dan sifat negarawan dari sisi inisiator dalam memaparkan usulan pembangunan dengan konsep win-win solution. Jangan salah satu pihak merasakan telah menemukan win (prediksi keuntungan), sementara pihak lain merasa bakal lose (terpinggirkan karena ketidakberdayaan sebagai rakyat kecil)?

Pemrakarsa reklamasi (pemerintah atau investor) mesti memikirkan nasib para nelayan yang terdampak proyek reklamasi. Mesti ada urun rembuk antara inisiator dan para nelayan. Inisiator harus mampu menghitung jumlah kerugian para nelayan ketika hasil tangkapan ikan mereka tidak signifikan lagi. Bagaimana mencari solusi pengganti ini ketika penghasilan mereka jebol terdampak reklamasi?

Ada beberapa opsi pengganti yang bisa ditawarkan kepada para nelayan. Pertama, subsidi bbm dan subsidi pemulihan pendapatan (adaptasi) dalam jangka waktu tertentu sebagai pengenalan mereka terhadap  rute baru operasi yang makin jauh dari pesisir pantai. Mesti disepakati masa pemulihan/adaptasi ini berapa lama? Satu caturwulan? Satu semester? Atau satu tahun? Jika para nelayan merasa adil dan nyaman dengan opsi pertama ini go ahead mereka bisa ambil.

Opsi kedua yakni menawarkan kepada para nelayan untuk berganti profesi, seperti memberi pekerjaan di proyek reklamasi dsb. Jika tawaran ini lebih membahagiakan mereka go ahead mereka bisa ambil opsi ini.

Dengan demikian inisiator bisa memberi pilihan terbaik kepada rakyat kecil selain negara mendapat keuntungan besar dari mega proyek reklamasi itu.

Semoga ini menjadi renungan kita bersama memandang persoalan reklamasi secara  proporsional dan bijak. Sehingga tak ada lagi yang berbicara didasarkan faktor nafsu belaka, asumsi sempit atau logika jomplang!

 

Penulis:

Noprizal Erhan

Direktur Institut Paradigma Indonesia

Ikuti tulisan menarik Noprizal Erhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler