x

Iklan

Wayan Agus Purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Presidential Threshold Dipaksakan

Presiden Joko Widodo bisa mengalami kesulitan mengelola koalisi setelah syarat pencalonan presiden tak berubah. Kuncinya ada pada pemilihan wakil presiden.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Benarkah Presiden Jokowi benar-benar diuntungkan setelah RUU Pemilu disahkan? Khususnya setelah koalisi pemerintah berhasil memaksakan presidential threshold 20 persen. Saya justru berpikir sebaliknya. Presiden Jokowi bakal tersandera oleh anggota koalisi pendukungnya menjelang pencoblosan.

Suka tidak suka, Jokowi bukanlah pemilik saham utama di PDI Perjuangan. Dia perlu mengkompromikan sesuatu ketika kebijakannya tak sejalan dengan keinginan partai. Saya memprediksi, kerumitan serupa juga bakal terjadi ketika Jokowi hendak menggunakan PDI Perjuangan sebagai salah satu kendaraan untuk menjadi calon presiden.

Sebagai inkumben, posisi Jokowi tak sepenuhnya aman ketika nanti berstatus calon presiden. Presiden Jokowi menghadapi persoalan yang cukup serius ketika pemilu menyisakan waktu kurang dari dua tahun. Situasi ekonomi yang tak kondusif, cekaknya anggaran negara, hingga tekanan kelompok oposisi khususnya dari kalangan Islam kanan. Belum lagi kebijakan Perppu Ormas yang mendapat kritik keras dari sebagian pemilihnya pada pemilu lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah situasi itu, Jokowi perlu memaksimalkan resources politik yang dia punya. Salah satu caranya adalah menutup celah munculnya banyak kompetitor pada pemilu presiden nanti. Meninggikan ambang batas persyaratan adalah cara paling mudah dan sekaligus murah.

Dengan angka sebesar ini, saya memprediksi hanya akan ada tiga pasangan calon presiden. Bahkan, bukan tidak mungkin bakal terjadi head to head antara Jokowi dengan Prabowo.

Di luar hitungan matematis di atas, saya meyakini, angka 20 persen PT sesungguhnya bisa menjadi bumerang bagi Jokowi jika mencermati konfigurasi politik. Terutama, setelah melihat tren kebangkitan kelompok Islam.

Saya ingin memulai analisis amatir ini dengan data perolehan kursi di parlemen pada Pemilu 2014.

1. PDI Perjuangan: 109 kursi (19,46 persen) atau 18,95% suara

2. Golkar: 91 kursi (16,25 persen) atau 14,75% suara

3. Gerindra 73 kursi (13 persen) atau 11,81% suara

4. Demokrat 61 kursi (10,89 persen) atau 10,19% suara

5. Partai Amanat Nasional 49 kursi (8,75 persen) atau 7,59% suara 

6. Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi (8,39 persen) atau 9,04% suara

7. Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi (7,14 persen) atau 6,79% suara

8. Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi (6,9 persen) atau 6,53% suara

9. NasDem 35 kursi (6,25 persen) atau 6,72% suara

10. Hanura 16 kursi (2,85 persen) atau 5,26% suara.

Dengan asumsi PAN sudah terpental dari koalisi pemerintah, modal Jokowi adalah 60,1 persen kursi DPR atau 61,25 persen suara sah.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah siapa wakil presiden Jokowi pada pemilihan berikutnya? Sosok atau partai yang bakal diberi jatah ini bisa mengubah peta politik secara signifikan.

Dengan komposisi kursi seperti sekarang, maka yang paling memungkinkan menyorongkan wakil untuk Jokowi adalah PDI Perjuangan. NasDem dan PPP relatif tak bakal meminta macam-macam. Golkar? Masih disibukkan dengan konflik internal? Setelah Setya Novanto tersangka, dan seandainya terjadi Munas, Jokowi tinggal memilih calon ketua umum yang tak menuntut aneka syarat.

Yang berpotensi rewel justru PKB. Sebab, PKB memiliki sumber daya yang tak dimiliki anggota koalisi lain yakni jaringan ke kaum nahdliyin. Jika kelompok Islam mesti dipetakan, di kelompok inilah sumber pemilih Jokowi berasal.

Pada pemilu presiden lalu, kontribusi PKB untuk pemenangan Jokowi tak bisa dianggap enteng. Mereka bergerilya ke ulama-ulama untuk memenangkan Jokowi. Namun memberikan jatah wakil presiden untuk PKB justru bisa menimbulkan konflik di internal koalisi. Bersediakah PDI Perjuangan, sebagai pemegang saham terbesar di koalisi, memberikan jatah wakil presiden pada PKB, yang suaranya lebih kecil?

Ada faktor lain yang mesti dihitung yakni relasi Jokowi dengan PDI Perjuangan. Hubungan mereka tak pernah akur-akur amat. Catat saja isu yang paling besar, pemilihan Budi Gunawan sebagai Kapolri hingga angket Pelindo yang akhirnya merekomendasikan menyingkirkan Rini Soemarno dari kabinet. Okelah, Jokowi merupakan kader PDI Perjuangan. Tetapi dalam dua kasus itu, Jokowi menempatkan diri bukan sebagai kader yang patuh pada permintaan partai.

Menyandingkan Jokowi dengan kader PDI Perjuangan, katakanlah Puan Maharani, juga bukan pilihan yang bakal mendatangkan keuntungan elektoral. Keduanya berada pada segmen pemilih yang sama yakni kelompok nasionalis maupun Islam abangan/moderat. Agak sulit tampaknya opsi ini bakal terjadi, kecuali PDI Perjuangan dan Jokowi nekat.

Salah satu kelemahan Jokowi adalah melakukan penetrasi ke kelompok Islam. Dulu peran ini dijalankan oleh PKB dan Jusuf Kalla. Pada pemilu mendatang, siapa yang bakal total bekerja merangkul kelompok Islam jika tawaran-tawaran Jokowi ke anggota koalisi tak cukup mumpuni. Bukan tak mungkin, PKB bakal kembali lari dari Jokowi ke Demokrat seperti halnya dalam kasus Pilkada DKI.

Satu-satunya anggota koalisi yang bisa diharapkan untuk mendekati kelompok Islam adalah PPP, yang kakinya telah diikat dengan SK kepengurusan. Cuma apakah PPP cukup solid akan bekerja untuk Jokowi mengingat mereka juga sedang berkonflik internal? 

Isu komunis dan anti-Islam mesti menjadi perhatian serius Jokowi dan pendukungnya. Sudah menjadi rahasia umum, label sebagai anak komunis melekat pada Jokowi. Label ini disematkan dan terus menerus diamplifikasi oleh lawan Jokowi. Sesering apapun Jokowi membantah, banyak yang percaya Jokowi memiliki hubungan dengan komunis.

Persoalannya, partai mayoritas pendukung pemerintahan, PDI Perjuangan juga didera isu serupa. Di Banten, isu komunis sukses menjungkalkan calon yang didukung pemerintah dan PDI Perjuangan, Rano Karno. Isu ini sudah terbukti efektif untuk menghabisi lawan politik.

Isu kedua adalah anti-Islam. Opini publik bahwa Jokowi, dan juga PDI Perjuangan berada di belakang Ahok menjadi pembenar dari kelompok oposisi bahwa Jokowi anti-Islam. Dan wacana ini, lagi-lagi didengungkan oleh kelompok oposisi.

PDI Perjuangan remuk redam akibat dihantam isu ini pada pilkada lalu. Tiga calon gubernur inkumben mereka kalah dalam pemilihan kepala daerah. Meskipun belum ada survei penyebab kekalahan calon inkumben, saya meyakini, salah satu faktor penyebabnya adalah pembelaan PDI Perjuangan terhadap Ahok.

Dengan perhitungan politik amatir di atas, saya memprediksi Jokowi bakal kerepotan menentukan kepada siapa jatah wakil presiden bakal diberikan. Apalagi dengan syarat tinggi seperti sekarang. Jokowi mesti pintar-pintar memainkan kartu agar dukungan politik tak mengalir ke tempat lain.

Faktor lain yang tak bisa disingkirkan dari peta persaingan calon presiden adalah Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Meskipun sekarang dia tak pernah berterus terang bakal ikut berlaga, Gatot tetap harus dihitung sebagai faktor penting pada pemilu presiden mendatang.

Gatot getol mendekati kelompok Islam kanan. Saya hakul yakin, jika ada survei di kelompok ini, salah satu yang elektabilitasnya tinggi adalah Gatot Nurmantyo. Sejarah telah membuktikan, ketika sentimen komunisme dikuatkan, tentara dan kelompok Islam akan lebih mudah mengkristal menjadi satu kubu.

Jika Jokowi ingin menang, Gatot merupakan sosok yang patut untuk dipertimbangkan untuk dipilih. Pertanyaannya, apakah Gatot bersedia menjadi pendamping Jokowi? Jika sudah didukung kelompok mayoritas, yang juga mungkin bakal diikuti dukungan partai politik, Gatot seharusnya punya keyakinan kuat untuk maju tanpa perlu bersanding dengan inkumben.

Memilih Gatot juga bakal merusak harmonisasi koalisi. Terutama pemegang saham mayoritas koalisi pemerintah, PDI Perjuangan. Dalam berbagai isu, PDI Perjuangan kerap berhadap-hadapan dengan keinginan militer. Selain juga karena faktor PDI Perjuangan juga lebih dekat dengan institusi kepolisian. Kasus mutakhir adalah RUU Terorisme. PDI Perjuangan menjadi benteng di Senayan agar tentara tak ikut masuk ke penanganan terorisme yang selama ini dipegang Densus Antiteror.

Pada Pilkada DKI Jakarta, PDI Perjuangan meyakini sejumlah komandan teritorial ikut menggalang dukungan bagi salah satu calon gubernur. Menjadikan Gatot sebagai wakil Jokowi bakal membuat PDI Perjuangan tidak gembira. Jika pun tetap memaksakan Gatot, artinya Jokowi mesti siap-siap memberi penawaran yang lebih tinggi kepada PDI Perjuangan.

Dari analisis amatir ini, saya meyakini Jokowi justru berada dalam kesulitan dalam pemilihan presiden mendatang. Sebab, dia perlu memastikan calon wakil presiden yang tepat sembari menertibkan anggota koalisi. Di sisi lain, Jokowi juga perlu memikirkan calon wakil yang bisa menjadi representasi kelompok Islam.

Saya memprediksi peta di pemilu presiden tak bakal jauh dari Pilkada DKI Jakarta yakni bakal ada tiga calon presiden. PDI Perjuangan dan Jokowi pada kelompok pertama, Demokrat dan barisannya pada kelompok kedua dan koalisi Gerindra serta PKS pada kelompok ketiga.

Dengan konfigurasi seperti ini, nggak usahlah berkoar-koar menjanjikan koalisi tanpa syarat. Wong nikah antara dua orang saja menuntut syarat. Apalagi mengurus negara yang isinya lebih banyak kepala.

Ikuti tulisan menarik Wayan Agus Purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler