x

Politik Sabung Ayam

Iklan

Sunardian Wirodono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Politik Kotor, Cucilah

Kita hanya selalu membicarakan politik kekuasaan. Bukan politik moral, atau moral politik. Dan hanya membicarakan sebagai orang luar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabam Sirait, politikus gaek Indonesia, pernah menulis buku dengan judul “Politik itu Suci”. Judul itu, bagi saya, ingin menunjuk betapa tidak sucinya politik, utamanya politik dalam praktik. Lihat saja yang terjadi dalam peristiwa politik kita hari-hari ini. Politik seolah hanya milik para politikus.

“Politisi itu semuanya sama,” kata Nikita Kruschev (1894-1971) politikus Uni Soviet, “Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana.” Bahkan Groucho Marx, yang bukan marxist, mengatakan, “Politik adalah seni mencari masalah, menemukan itu di mana-mana, mendiagnosis hal itu sebagai tidak benar dan menerapkan solusi yang salah.”

Karena itu sebagaimana dikatakan Charles de Gaulle, presiden Perancis, “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.” Itulah sebabnya sang Adolf Hitler, pemimpin Nazi, Jerman dengan sinis berujar, “Alangkah beruntungnya penguasa, bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Massa rakyat, sering hanya dianggap kumpulan otak kosong dalam kampanye satu arah. Bagi Hitler, “Massa yang besar lebih menerima daya tarik retorika daripada hal-hal lain.” Apalagi dalam penilaian Garry Kasparov, master catur Rusia, “Memang benar bahwa dalam catur seperti dalam politik, hanyalah tentang penggalangan dana dan memberi kesenangan.”

Karena itu, “Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang,” seperti kata seorang pelawak politik Will Rogers. Walau pun sebagaimana direnungkan oleh Robert Louis Stevenson (1850-1894) penulis Skotlandia: “Politik barangkali menjadi satu-satunya profesi yang tidak membutuhkan persiapan pemikiran yang memadai.” Lugasnya, dalam politik kebodohan bukanlah merupakan cacat seperti tudingan Napoleon Bonaparte.

Politisi juga tidak memiliki waktu luang, kata sang filsuf Aristoteles, karena mereka selalu bertujuan sesuatu di luar politik kehidupan itu sendiri, yakni lebih pada kuasa dan kemuliaan, atau kebahagiaan. Dalam istilah George Orwell, novelis, “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan berlangsung secara terhormat, dan memberikan penampilan soliditas angin murni.” Hingga kemudian Aristoteles pun jauh sebelumnya sudah menyebut; Manusia adalah binatang politik.

“Dia tahu apa-apa dan berpikir dia tahu segalanya,” kata George Bernard Shaw. Dan semua itu, hanyalah menunjuk jelas untuk karir politiknya semata. Atau dalam sebutan Milan Kundera, “Orang selalu berteriak mereka ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Padahal menurut sang penyair itu, hal tersebut tidaklah benar. “Satu-satunya alasan orang ingin menjadi tuan dari masa depan adalah untuk mengubah masa lalu.”

“Dasar dari sistem politik kita adalah hak rakyat untuk membuat dan mengubah konstitusi pemerintahan mereka,” demikian pendapat George Washington. Namun menurut Clement Attlee, Perdana Menteri Inggris, “Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi.” Padahal lanjutnya, demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.

Makanya dalam pendapat Jarod Kintz, “Jika saya harus memukul Anda untuk membuat Anda aman, itulah yang akan saya lakukan. Ini semacam cara memperhatikan orang lain yang membuat saya percaya,…”

Plato bahkan dengan sinis menyebut bahwa, “Demokrasi masuk ke dalam despotisme (faham pemerintahan yang sewenang-wenang).” Itulah sebabnya; Kebutuhan politik kadang-kadang berubah menjadi kesalahan politik, sebagaimana disimpulkan George Bernard Shaw.

Lantas, bagaimana politik yang baik, yang tidak nampak hitam? Tinggal membalik saja semua pendapat di atas. Tapi, untuk diingat, celakanya, orang-orang pinter dan baik telah membiarkan orang-orang jahat dan bodoh itu mengendalikan negara, dengan cara mereka membiarkan semua itu terjadi, dan enggan terlibat, mengaku netral atau cuek, berada di menara gading. Sekalipun “hanya” untuk datang ke tps, untuk memakai hak-hak suaranya.

Jika ada yang berpendapat bahwa wajah parlemen, juga presiden, adalah cerminan masyarakatnya, pendapat yang tampak sosiologis itu tidak melihat faktor-faktor ketidakadilan yang menyertainya.

Sistem demokrasi kita masih formal procedural, belum demokrasi murni dan substantiuf. Karena begitu banyak syarat dan aturan berlaku yang manipulative. Membuat system pemilihan yang memungkinkan orang jahat dan bodoh tapi berduit, bisa menjadi apa yang dikehendakinya.

Apakah kita bisa mengatakan kekalahan Ahok adalah karena kebodohan rakyat? Ada pihak yang justeru mengeksploitasi kebodohan itu, dan mencoba mencegah hal yang sebaliknya, jika semestinya sebuah prestasi atau track-record bisa diapresiasi.

Lihat sejarah kelahiran bangsa dan negara ini. Ketika hendak memproklamasikan kemerdekaan, Sukarno terlibat dalam perdebatan dengan Mohamad Hatta, “Kalau menunggu kesiapan rakyat, kapan kita merdeka?”

Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menguraikan tentang kemerdekaan negara-negara lain, yang tidak menunggu rakyatnya pintar dan siap. Ketika Indonesia merdeka, rakyat yang melek huruf baru 30%, dan Bung Karno ikut menjadi guru, dalam gerakan Pemberantasan Buta Huruf.

Bagaimana dengan rakyat buta huruf 30%, miskin dan bodoh itu, bisa melahirkan Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain sebagainya? Ketika orang mengelu-elukan para pendiri negeri ini, dan mendaulatnya sebagai pemimpin, karena mereka merepresentasikan hasrat dan mimpi rakyat akan kehidupan yang lebih baik.

Jangan dibalik, Sukarno dan kawan-kawan, adalah representasi dari harapan rakyat, dan karena itu mereka dijadikan pemimpin, panutan, teladan, arah. Sementara apa yang terjadi sekarang? Para elite mengeksploitasi kebodohan rakyat, agar mereka dijadikan pemimpin, bukan oleh karena nilai-nilai kemuliaan mereka, melainkan oleh system politik kita yang elitis. Yang berkelindap dengan money politics dan money laundry, disamping sistem yang korup itu sendiri. Dan kemudian memang hanya melahirkan situasi korup di semua lini.

Air cucuran atap akhirnya jatuh ke pelimbahan juga. Jika wakil rakyat tidak merepresentasikan aspirasi rakyat, karena mereka memang bukan representasi dari rakyat. Mereka anak liar yang tidak lahir melalui rahim penderitaan rakyat.

Jadi omong kosong kalau rakyatnya demikian maka (menghasilkan) pemimpinnya demikian pula. Karena yang terjadi sesungguhnya, lebih karena kaum elitenya yang buruk. Jadilah peradaban ini tumbuh dalam keburukan dan kejahatannya.

Kalau politik kotor, cucilah pengetahuan dan kepedulian pada kebersamaan, karena puisi belum tentu jadi sabun pencuci. Apalagi kalau sabunnya dipakai sendiri oleh penyairnya. Karena pengertian politik dalam pengertian yang otentik, ialah politik moral, bukan kekuasaan.

Politik yang lahir dari ihtiar atau spirit demi kepentingan dan kesejahteraan banyak orang. Dan itu tak bisa tidak, dimulai dari bangkitnya kesadaran individu per individu akan yang bernama harapan masa depan.

 

Ikuti tulisan menarik Sunardian Wirodono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler