x

Iklan

An Deo Eich

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ganja Medis & Kegagalan Negara

Ganja medis itu sebuah keniscayaan, tidak mefasilitasinya adalah bukti kegagalan negara dalam melindungi tumpah darah warganya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fidelis Arie Sudewarto, terdakwa terkait penanaman dan pemilikan tanaman ganja, yang dalam undang – undang positif di Indonesia –Undang Undang No.35 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1980– dikategorikan sebagai narkotika golongan satu, seharusnya menjadi momen rekonstruksi penggunaan ganja sebagai medis dengan pengaturan yang lebih mutakhir dan aplikatif dengan memperhatikan fakta penelitian keilmuan. Harus disegerakan diatur dalam ketentuan hukum positif dengan kejelasan aturan dan struktur institusi penegakan dan pengawasan yang aplikatif.

Menutup mata dengan fakta hukum, yang dialami Fidelis dalam penggunaan ganja sebagai pengobatan alternatif untuk istrinya, yang malah terbukti memberikan pemulihan untuk penyembuhan jelas sebuah tamparan keras kepada pemerintah dalam mengelola pengaturan penggunaan ganja sebagai medis ini.

Seorang, warga negara Indonesia bernama Yenni Riawati, almarhum –istri Fidelis- menjadi korban kekakuan pemerintah dalam pengaturan penggunaan ganja sebagai medis. Setelah istrinya, kini Fidelis sendiri yang harus menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri (PN) Sanggau – Kalimantan Barat, yang tentu dari kacamata kegunaan / kemanfaatan hukum, amat sangat merugikan hak hidup Fidelis dan istrinya.

Bayangkan saja, seorang Fidelis dengan sumber sendiri –biaya dan koneksi sedaya upaya– bisa memberikan penerangan sebuah konsep ganja sebagai medis. Pledoi Fidelis di PN. Sangau yang memberikan detail ilmiah penggunaan ganja dan cara penggunaannya terhadap istrinya, hingga komunikasi dengan ahli dan pelaku pengguna ganja sebagai medis, tidak boleh tidak menjadi pertanyaan besar bagi pemangku jabatan di pemerintahan, baik Badan Narkotika Nasional (BNN), Menteri Kesehatan dan istitusi lain di bawahnya atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Berikut kutipan pledoi Fidelis, hal ganja dalam sudut pandang ilmiah untuk medis:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“. . . Papa tidak percaya begitu saja. Bagaimana mungkin ganja yang selama ini dikenal sebagai perusak malah bisa menjadi obat? Setelah Papa berhasil berkomunikasi dengan Christina Evans melalui akun facebooknya dengan nama “Fighting Syringomyelia with Cannabis Oil”, ternyata Christina Evans menggunakan ekstrak ganja setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter yang merawatnya. Salah satu di antaranya adalah dari dokter di Fraser Medical Clinic di Canada. Kandungan obat yang terdapat di dalam ekstrak ganja ini kemudian mempertemukan Papa dengan banyak ilmuwan yang telah meneliti khasiat ganja sebagai obat. Dr. Raphael Mechoulam dari Hebrew University of Jerusalem, Israel, Dr. Vincenzo Di Marzo dari Endocannabinoid Research Group Italy, Dr. Christina Sanchez dari Compultense University di Madrid, Spanyol, Dr. Kirsten Müller-Vahl, MD dari Hannover Medical School (MHH), Germany, Dr. Donald P. Tashkin dari University of California, Amerika Serikat, Dr Aymen I Idris, MSc, PhD dari University of Edinburgh, Inggris, dan masih banyak peneliti lain yang menjelaskan bahwa ganja memang berpotensi untuk mengobati penyakit yang sulit atau bahkan tidak bisa ditangani oleh obat-obatan medis seperti kanker, Alzheimer, epilepsi, diabetes, schizophrenia, parkinson, arthritis, asma, bahkan HIV/AIDS. . . . ”

Dengan sumber dan anggaran besar yang disediakan negara, baiklah kita sebut BNN atau LIPI tadi atau institusi lain yang seharusnya punya kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah dan mendobrak kekakuan perumusan ganja semata zat psikotropika, malah tidak pernah kita mendengar sebuah tindakan konstruktif dalam menaikkan isu ganja medis ini, agar dapat diaplikasikan untuk kebutuhan pengobatan terhadap penyakit – penyakit seperti yang dialami Yeni.

Ilmu pengetahuan dan penelitian telah berkembang. Tidak perlu rasanya jauh – jauh mencari risalah atau pendapat ilmuwan perihal kegunaan ganja dalam medis ini. Di depan mata, fakta Fidelis yang menggunakannya untuk memulihkan istrinya yang terkena penyakit Syringomyelia, yang malah meninggal setelah ditangani oleh “kawan –kawan Fidelis dari BNN” –penyebutan ini mengacu pledoi Fidelis– tentu sangat memiriskan. Pemerintah (tidakkah) telah melakukan pembunuhan kepada Yeni Riawati jika demikian? Konsep pengobatan penanganan medis “konvensional” pada istrinya nyata gagal, yang on progress dan berjalan baik adalah penggunaan ganja medis yang di-riset Fidelis sedaya upayanya. Fakta ini, semuanya dapat kita temukan di pledoi Fidelis.

Pemerintah, bertanggung jawab memberikan perlindungan pada warganya, ganja medis tentu bukan kejahatan dengan pengaturan yang tepat waktu dan tepat guna. Jika, terkerangkeng dalam undang – undang narkotika, opsi merubah undang – undang adalah solusi hukum paling logis. Setidak – tidaknya, buatkan peraturan khusus penggunaan ganja medis yang aplikatif untuk mengantisipasi kejadian – kejadian sejenis –Fidelis dan istrinya– yang mungkin sedang ada atau akan ada di wilayah Indonesia.

Kemarin, Tuan Presiden Jokowi telah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang – undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 untuk pengaturan oraganisasi kemasyarakatan yang melenceng dari cita Pancasila dalam menjaga kedaulatan NKRI dengan cepat dan sigap.

Jika realitas ganja medis ini, kita samakan momen mendesaknya, perlu dibentuknya Perpu seperti hal ormas tadi, maka tidak ada beda, jika Perpu ganja medis ini harus disegerakan, karena menyangkut hak hidup warga negara Indonesia. Butuh berapa nyawa lagi untuk meng-goal-kan sebuah aturan tepat waktu dan tepat guna pengaturan ganja medis ini?

Satu warga negara telah menjadi korban, yakni istri Fidelis. Beruntun menyerang Fidelis dalam menghadapi proses hukum dan berimbas pada anak – anaknya. Tentu tidak adil dan tidak berjalan fungsi negara dalam memberikan perlindungan terhadap tumpah darah setiap orang Indonesia yang dijaga kedaulatannya, jika berkaca pada kasus hukum Fidelis ini.*

Ikuti tulisan menarik An Deo Eich lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler