x

Massa dalam Koalisi Antikorupsi Pertanahan (KAKP) menggelar unjuk rasa di gedung KPK, Jakarta, (11/2). Mereka melaporkan 12 korporasi dan kepala daerah ke KPK karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pemberian izin lahan di sejumlah daer

Iklan

Zainuddin Amali

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menunggu Datangnya Omnibus Law

Omnibus Law dibutuhkan sebagai jembatan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ORANG Indonesia berasal dari dua elemen budaya, yaitu budaya tanah dan budaya air (sungai dan laut). Istilah ‘’tanah-air’’ bukan cuma punya arti demografis dan sosiologis, tapi juga punya dimensi kesejahteraan. Itulah sebabnya konstitusi kita mengamanatkan bumi (tanah) dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Orang Inggris yang merupakan bangsa oriental (tanah berupa benua) menyebutnya homeland dan sebagai ungkapan kedekatan batin mereka menyebutnya motherland. Bagi masyarakat kita tanah dan air bahkan mengandung makna spiritual dan sakral, sehingga misalnya diatur dalam hukum adat atau ulayat dan menjadi bagian dari aspek kearifan lokal.

Sedemikian pentingnya fungsi tanah di dalam kehidupan manusia sehingga seringkali menjadi obyek sengketa. Karena esensinya selain sebagai sarana produksi, tanah juga merupakan wahana bagi kehidupan nyata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atensi awam pada persoalan pertanahan lazimnya seringkali baru muncul apabila terdapat berita-berita di media massa yang berkaitan dengan konflik pertanahan, mulai dari peristiwa penggusuran sampai konflik atau sengketa tanah. Padahal masalah pertanahan, punya cakupan yang sangat luas. Saling terkait bahkan berkelindan antara sektor yang satu dengan yang lain, sehingga dibutuhkan sebuah pemikiran dan kebijakan yang komprehensif untuk menangani masalah agraria, tata ruang, dan tanah. Namun demikian landasan yuridis persoalan pertanahan nasional sejauh ini masih berjalan di atas pijakan lama yaitu Undang-Undang Pokok Agraria, Nomor 5, Tahun 1960.

Kalau diibaratkan persoalannya sedemikian kompleks seumpama komplikasi atau ibarat kanker stadium tinggi.

Undang-undang di atas dianggap sudah tidak memadai untuk menjawab dinamika perubahan zaman di bidang pertanahan, karena itu dibutuhkan kehadiran sebuah undang-undang yang dapat menjembatani berbagai sektor yang berkaitan dengan pertanahan, yang mencakup tanah sektor pertanian (pangan), pemukiman (papan), industri (antara lain tanah pertambangan), tanah komersil seperti untuk pemukiman, kehutanan (konservasi), perkebunan, fasilitas umum yaitu untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, tanah untuk obyek khusus seperti obyek vital untuk kepentingan militer, dan sebagainya.

Jadi dalam konteks ini dibutuhkan kehadiran sebuah undang-undang pertanahan yang merupakan Omnibus Law, yaitu undang-undang yang harus dapat menjembatani harmonisasi beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang tanah.

Komisi II DPR RI sendiri ditugasi menangani masalah-masalah Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan. Sesuai dengan fungsi DPR: melakukan Legislasi, Pengawasan dan Anggaran, maka DPR juga memiliki fungsi di bidang pertanahan mencakup Legislasi, Pengawasan dan anggaran.

Dalam hal legislasi, Komisi II DPR RI telah melakukan inisiasi membentuk RUU Pertanahan. RUU Pertanahan ini bukan dalam rangka mengganti UU PA (Pokok Agraria) Nomor 5 Tahun 1960, tapi untuk menyempurnakan dalam hal: menegaskan kembali komitmen terhadap prinsip-prinsip agraria dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional, meluruskan implementasi yang keliru terhadap UUPA Nomor 5/1960, dan menjelaskan lebih rinci dan tegas tentang prinsip-prinsip yang pada UUPA masih bersifat umum.

Dalam hal pengawasan, Komisi II DPR RI telah melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa tanah. Sangat banyak kasus-kasus tanah yang di adukan kepada Komisi II agar di selesaikan secara adil. Kasus-kasus tersebut biasanya kasus yang sudah tidak dapat di selesaikan melalui mediasi yang di lakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun melalui projustisia di Pengadilan. Komisi II DPR RI selalu mendukung anggaran di bidang pertanahan, dengan argumentasi yang kuat serta keinginan agar permasalahan pertanahan dapat segera di atasi. Politik Anggaran Agraria/BPN Komisi II konsisten mendukung percepatan sertifikasi tanah masyarakat, pengelolaan agraria secara adil, serta penataan tata ruang sesuai dengan undang-undang.

Komprehensif

Permasalahan di bidang pertanahan sangat kompleks dan dapat ditinjau dari tiga persfektif, yaitu: persfektif filosofi, sosiologis, dan yuridis.

Filosofis: tanah tidak lagi dimaknai sebagai hak hakiki warga negara. Hubungan sakral antara tanah dengan manusia, tanah dengan bangsa, tergerus oleh desakan kebutuhan tanah untuk kepentingan komersil, sehingga tanah tidak lagi dimaknai memiliki hubungan sakral yang transenden dengan manusia, tetapi tanah hanya sekedar alat produksi yang diperjual belikan seperti barang dagangan dan dijadikan sebagai objek spekulasi dalam ekonomi.

Dampak dari hilangnya nilai kesakralan tanah, orang kemudian menghalakan segara cara untuk mendapatkan tanah, kekuatan finansial menjadi penentu penguasaan tanah, hal inilah kemudian menimbulkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.

Sosiologis: tanah seharusnya jadi tempat berkumpulnya komunitas, menjadi pengikat tali persaudaraan dan silaturrahim. Gotong royong sebagai tradisi leluhur bangsa Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dalam tanah-tanah adat. Namun hal semacam ini sudah jarang bisa di temukan, karena tanah adat sudah kehilangan ke “sakral” hanya seiring dengan perubahan fungsinya, “dirampas” untuk di jadikan sebagai alat kapilitasi.

Yuridis: Peraturan perundangan-undangan di bidang pertanahan tumpang tindih, tidak sinkron satu sama lain. Masalah pertanahan jadi sangat sulit diurai karena berada dalam “belantara” aturan perundang-undangan. Salah satu faktor yang menyebabkan tumpang tindih peraturan pertanahan adalah karena egoisme sektoral. Masing-masing sektor ingin menguasai dan memanfaatkan tanah berdasarkan tugas dan fungsi sektor yang bersangkutan, tanpa memperlihatkan keseimbangan lingkungan atau ekosistem.

Sementara itu kalau dikelompokkan berdasarkan jenis kasus, maka selama ini ada tiga jenis kasus pertanahan yang masuk ke Komisi II DPR RI.

Sengketa Pertanahan. Yaitu sengketa antara pihak yang saling mengkalim tanah tersebut sebagai pemilik alas hak. Sengketa adalah kasus yang belum pernah ditangani secara proyustisia yaitu melalui proses hukum di pengadilan. Sengketa masih dapat di selesaikan melalui proses mediasi. Mediasi dapat di lakukan oleh BPN setempat, bisa juga melalui pemerintah setempat atau tokoh masyarakat yang di anggap memiliki kapasitas untuk melakukan mediasi.

Perkara Pertanahan. Yaitu kasus tanah yang sudah dibawa ke ranah hukum, sudah diproses secara proyustisia. Biasanya kasus seperti ini sudah lama, bahkan sudah melalui semua tingkatan pengadilan, namun kasus tersebut tidak juga dapat diselesaikan sehingga para pihak yang merasa dirugikan mengadukan kasus ini kepada Komisi II DPR RI.

Konflik Pertanahan. Yaitu kasus pertanahan yang melibatkan banyak pihak. Konflik pertanahan biasanya menimbulkan kekacauan di masyarakat hingga menimbulkan instabilitas keamanan. Tidak jarang akibat konflik pertanahan terjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara. Biasanya konflik pertanahan ini ada di tanah-tanah yang memiliki Hak Pengelolaan (HPL) Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan pemiliknya, namun secara fisik dikuasai oleh masyarakat.

Oleh: Zainudin Amali

Ketua Komisi II DPR RI

 

Ikuti tulisan menarik Zainuddin Amali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler