x

Bendera negara peserta KAA dan PBB berkibar pada peringatan 62 tahun Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung, 18 April 2017. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jihad Indonesia di Konflik Al-Aqsha

Menlu Retno Marsudi memanggil para duta besar Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Kemenlu untuk mendorong agar OKI dapat aktif menyelesaikan konflik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika “jihad” diartikan sebagai “upaya yang sungguh-sungguh” yang dilakukan untuk tujuan dan keinginan tertentu, maka Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) terus menggulirkan jihad bagi penyelesaian konflik Palestina-Israel soal larangan ibadah di masjid paling bersejarah, Al-Aqsa. Kemarin, Menlu Retno Marsudi memanggil para duta besar Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Kemenlu untuk mendorong agar OKI dapat lebih serius berperan aktif dalam penyelesaian konflik. Menlu Retno, juga akan berkunjung ke Al-Aqsa setelah meredanya situasi konflik untuk membawa langsung amanat perdamaian dari perwakilan negara OKI di Indonesia. Langkah Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel tidak sekadar kita apresiasi, namun perlu didukung penuh oleh seluruh elemen masyarakat, bahwa Indonesia mampu menjadi negara paling berpengaruh dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah.

Konflik Al-Aqsa telah menjadi arena kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Israel terhadap warga muslim Palestina. Pelarangan ibadah, intimidasi, bahkan pengamanan yang ketat adalah jelas pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan beribadah adalah hal yang paling krusial dan utama dalam Undang-undang HAM internasional, karena ia masuk dalam kategori non-derogable right (hak-hak yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi sedikitpun). Kebebasan beribadah umat muslim di Masjid Al-Aqsa, tidak hanya dilarang dan dibatasi, tetapi diintimidasi dan dipantau melalu serangkaian proteksi yang diberlakukan Israel. Inilah yang kemudian mendorong Presiden Turki, Erdogan, menyeru agar umat muslim seluruh dunia berjuang mempertahankan Al-Aqsa.

Masjid Al-Aqsa, selain merupakan kebanggaan seluruh bangsa Palestina, juga merupakan ikon kebanggaan yang disucikan seluruh umat muslim di dunia. Masjid ini lekat dengan peristiwa luar biasa yang dialami Nabi Muhammad ketika “diperjalankan” Tuhan melalui Isra dan Mi’raj. Masjid Al-Aqsa sejauh ini dianggap sebagai tempat suci kedua umat muslim, setelah Ka’bah di Masjidil Haram, Mekkah. Dalam sejarahnya, Masjid Al-Aqsa bahkan pernah menjadi kiblat sementara umat muslim selama beberapa waktu sebelum kemudian, kiblat dipusatkan kembali ke Ka’bah. Keterikatan sejarah masjid ini dengan perkembangan Islam sangat kuat, sehingga perjuangan mempertahankan kesucian tempat ini jelas merupakan bagian dari jihad yang paling penting.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi saya, Israel juga nampaknya memiliki kepentingan terhadap keberadaan Al-Aqsa sehingga pelarangan, intimidasi dan bahkan pengusiran warga Palestina untuk tidak mendekatinya adalah upaya keinginan lama Israel menguasai tempat suci tersebut karena diduga memendam harta karun milik Nabi Sulaiman. “Kuil Solomon” dalam kepercayaan bangsa Israel terpendam tepat dibawah Al-Aqsa, sehingga mereka bermaksud menggalinya dengan terlebih dahulu mengancurkan masjidnya. Namun apapun tujuannya, telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel kepada warga Palestina yang harus segera diberhentikan. Terlepas dari keinginan “ada udang di balik batu” Israel yang memanfaatkan konflik ini, telah terjadi tragedi kemanusiaan yang mengusik dunia.

Jihad memang tidak harus selalu berkonotasi “perang” dalam artian mengangkat senjata, namun seluruh kegiatan yang dicurahkan sepenuh hati untuk kedamaian dan kemerdekaan Palestina adalah bagian dari upaya jihad. Bahkan, di beberapa media sosial, akun-akun tertentu yang berganti menjadi simbol Palestina, juga merupakan bagian dari jihad menyuarakan desakan agar dunia terus mendorong perdamaian mewujud di negeri “Kiblat Kedua” umat muslim ini. Keinginan untuk tidak berjihad dalam artian perang, juga sebenarnya telah disepakati kedua belah pihak (Palestina-Israel) ketika perjanjian Oslo ditandatangani oleh Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Wasington DC pada 1993. Namun, apa lacur, perjanjian ini nampaknya banyak dilanggar oleh Israel, sehingga membuat Hamas dan beberapa faksi radikal di Palestina kalap, sehingga kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ujung.

Sejauh ini, upaya pemerintah Indonesia dalam penyelesaian konflik di Palestina terus menerus disuarakan, tidak sekadar pada forum-forum resmi tingkat kenegaraan, tetapi juga kerjasama kemanusiaan yang dijalin oleh berbagai organisasi non-pemerintah yang bekerjasama lintas negara. Jihad, saya kira, sudah dilakukan oleh banyak negara untuk membantu penyelesaian konflik Palestina-Israel, tetapi nampaknya terus terbentur oleh berbagai kepentingan politik negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Kebijakan AS soal konflik Palestina-Israel nampaknya “tebang-pilih”, akan “memilih” yang lebih menguntungkan bagi ekonomi negaranya dan “menebang” apapun yang akan mengganggu kepentingannya di dunia internasional. Apalagi, dibawah kepemimpinan Trump, AS tampaknya akan lebih pro-Israel dan menganggap warga Palestina adalah “teroris-teroris” yang membahayakan.

Disinilah saya kira, pentingnya posisi Indonesia untuk tetap mengumandangkan “jihad” bagi  perdamaian Palestina dan lebih jauh bagi perdamaian negara-negara Timur Tengah. Prinsip politik internasional Indonesia yang cenderung “tidak berpihak”, tetapi diakui sebagai negara yang memiliki pengaruh, khususnya diantara negara-negara Timur Tengah, menempatkan posisi Indonesia justru semakin penting di mata dunia internasional. Hal ini dapat dibuktikan, ketika Menlu Retno berkunjung ke Arab Saudi dan menegaskan kesiapan Indonesia untuk menjadi kontributor bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Pertemuan Menteri Retno dan Raja Salman di Riyadh pada 2016 yang lalu, adalah upaya negara kita berjihad untuk terwujudnya perdamaian di seluruh wilayah Timur Tengah.

Posisi negara Indonesia memang dapat dipandang sebagai “kekuatan Islam” yang netral ketika masuk ke dalam wilayah konflik. Berbeda dengan negara-negara mayoritas muslim lainnya, seperti yang tergabung dalam OKI atau OPEC, masih ada “kepentingan politik” lainnya ketika berupaya ikut dalam penyelesaian konflik. Turki saja yang dipandang sebagai negara mayoritas muslim, belum mampu “berjihad” seperti yang dilakukan Indonesia, dengan mengumpulkan perwakilan negara-negara OKI agar “bersuara” untuk keadilan Palestina. Sejauh ini, baru Mesir dan Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim yang telah melakukan serangkaian “jihad” pada tingkat negara untuk ikut menyelesaikan konflik Al-Aqsa antara Palestina-Israel. Kita tunggu suara dari negeri-negeri mayoritas muslim lainnya.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB