x

Warga Jakarta Bergantung pada Air Tanah

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Biarkan Jakarta Tenggelam

Sebanyak 23 gedung di DKI menggunakan 27 sumur air tanah tanpa izin yang bisa menyebabkan permukaan tanah turun dan akhirnya Jakarta tenggelam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta bisa jadi tenggelam jika kita terus membiarkan penggunaan air tanah di gedung-gedung bertingkar. Sekarang saja,  penurunan muka tanah terus  terjadi. Beberapa ahli memang masih berdebat tentang penyebab terbesar penurunan itu: apakah karena penyedotan air ataukah formasi alami batuan.

Tapi, dari audit investigasi pemerintah Jakarta yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi pada Januari-Juni lalu menemukan bahwa sebanyak 23 gedung di DKI Jakarta menggunakan 27 sumur air tanah tanpa izin alias ilegal. Jumlah ini menambah temuan 208 sumur serupa pada survei 2015-2016.

Atas temuan itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tak langsung menghukum dengan menutup sumur tersebut. DKI mengharuskan pemilik sumur ilegal itu membayar denda administrasi dengan berpijak pada Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Air Tanah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah DKI Jakarta pun mengklaim sudah berhasil menekan penyedotan air tanah secara resmi sejak pajak air tanah dinaikkan dan melakukan razia sumur. Sebuah pekerjaan yang perlu kita apresiasi.

Masalahnya, pemerintah Jakarta harus memperhatikan kemampuan menyediakan air bersih jika hendak mengurangi penyedotan air tanah. Tidak adil kalau pemerintah tak menyediakan opsi penggantinya, yakni menambah jaringan dan suplai air bersih lewat pipa.

Tantangan berikutnya, pemerintah harus hati-hati karena ketegasan razia dan pengetatan pajak air tanah malah bisa  menyuburkan praktik pengambilan air tanah secara terang-terangan lantaran ketiadaan sumber alternatif. Faktanya,  Perusahaan Air Minum Jakarta Raya tak sanggup memasok seluruh kebutuhan air bersih di Ibu Kota. Kapasitas produksi sebesar 18 ribu liter per detik yang terpasang saat ini baru memenuhi 72 persen total kebutuhan air bersih di Jakarta.

Adapun jaringan pipanya yang panjangnya sudah 12 kali Pulau Jawa itu ruwet, tua, dan bocor di sana-sini hingga 40 persen. Dengan kondisi yang ada sekarang, sulit bagi perusahaan air minum daerah untuk menambah debit. Kalaupun itu dilakukan, ada dua ujungnya: pipa tua pecah, atau kebocoran semakin besar alias tidak efektif.

Jakarta harus memanfaatkan sisa enam tahun masa kontrak penswastaan air dengan memaksa operator berinvestasi lebih besar. Mereka harus mengganti pipa-pipa lama dan menambah jaringan hingga tak ada lagi alasan gedung, pabrik, ataupun wajib pajak air tanah tetap menyedot air dari dalam tanah. Apalagi tarif air PAM yang saat ini berlaku lebih rendah daripada tarif air tanah.

Dengan kapasitas produksi yang ada sekarang, dua operator swasta yang ada saat ini baru menumbuhkan akses air bersih sekitar 40-60 persen sejak 1998. Tapi tekanan ke operator tentu mesti dibarengi dengan inovasi pemerintah. Pengalaman menambah satu unit pompa yang butuh waktu bertahun-tahun hanya karena pembebasan lahan jangan sampai terulang.

  

Kalau pipa sudah siap, tentu perlu menambah sumber air baku. Saat ini pasokan air bersih di Jakarta 81 persen berasal dari saluran Tarum Barat atau Jatiluhur dan 15 persen dari Tangerang. Selebihnya dari sungai-sungai di Jakarta yang kotor. Kerja sama untuk menyelamatkan air tanah, dengan demikian, harus terjalin baik dengan pusat dan dengan daerah lain pemilik sumber air. Dengan kolaborasi apik antara swasta dan pemerintah, kita bisa mencegah Jakarta tenggelam.

Disarikan dari Editorial Koran Tempo edisi Kamis, 27 Juli 2017.

Tim TEMPO | ISTI

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler