x

Massa gabungan dari organisasi umat Islam, warga masyarakat, dan praktisi hukum, menggelar Aksi Bela Ulama di Bandung, 2 Juni 2017. Mereka juga menolak rencana pembubaran ormas Islam oleh pemerintah. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perppu Mempertahankan atau Menghilangkan Kekuasaan?

Langkah pertama dalam penertiban ormas bukanlah dengan tindakan “kekerasan”, melainkan komunikasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anda harus mengetahui dua metode dalam berperang, pertama adalah dengan Undang-Undang dan Kedua dengan cara kekerasan. Namun karena metode pertama sering tidak cukup, metode yang kedua harus digunakan. (Niccolo Machieavelli, Il Principe, 1513)

Saya sengaja menghilangkan kalimat penyabung antara kalimat pertama dan kedua karena enggan dan/atau takut disalah-artikan dengan menghina Pemerintah. Dengan mengambil kalimat pertama dan ketiga saja terasa sudah cukup untuk menggambarkan situasi politik Indonesia saat ini. Pengutipan ajaran Niccolo Machiavelli mungkin bisa dibenarkan ataupun disalahkan. Semua tergatung dari sisi mana kita melihat.

Memang benar saat ini, Indonesia tidak dalam masa peperangan. Namun, sudah dapat dipahami bahwa dari banyak ajaran Machialle, salah satu cara mempertahankan kekuasaan dengan menguatkan Undang-Undang yang pro Penguasa dan sesekali menggunakan kekerasan apabila UU dianggap sulit mengakomodir kepentingan Pemerintah.

Saya merasa merasakan kegelisahan saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakan (Ormas). Kegelisahan ini seakan-akan menandakan bahwa Penguasa sedang menjalankan ilmu yang diajarkan “Sang Pangeran Niccolo Machiavelli”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akibat UU tidak mampu menekan Ormas agar tunduk dan patuh kepada Pemerintah. Maka, Pemerintah mengeluarkan Perppu yang diharapkan mampu menekan Ormas yang dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya dibaca: UUD 1945). Bahkan, apabila tekanan tidak bisa mengamankan Ormas, pembubaran dapat dipaksanakan untuk menyelesaikan masalah.

Ihwal Masalah

Pemerintah Indonesia sebagai Negara Demokrastis menjamin hak-hak asasi untuk berserikat dan berkumpul. Ketentua ini jelas tertuang dalam konstitusi Indonesia yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” (Pasal 28 UUD 1945). Atas perintah Konstitusi lah, lahir UU Nomor 17/2013 tentang Ormas.

Dengan demikian, Pemerintah bisa diangdap mendukung “hak berserikat dan berkumpul” untuk meningkatkan peran serta masyarakat. Tentu saja aktifitas Ormas tersebut diharapkan mengawal proses demokrasi yang dianut sebagai sistem bernegara kita. Bahkan Pemerintah yang dikatakan menjamin tegaknya hukum sesuai perintah Konstitusi (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) menyiapkan perangkat hukum untuk menjaga semanagat berdemokrasi.

Sejauh yang saya pahami, yang dimaksud dengan menjaga demokrasi ini adalah memberikan prosedur jelas terhadap Ormas tentang bagaimana menjalankan aktifitasnya dan cara menegur atau membubarkan melalui putusan Pengadilan. Dalam hal ini saya sependapat dengan Khairul Fahmi (Dosen HTN dan Peneliti PUSaKO FH Unand), bahwa “Ormas mana pun yang diakui di Republik ini dilindungi Konstitusi”.

Oleh sebab itu, jalan pertama dalam menertibkan ormas bukanlah dengan tindakan “kekerasan” tetapi Pemerintah harus mengimunikasikannya terlebih dahulu. Seandainya ada Ormas tertentu yang dianggap melanggar hukum, Fahmi mengatakan bahwa pelanggaran yang dituduhkan harus dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan. Atas perintah (putusan) Pengadilan lah Pemerintah menggerakkan “tangan besi” untuk membubarkan Ormas.

Adapun Ormas yang dijadikan bahan perdebatan terkait “mempertahankan kekuasaan” ini adalah HTI dan FPI. Kedua Ormas tersebut dianggap melawan keadulatan Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. Korban pertama tentu saja HTI dengan alasan perjuangan mereka untuk menegakkan Khilafah dinilai (Pemerintah) tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam tulisan ini saya tidak mendukung HTI maupun FPI, akan tetapi sejauh pemahaman yang saya miliki, upaya pembubaran HTI dan FPI tanpa melalui proses Peradilan adalah bentuk kesewenang-wenangan Pemerintah. Bukan tidak mungkin, apabila Pemerintah berhasil membubarkan dua organisasi tersebut, maka masa kelam “Asas Tunggal” yang dipakai oleh Orde Baru kembali hidup.

Saya tidak mengatakan itu pasti terjadi, tetapi bisa saja ramalan ini benar. Pembubaran HTI hanya sebagai “kelinci percobaan” untuk membubarkan Ormas lain. Atau setidaknya menakut-nakuti Ormas lain agar tidak melawan Penguasa. Karena menurut Machiavelli, Sang Pangeran harus bisa mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun, termasuk mengambil pilihan untuk memaksa penduduk patuh dan mengakhiri perlawanan.

Ancaman Perlawanan

Di lain sisi, kelompok pro dan kontra terkait pembubaran HTI tentu saja tidak menyepakati hadirnya Perppu sebagai “mesin pembunuh” kehidupan berdemokrasi. Kelompok mana pun berniat Pemerintah membawa permasalahan Ormas keranah hukum agar Penguasa berlaku adil dan menjalankan pemerintahan sesuai Konstitusi. Saya yakin dan percaya bahwa banyak pihak yang terbelah dalam pandangan “khilafah”. Namun semuanya sepakat agar Pemerintah harus menegakkan hukum walupun langit harus runtuh.

Saya tidak paham apakah Presiden bersama dengan para pembantunya (Menteri) sangat yakin dengan mengeluarkan Perppu Pembubaran Ormas. Ada beberapa ancaman bagi Presiden pada tahun pemilu (Pilkada 2018 dan Pemilu 2019), apabila memaksanakan kehendak dalam menjalankan pemerintahan.

Pertama, HTI yang akan dibubarkan ini adalah organisasi bermazhab Islam yang kita ketahui bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia. Walupun tidak bisa di-claim bahwa semua Pemilih (Muslim) berpihak kepada HTI. Akan tetapi, jumlah mereka (HTI) jelas akan mengurangi keberpihakan dalam pemilihan Kepala Daerah yang didukung oleh Partai Koalisi Penguasa.

Dilain pihak, Pemilu 2019 akan menentukan apakah Anggota DPR dan Presiden tetap menduduki kursi kekuasaan untuk periode 2019-2024. Sederhanya, seseorang yang disakiti akan mengingat siapa yang menyakiti. Jadi pilihan ada ditangan Presiden, memperbesar kepercayaan pemilih atau menguranginya? Semua tetap memiliki konsekuensi yang pasti.

Kedua, Perppu Pembubaran Ormas akan dijadikan alat bagi lawan politik Presiden selama masa kampanye. Karena di dalam politik dikenal “tidak ada sahabat sejati, yang ada hanyalah kepentingan”. Lawan politik bisa saja mengambil peran dengan membawa isu agama dan perjuangan demokrasi untuk menyerang balik Pemerintah. Selain itu, para Pembantu Presiden belum tentu setia selamanya. Dampaknya, Presiden akan ditinggal sendirian dan bisa saja diganti dengan pilihan lain, baik oleh koalisi maupun partai pengusung.

Untuk melihat dua asumsi saya ini benar atau tidak. Kita dapat melihatnya melalui dukungan DPR, apakah disetujui menjadi UU atau ditolak? Pilihan menerima dan menolak tetap saja mengurangi jumlah pemilih Presiden Joko Widodo yang berniat maju untuk periode kedua.

Dengan membaca situasi Paskapilgub DKI Jakarta dan sudah terlanjur menerbitkan Perppu Nomor 2/2017. Pemerintah wajib mengamankan dukungan politik sembari mempertahakan Perppu sebagai alat kekuasaan. Oleh sebab itu, Pemerintah harus menjalankan salah satu ajaran Machiavelli yakni menggunakan “UU sekaligus Kekerasan”. Pandangan saya, Pemerintah tentu mengerahkan semua kekuatan politik untuk mengamankan Perppu agar disahkan menjadi UU.

Seterusnya, Pemerintah bisa membujuk secara paksa para partai pendukung menahan jalur perlawanan terhadap Perppu. Apabila masih ada yang melawan, isu bisa diahlihkan dengan berita reshuffle kabinet, verifikasi partai politik peserta pemilu, hak angket KPK dan isu-isu korupsi lainnya. Kemudian, Pemerintah tinggal meminta “pasukan bantuan” – ajaran Niccolo Machiavelli – untuk melawan kelompok penentang pembubaran HTI.

Sebagai cacatan akhir, Pemerintah wajib menghitung kekuatan dan kelemahan dalam mempertahankan kekuasaan di tahun pemilu. Penguasa harus berhati-hati bila nafsu berkuasa masih begitu kuat. Ingatlah jika khilaf sedikit atau tanggung keras, Peppu sebagalat alat mempertahankan kekuasaan bisa berubah menjadi senjata mengilangkan kekuasaan.

 

 

Oleh: Andrian Habibi

Pegiat Ham dan Demokrasi

 

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler