x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Simbol dan Nasi Goreng Pedas Cikeas

Nasi goreng tampaknya tak sekadar hidangan. Makanan terenak kedua dunia versi CNN itu telah menjelma menjadi medium untuk lobi politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nasi goreng tampaknya tak sekadar hidangan. Makanan Indonesia yang didaulat sebagai hidangan terenak kedua di dunia setelah rendang versi CNN itu punya fungsi lain. Nasi goreng telah menjelma menjadi medium untuk lobi politik.

Sejak kapan nasi goreng populer di dunia politik? Bisa dikatakan Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama, yang mempopulerkannya. Dalam beberapa kesempatan, terutama dalam pidato publik yang bersinggungan dengan Indonesia, Obama dengan bangga mengucapkan kata ‘sate’, ‘bakso’, dan ‘nasi goreng’. Publik Indonesia bergemuruh. Kita merasa bersyukur begitu mudah mendapatkan makanan yang diidamkan Barack Obama.

‘Nasi goreng’ bagi Obama saat menjabat sebagai presiden adalah pengejawantahan soft power Amerika Serikat kepada Indonesia. Pendekatan ini rasanya mustahil dilakukan oleh George Bush atau Donald Trump, presiden sebelum dan sesudah era Obama. Barry, begitu sapaan akrab Obama, memiliki kedekatan emosional dengan Indonesia. Ia pernah tinggal di Jakarta antara tahun 1967-1971 dan memiliki ayah tiri orang Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ruang diplomasi santapan khas Indonesia ini tidak berakhir meski Obama mengakhiri jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat. Presiden Joko Widodo juga menyuguhkan santapan penuh kenangan itu bagi Obama. Dengan latar Istana Bogor yang teduh, Obama dan Jokowi berbincang hangat sambil menikmati bakso, nasi goreng, dan sate.    

Politik praktis, terutama di Indonesia, adalah ruang yang penuh dengan simbol. Persoalannya kemudian, simbol-simbol yang disajikan para lakon di panggung politik ini multitafsir. Para ilmuwan politik, pengamat karbitan, hingga warganet yang mendadak pintar, meramaikan jagat tafsir.  

Simbol kekuasaan dan  politik juga tampak dari busana para penguasa. Seperti terekam dalam foto-foto sejarah, Bung Karno kerap tampil dengan setelan jas, berdasi, dan dipenuhi dengan bintang-bintang jasa di busananya. Bung Karno memang necis dalam soal berbusana.  Gaya berpakaian itu yang membuatnya tampak gagah jika bersanding di antara pemimpin dunia lainnya, seperti Presiden AS John F. Kennedy, Pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev, Presiden Mesir Gamal Nasser, Pemimpin Kuba Fidel Castro hingga Perdana Menteri Tiongkok Chou En-lai. Bung Besar, julukan Sukarno, ingin menyampaikan pesan khusus dengan gaya berbusananya itu bahwa Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata dalam pergaulan dunia.

Politik Indonesia yang penuh dengan simbol ini berlanjut pada masa Orde Baru.  Pada masa Orde Baru, baju safari memiliki citra politik dan kekuasaan yang kuat. Patron dari gaya berpakaian safari adalah Presiden Suharto. Gaya yang kemudian diikuti oleh para pejabat publik lainnya. Pakaian safari dianggap “simpel” terutama bagi Presiden Suharto yang gemar melakukan incognito, berkeliling daerah tanpa dikenali.

Busana safari ini seakan menjadi antitesis dari gaya berbusana Presiden Sukarno. Gaya Soeharto bersafari, diteladani oleh para pejabat dan pengusaha Orde Baru. Antropolog James Danandjaja (2005) menjelaskan bahwa para pejabat tinggi harus mengenakan setelan safari dengan lencana Korpri di dada. Safari menjadi seragam kerja harian. Presiden dan para menteri memasang lencana terbuat dari emas, pembeda dari  pejabat-pejabat bawahan.

Tampaknya urusan berbusana ini terus berlanjut. Pada masa Presiden Joko Widodo giliran kemeja putih yang populer. Para pejabat negara juga mengikuti gaya berbusana Sang Presiden. Pada waktu-waktu tertentu atau rapat penting, tampak kemeja putih menjadi pakaian wajib di era saat ini. Menariknya, bukan hanya kemeja putih yang dipopulerkan Jokowi, melainkan gaya lengan baju yang dilipat –gaya yang sebenarnya sudah diperkenalkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak era Susilo Bambang Yudhoyono. Ada pesan yang ingin disampaikan penguasa melalui busana, makanan, hingga gaya hidup lainnya. Tentu, semua ini berhubungan dengan kebijakan politik mereka.

Dan kembali ke nasi goreng. Nasi goreng tampaknya masih menjadi alat lobi yang efektif. Tengoklah bagaimana dua politisi senior, sekaligus pucuk dari dua partai besar, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto menyantap nasi goreng di pendopo Puri Cikeas, kediaman Yudhoyono. Kita kembali memasuki ruang tafsir. Nasi goreng yang konon pedas itu sekadar medium. Lalu di mana ujungnya? kekuasaan itu sendiri. ***

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler