x

Penguatan Deradikalisasi

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Skema Melawan Radikalisme ~ Helmy Faishal Zaini

Survei Alvara Research Center pada Februari 2017 menemukan bahwa 97 persen penduduk Indonesia berkeyakinan bahwa agama merupakan hal penting.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

A. Helmy Faishal Zaini

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Miris sekali menyaksikan penangkapan Agus Wiguna pada awal Juli lalu. Pemuda asal Buahbatu, Bandung, itu terlibat dalam jaringan terorisme. Berdasarkan laporan Kepolisian RI, pemuda 21 tahun tersebut mempelajari cara merakit bom panci dari jejaring Internet, termasuk media sosial. Ini persoalan yang sangat serius. Banyak pemuda, atau bahkan mereka yang masih belia, terpapar virus radikalisme.

Setidaknya ada tiga langkah yang bisa diupayakan dalam mencegah hal ini terjadi. Pertama, revitalisasi penanaman nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme. Ini sangat penting mengingat gerakan radikalisme itu salah satunya bersumber dari lemahnya penghayatan, pemahaman, dan kecintaan terhadap nilai-nilai Pancasila, sehingga menyebabkan jiwa seseorang mengalami kemarau nasionalisme.

Merujuk pada Stanley Benn (1967) dalam artikel "Nationalism" di jurnal The Encyclopedia of Philosophy, setidaknya ada lima indikasi yang merupakan "suprastruktur" bangunan dan pengejawantahan nasionalisme. Indikasi pertama adalah semangat ketaatan dan jiwa patriotisme terhadap bangsa. Lalu kecenderungan mengutamakan kepentingan bangsa sendiri jika dibenturkan pada kepentingan bangsa lain. Kemudian sikap pentingnya penonjolan ciri khusus bangsa dan memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan. Terakhir, pandangan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi pelbagai bangsa, tapi ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu.

Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana atau pada bagian mana dalam aspek "suprastruktur" nasionalisme yang menyokong bangunan nasionalisme bangsa kita yang tergerus dan merapuh. Pemetaan ini penting karena akan berdampak langsung pada strategi dan skala penanganannya.

Pemerintah harus mencari formula untuk membangkitkan apa yang oleh J.J. Rousseau disebut sebagai "nasionalisme kewarganegaraan". Nasionalisme jenis ini dibangun dari partisipasi aktif rakyat. Sikap rakyat yang selalu aktif mencintai segala aspek negerinya adalah bahan baku utama untuk membangun nasionalisme.

Nasionalisme kewarganegaraan tersebut harus dipupuk dengan penguatan nasionalisme agama. Nasionalisme agama adalah semangat nasionalisme yang dibangun berdasarkan nilai-nilai agama. Ini penting untuk melapisi langkah pertama.

Survei Alvara Research Center pada Februari 2017 menemukan bahwa 97 persen penduduk Indonesia berkeyakinan bahwa agama merupakan hal penting dalam kehidupan. Masyarakat kita merupakan masyarakat yang religius. Modal ini tinggal diolah secara kreatif sebagai bahan baku nasionalisme.

KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, mencetuskan diktum hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air merupakan bagian keimanan). Inilah wujud konkret usaha untuk mengaktualisasikan sekaligus menumbuhkan dan merawat nasionalisme agama. Agama dijadikan pijakan untuk mencintai negara.

Jika dua nasionalisme itu berhasil ditumbuhkan, tahap selanjutnya adalah mentransformasikan keduanya menjadi "nasionalisme produktif". Ini merupakan gerakan nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, dari yang paling kasat mata sampai yang paling sublim.

Nurcholis Madjid (1985) pernah mengungkapkan pentingnya nasionalisme produktif ini. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit dari keterpurukan dengan instrumen nasionalisme jenis ini. Perang yang dilakukan adalah perang ideologi dan kebudayaan. Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Penguatan nilai dan tradisi menjadi sangat penting dalam isu ini. Produktivitas di segala bidang dalam arti yang positif adalah bentuk perlawanan yang paling konkret sekaligus usaha memupuk rasa cinta kepada Tanah Air.

Kedua, pemerintah harus melakukan program kontra-radikalisme. Secara filosofis, program ini tidak semakna dengan program deradikalisasi yang sedang marak-maraknya digaungkan pemerintah. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Jika deradikalisasi dimaknai sebagai program yang bertujuan melunakkan radikalisme narapidana, kontra-radikalisme adalah sederet program dan gerakan yang menyentuh segenap lapisan yang sudah terbukti bergabung dan pernah melakukan tindak terorisme maupun yang belum. Kontra berarti perlawanan, dan perlawanan paling efektif adalah melalui pendidikan dan penanaman pemahaman akan bahaya sikap dan gerakan radikalisme tersebut. Kuncinya ada di pendidikan. Mengutip Malala Yousfazai (2015), dengan senjata Anda dapat membunuh teroris, dengan pendidikan Anda dapat membunuh terorisme.

Ketiga, pemerintah harus lebih serius menggandeng organisasi kemasyarakatan yang berpaham moderat untuk membantu melunakkan paham radikalisme yang menjangkiti aparatur sipil negara. Misalnya, dengan merekrut khatib atau dai-dai yang santun dan kompeten dari organisasi seperti NU dan Muhammadiyah untuk mengisi pengajian, taklim, dan khotbah Jumat di kantor-kantor pemerintah. Dibutuhkan kerja sama pelbagai pihak untuk menghalau radikalisme yang kian hari kian meluas dan meresahkan ini.

 

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler