x

Sejumlah anggota TNI, polisi, dan anggota berbagai ormas mengarak patung Garuda Pancasila menjelang upacara dalam aksi bertajuk Sukoharjo Bumi Pancasila di Sukoharjo, Jawa Tengah, 13 uli 2017. Kamis (13/7). Aksi yang digelar untuk memperingati HUT Ka

Iklan

Johannes Sumardianta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Genius Merana Terpikat Pancasila

Audrey Yu Jia Hui bisa disebut role model generasi muda Indonesia promotor Pancasila

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Lembaga ini dibentuk sebagai atas fenomena Pancasila, ideologi negara, yang sudah lama terbengkelai sebagai slogan. Menjelang 72 tahun perayaan HUT kemerdekaan NKRI, bangsa Indonesia terancam terjun bebas ke jurang terdalam krisis keteladanan. Pancasila, sebagai common ground (kesepakatan bersama) dibuang sayang, diamalkan jarang. Jalan emas kemerdekaan menjadi bercabang dua. Pertama, jalan sama dapat, sama bahagia. Gerbang Tol bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan. Kedua, jalan sama ratap, sama nestapa. Jalan terjal bagi kebanyakan orang Indonesia yang hidupnya kecingkrangan.

Stretegi politik makin maju. Etika politik makin mundur. Prosedur demokrasi makin berkembang. Tapi budaya demokrasi masih tetap nepotis-feodalistik. Pemerintahan orang-orang berprestasi (meritokrasi) belum juga kunjung hadir. Pemerintahan sedang-sedang saja (mediokrasi) terus berjaya. Indonesia jadi negeri gemah ripah loh korupsi.

Ketuhanan dan kemanusiaan, sila pertama dan kedua Pancasila, saling bertabrakan.  Keragaman yang mestinya jadi wahana saling mengenal, menghormati, menyempurnakan, berbagi, dan melayani guna menguatkan persatuan justru menjadi ajang saling menyangkal, mengucilkan, dan meniadakan yang mengarah pada kehancuran dan kelumpuhan. Indonesia bisa menjadi negeri kaum pecundang bila terus mencampakkan Panca Sila.

Di tengah situasi dan kondisi contradiction in terminis (sesat pikir) maupun contradictio in actionem (salah kaprah bertindak) itu ada kisah menyentuh yang menggetarkan hatii. Kisah baik  sekaligus buruk ini bisa jadi masukan berharga buat UKP-PIP. Indonesia memiliki warga negara genius berbakat luar biasa yang seumur hidupnya dibaktikan buat Pancasila. Kegeniusan dan kecintaannya pada Pancasila justru membuatnya menderita. Kendati demikian, Audrey Yu Jia Hui bisa disebut role model generasi muda Indonesia promotor Pancasila.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Audrey Yu Jia Hui lahir di Surabaya 1988 sebagai anak tunggal keluarga keturunan China terpelajar. Ayahnya, insinyur teknik mesin jebolan ITS, mengajarkan watak gigih dan tabah. Ibunya, insinyur kimia jebolan ITS, mendidik dengan sikap tulus dan pemaaf. Audrey menyelesaikan SD 5 tahun, SMP 1 tahun, dan SMA 11 bulan. Umur 10 tahun skor TOEFL 573. Ia memiliki daya ingat fotografik. Dia baca buku hanya sekali sudah paham substansinya. Umur 11 tahun hapal luar kepala kamus Indonesia-Inggris setebal 650 halaman. Umur 14 tahun skor TOEFL 670. 

Prof. Yohanes Surya, fisikawan, belum pernah menemukan anak Indonesia sejenius Audrey. Sangat pintar di bidang matematika dan fisika. Penguasaan bahasa asingnya prima. Pandai bermain music dan melukis. Kedewasaan spiritualnya sempurna. Kematangan jiwanya mengagumkan.

Audrey, pada fase play stage, meniru peran saat SD, berfantasi ingin menjadi patriot seperti halnya Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan Bung karno. Para pahlawan nasional yang posternya dipajang pada dinding kelasnya. Agar kelak hidupnya berguna bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang miskin dan menderita. Ia sangat menyukai pelajaran nahsa Indonesia dan kewarganegaraan. Sejak kecil Audrey sudah mengalami rupa-rupa kesulitan. Kecerdasan malah membuat Audrey terkucil dari pergaulan dengan kawan-kawan sebayanya. Pikirannya terlalu maju. Para gurunya di SD dibuat jengah dengan pertanyaan mendasar dan kritisnya. Ia sempat ingin menjadi manusia biasa yang diterima dalam pergaulan pada umumnya.

Audrey  melewati masa kanak-kanak dan remaja nyaris tanpa rasa percaya diri. Prestasi akademisnya yang sensasional rupanya tidak banyak membantu. Justru menambah tekanan batin karena menimbulkan iri hati para orang tua kawan-kawannya. Sarjana fisika jebolan universitas negeri papan atas di Amerika pada usia 16 tahun ini melewatkan masa kecil dan remajanya dengan suram. Ia merasa kesepian dan terasing. Ia kehilangan tanah air riil (Indonesia) maupun imajiner (negeri leluhur). Dalam sangkar keterkungkungan Audrey menjadi sangat terobsesi belajar tekun.

Audrey remaja malu terhadap diri sendiri. Ia muak terhadap keluarga saat menyadari dilahirkan sebagai gadis keturunan China. Etnis minoritas yang dari namanya saja sudah diterakan konotasi rendah dan nista. Mimpi indah Audrey tentang negerinya pecah berkeping. Bagai gelas kristal eksotis yang hancur di bebatuan buruk rupa. Bertahun-tahun ia bergulat dengan beban batin itu.

Konflik batin Audrey tetap bergemuruh saat kuliah di The College of Willliam and Mary Virginia, (WM) AS pada usia 13 tahun. Ia memperoleh dukungan dari kawan-kawan dan profesornya. Orang Amerika tidak menyangka kalau ada gadis Indonesia memiliki kecerdasan luar biasa. Maklum WM sebenarnya kolese khusus untuk remaja genius AS. Audrey diterima studi ke WM karena kecerdasannya di atas rata-rata mahasiswa perguruan tinggi yang 7 alumninya pernah menjadi presiden AS ini.. Di AS nasionalisme Audrey berkobar. Ia baru merasakan betapa bangganya jadi WNI. Ia mengalami rehabilitasi kewarganegaraan.

Audrey memang tidak langsung merasakan diskriminasi. Orang tua banyak mengisolasinya di dalam kamar belajar agar tidak terlalu berinteraksi dengan khalayak ramai. Masa kecil hingga remaja bisa dibilang sebagai fase kesia-siaan bagi Audrey.  Ditandai kebenciannya pada orang tua dan perasaan malu terhadap diri sendiri. Kesiaa-siaan itu mulai dirasakan saat Audrey mendapati nama resmi ayahnya (Budi Loekito) berbeda dengan nama Tionghoanya (Loe Seng Hoe).

Nasionalisme semakin tebal ketika sesorang berada di luar negeri. Itulah yang dialami Audrey saat studi di Virginia. Keindonesiaannya menguat. Etnisitas meluruh. Kewarganegaraan menguat. Di AS Audrey ingin segera pulang untuk memberi sumbangsih bagi Indonesia. Padahal, menurut Prof. Yohanes Surya, andai terus studi Audrey bisa meraih gelar doktor fisika umur 20 tahun. 

Audrey tidak ingin menjadi kaum minoritas China pada umumnya yang hidup hanya untuk mencari uang. Tidak hendak pula menjadi sosialita bersuami kaya yang doyan mempercantik diri. Perilaku sosialita yang gemar creambath, manicure, padicure, sliming, di salon atau spa dianggapnya egois. Tidak berempati dengan fenomena kemiskinan dan ketidakadilan.

Generasi muda Tionghoa Indonesia, menurut Audrey, tak ubahnya Hanafi, tokoh novel Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis. Kacang kosong berpaspor Indonesia yang tidak memiliki keterikatan pada NKRI. Tidak jelas identitas budayanya justru karena mendapat pendidikan terbaik pada zamannya. Sejak kecil diasuh dan didik di lingkungan borjuasi Belanda. Pendidikan tidak membuatnya mengenali kebenaran, keadilan, kasih, dan kemanusiaan. Ia merendahkan istrinya sebagai orang kampungan tidak terpelajar.

Audrey sangat mencintai Pancasila. Dalam perbedaan ia menemukan kekuatan dan keindahan. Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan berjaya bila mengindahkan falsafah Pancasila dalam kehidupan nyata keseharian. ***

Oleh: J. Sumardianta

guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016) dan Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali (2017). 

Ikuti tulisan menarik Johannes Sumardianta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler