x

Iklan

Kamaruddin Azis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manifestasi Siri' dari Tokoh Muda Masalembu

Tentang prinsip tokoh muda Kepulauan Masalembu, Sumenep yang memilih berjuang bersama nelayan tradisional menentang operasi cantrang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namanya Darul Hasyim Fath. Sore itu, saya bersua dengannya di salah satu titik di bilangan Jakarta Selatan (28/07). Dia adalah sosok sekaligus tokoh muda masyarakat Sumenep yang belakangan ini menjadi bagian perlawanan nelayan tradisional dari Kepulauan Masalembu, Jawa Timur. Disebut kepulauan sebab daerah ini terdiri dari beberapa pulau besar yaitu seperti Kramaian, Samakambing, Masalembu. (foto: Darul saat doa bersama nelayan Masalembu)

Posisinya sebagai anggota DPRD Sumenep menempatkannya sebagai penyambung lidah tidak kurang 600 nelayan kecil yang merasa dirugikan jika cantrang beroperasi. Dia mewakili aspirasi pemIlik armada payang, pemancing dan pemasang pukat khas Masalembu, yang disebutnya sebagai pajala.

Masalembu terletak di antara Provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Jika menyebut Masalembu, kita mungkin terkenang ketika Kapal Tampomas 2 karam di sekitarnya ketika perjalanan dari Jakarta ke daratan Sulawesi di tahun 1981.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awalnya, pertemuan saya dengan Darul tak sedikitpun menyiratkan informasi bahwa dia merupakan perwujudan pembauran Madura, Bugis dan Mandar. Hal itu diakuinya ketika kami mengobrol tentang kondisi masyarakat Masalembu, motif penolakan alat tangkap cantrang dan nilai-nilai luhur khas komunitas di Masalembu.

Bauran Mandar, Bugis Madura

Pria ini lahir di Pulau Masalembu. Menyelesaikan SMP dan SMA di Sumenep sebelum diterima di Universitas Gajah Mada pada Fakultas Filsafat di Jogjakarta. Meski diterima di UGM namun dia merasa minatnya di ilmu filsafat 'terusik' oleh mandat rakyat yang memilihnya sebagai anggota DPRD Sumenep mewakili Kepulauan Masalembu selama dua periode.

Dedikasinya pada kampung halamannya terkait cantrang (varian trawl) bermula ketika tahun 2014 terjadi konflik antara nelayan setempat dan nelayan pendatang yang mengoperasikan cantrang. Alat tangkap yang dilarang oleh Pemerintah melalui Permen KP tahun 2015.

“Saya ini berdarah Bugis, Bugis Barru. Meskipun kakek saya juga ada turunan Mandarnya, Mandar Balanipa, Maje’ne,” kata pria kelahiran tahun 1981 dan bersaudara tiga orang ini.

Darul pernah berkunjung kampung halamannya di Desa Palece, Limboro, Maje'ne. Ayahnya berdarah Madura dan ibunya asal Barru, Sulawesi Selatan. Kedua orang tuanya tinggal di Masalembu sementara Darul di Kota Sumenep, kota yang dapat ditempuh selama 16 jam pelayaran.

Peran Darul dalam advokasi nelayan tradisional sejauh ini seiring dengan adanya inisiatif nelayan Masalembu yang menolak perpanjangan alat tangkap cantrang oleh Jokowi hingga Desember 2017. Alasannya, alat tangkap tersebut telah membuat [ara nelayan setempat kesulitan saat melaut sebab ikan-ikan telah nyaris habis karena serbuan nelayan cantrang. Posisinya sebagai anggota DPRD membuatnya vital dalam memberi semangat bagi nelayan setempat yang merupakan konstituennya terutama dari pulau sekitar Masalembu.

“Kalau diajak silaturahmi, datang saya,” katanya terkait adanya permintaan dari beberapa pihak agar diberikan kesempatan mengoperasikan cantrang di sekitar Masalembu.

“Saya tahu, bahwa jika seorang yang dipercaya, maka itu harus dipegang teguh. Sebagaimana prinsip siri’ bukan?” ucapnya.

Darul mengaku bahwa spirit itu juga yang dipegang teguh sehingga tetap berada di posisi nelayan Masalembu. Menurutnya, sudah banyak pengalaman, beberapa orang, tokoh asal Masalembu di tahun 90an dan 2000an jatuh dan tidak memperoleh lagi kepercayaan dari masyarakat karena pilihannya yang tidak tepat.

“Di Masalembu, nelayan-nelayan yang tidak menggunakan cantrang bisa dapat hasil melaut antara 12 hingga 15 juta. Lebih besar dari gaji pak Camat,” katanya tersenyum. Yang dimaksud adalah nelayan pajala, pengguna jaring mayang dan pemancing ikan.

“Di Masalembu, ada juga pakedo-kedo,” katanya. Pakedo-kedo adalah sebutan untuk nelayan pancing ikan dasar seperti kerapu, kakap termasuk tenggiri. Nelayan dengan alat tangkap ini sangat terkenal di Makassar dan sekitarnya. Nelayan dari kawasan Spermonde, sangat piawai untuk urusan ini.

Manifestasi Siri’

“Aku mau, semua pejabat harusnya punya sense of crisis. Di pikran kita, mengapa Jokowi memilih Susi adalah hal yang luar biasa, abad ke depan belum tentu ada yang seperti ini,” katanya dengan akses Madura yang mudah terbaca.

“Makanya saya heran ketika ada politisi yang mencoba keluar dari garis sejarahnya, sejarah kejadiannya dan berkhianat pada kejadiannya, pada masyarakatnya,” ujarnya. Maksudnya, keperpihakan politisi adalah pada hakikat kehidupan dan masa depan warga yang memang selama ini bergantung pada sumberdaya alam dan belum mampu meningkat kualitas hidupnya. Hal yang butuh proses, waktu dan kesabaran.

“Ini prinsip siri’ dari Bugis yang juga harus dipertahankan sebab kalau sudah hilang, selesai sudah…” ujar anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Bagi Darul, apa yang dilakukan oleh nelayan Masalembu adalah sebuah inisiatif nelayan tradisonal yang melawan dengan caranya sendiri. Ada kerentanan yang mengarah pada chaos di lautan yang dia tidak inginkan sebagai bagian dari masyarakat Masalembu.

***

Di Masalembu, suku Bugis, Makassar, Mandar dan Madura telah membaur sebegitu rupa. Darul adalah contoh bagaimana ayahnya yang Madura menikahi ibunya yang merupakan keturunan Bugis Barru dari daratan Sulawesi.

Tentang diaspora Bugis di Nusantara, Darul mengaku pernah membaca cerita dari buku Christian Pelras terkait Manusia Bugis itu.

“Saya pernah tanya George Aditjondro, yang keturunan Jawa-Belanda dan pernah tinggal di Makassar. Ayahnya ka hakim di sana ya? Saya tanya, apa yang membuat suku Bugis banyak melakukan migrasi? Apakah semata karena urusan kepelautan?” kenang Darul.

Menurut George, kata Darul, apa yang ditulis oleh Pelras itu harus di-revisi.

“Orang Bugis itu, kalau misalnya mendukung pemimpin politik, dan pemimpinnya berkhianat, maka dia bisa pergi bahkan mejual tanahnya.. Sebagian mungkin karena alasan perniagaan tetapi akibat politik juga sangat banyak,” sebut Darul.

Dari cerita George itu, Darul merasa, bisa jadi benar sebab dari beberapa praktik politik sebagai Pikades di Sumenep, beberapa keturunan Bugis banyak melakukan migrasi dengan menjual tanahnya.

“Ada yang ke Batam, biasaya kalau ada pemimpin yang dipilih tapi tak memenuhi janjinya,” katanya. Menurutnya sebutan Uwak atau Daeng masih jamak disebut di Masalembu.

***

Tentang kohesi sosial atas nama Bugis Makassar tersebut, Darul bercerita bahwa kala pelaksanaan Pilpres, Kabuapaten Sumenep itu memenangkan Prabowo-Hatta namun dia amat berbangga menjadi bagian kemenangan Jokowi-JK di Masalembu.

“Ada 128 pulau berpenghuni yang memilih dan memenangkan Prabowo, ada 27 kecamatan, 138 desa, di Sumenep daratan dan kepulauan, Jokwoi JK hanya menang di 4 kecamatan, di kecamatan kami,” kata pria yang merupakan saksi pada rekap KPU kala Pilpres 2014 itu.

“Kami memlih Jokowi-JK dan ketika mereka membacakan Nawacita, Poros Maritim, maka di sinilah harapan kami, kepada perlindungan ekosistem, bahwa laut akan terpelihara. Makanya tidak ada alasan Jokowi untuk gamang mengambil keputusan termasuk cantrang ini,” katanya.

Sebelum menutup ceritanya, Darul mengaku bahwa tradisi Bugis masih sangat terpelihara di Masalembu. Bajubodo dikenakan pada saat pesta, songkok guru hingga rumah-rumah panggung khas Bugis Makassar masih ditemui di pesisir Masalembu atau Pulau Masalima.

“Pagi-pagi udah bikin sanggar pisang, sore bikin pallubutung, the hangat,” katanya.

Di Masalembu tradisi pernikahan, khitanan mapun acara-acara keluarga masih tetap menggunakan tradisi Bugis-Makassar kebanyakan. Bugis, Makassar atau Mandar kalau digabung mencapai 50 persen terutama di Pulau Masalima.

Kadang Darul juga mencandai keluarganya yang Bugis itu, dengan seloroh.

“Kita tuan tanah di pulau ini tetapi selera kita mulai bergeser ke roti, karenanya kita bergantung pada pihak lain untuk mencari gula,” ungkap anggota DPRD Sumenep dua periode ini dan mengaku belajar politik dari tokoh PDI-P, Sonny Keraf.

Tebet, 30 Juli 2017

Ikuti tulisan menarik Kamaruddin Azis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler