x

Anggota DPR meninggalkan ruang sidang (Walk Out) sebelum pengambilan keputusan pengesahan RUU Pemilu pada Rapat Paripurna ke-32 di Gedung Nusantara II, Jakarta, Jumat (21/7) dini hari. Empat fraksi yang memutuskan walk out yaitu PKS, Gerindra, PAN, d

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilema Hak Penggugat Presidential Threshold

Koalisi Walk Out seharusnya bisa menyelesaikan sakit hati mereka saat detik-detik terakhir pengesahan UU

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Harjono dalam buku Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (2008 : 176), menjelaskan bahwa legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi (“MK”).

Dari pengertian tersebut, Pihak yang dapat melakukan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu adalah pihak (partai politik) yang merasa dirugikan atas ketentuan Presidential Threshold. Hal ini diperjelas oleh Fajar Laksono selaku Juru Bicara MK bahwa partai politik yang bisa melakukan judicila review UU Pemilu adalah partai diluar senayan.

Dengan demikian, pihak-pihak yang berniat JR UU Pemilu bukanlah salah satu dari Koalisi Walk Out saat pembahasan pengesahan UU Pemilu. Karena mereka dianggap menjadi bahagian Pembentuk UU yang tidak bisa dikatakan dirugikan. Muncul masalah, bagaimana caranya menentukan siapa yang merasa dirugikan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejauh pengamatan saya, Partai Koalisi Walk Out yang terdiri dari Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN jelas dirugikan dengan ketentuan 20 persen Presidential Threshold (ambang batas pencalonan Presiden). Masalahnya, sebagai pihak yang turut serta membahas RUU Pemilu, Koalisi Walk Out seharusnya bisa menyelesaikan sakit hati mereka saat detik-detik terakhir pengesahan UU.

Dengan demikian, saya menyarankan agar MK memberikan penjelasan secara khusus terkait siapa yang berhak atau tidak berhak menggugat UU. Saya khawatir partai lain, partai lain seperti: Partai Idaman, Perindo, PSI, Partai Beringin Karya tidak berniat JR UU Pemilu.

Ketiadaan Hak

Sehingga saya beranggapan bahwa sepanjang suatu ketentuan dianggap keliru namun tidak ada yang melakukan gugatan dan/atau tidak diizinkan melakukan gugatan, maka kekeliruan itu dianggap benar dan sah untuk dipatuhi (dilaksanakan).

Sebagai contoh: partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan Ham tidak memiliki waktu untuk membahas dokumen JR UU Pemilu. Atau partai diluar senayan memiliki dokumen akan tetapi tidak berkuasa melawan kekuatan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah karena niat berkoalisi. Jadi, ketentuan PT 20 persen dengan mendalilkan kepada hasil pemilu 2014 dianggap benar dan tidak terpenaruh atas pemahaman publik terhadap makna Pemilu Serentak.

Lalu siapa yang berhak melakukan gugatan ambang batas pencalonan presiden selain partai senayan atau tidak? Mungkin pandangan saya bisa salah, sepanjang yang saya ketahui bahwa pihak yang berhak dan merasa dirugikan atas 20 persen PT adalah Partai di DPR, Partai diluar DPR, Anggota DPD, Organisasi Masyatakat Sipil dan Warga Negara.

Alasannya adalah aturan tidak bisa berlaku surut. Bagaimana mungkin sebuah aturan dilaksanakan untuk hari ini dan masa depan tetapi menggunakan alat pengukur di masa lalu. Hal ini tentu tidak termasuk kepada Konstitusi yang sepanjang tidak diamandemn masih berlaku setiap waktu.

Jika 20 persen PT berlaku untuk Pemilu 2019, saya hanya meramalkan bahwa pembahasan UU Pemilu akan diulang pada tahun 2023 untuk mengubah apapun yang diperlukan demi suksesi pemilu 2024. Misalnya, 20 persen PT tetap digunakan dan dirubah lagi menjadi 30 persen atau 10 persen. Semua tergantung dengan hitung-hitungan berapa calon yang bisa di-Capres-kan.

Semangat Kompetisi

Selain itu, apabila 20 Persen PT tidak digugat ke MK dan berlaku tetap. Setidaknya hanya akan memunculkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Satu sudah jelas Presiden Jokowi yang tinggal mencari siapa wakilnya. Sedangkan pasangan calon lain yang berpotensi adalah Prabowo dengan syarat didukung oleh Cikeas.

Apabila Prabowo dan SBY tidak sepakat, kita akan kehilangan semangat kompetisi yang seharusnya menjadi alat penyeleksi calon Negarawan dan Bapak Bangsa untuk peridoe 2019-2024. Semangat kompetisi ini akan berdampak fatal terhadap demokrasi yang memunculkan dendam kesumat di ruang wakil rakyat.

Menurut saya, pandangan PT sebagai rekayasa politik untuk membangun demokrasi seperti yang diungkapkan Prof. Jimly Assidiqie tentu harus diputuskan oleh MK. Kita sudah lelah dengan dinamika politik yang masuk kedalam pembahasan RUU Pemilu. Jadi, MK kedepan harus menyelesaikan putusan tanpa membuat hal-hal lain diombang-ambingkan. MK harus progresif untuk memutuskan secara detil sehingga tidak ada lagi perdebatan dikemudian hari.

 

Andrian Habibi

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler