x

Massa yang tergabung dalam Jaringan Daerah Tolak Angket KPK melakukan aksi simpatik di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, 19 Juli 2017. Mereka mengajak masyarakat agar menolak memilih partai politik dan anggota DPR pendukung hak angket terhadap KPK

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Membalik Tangan

Panggung politik mengajari kita tentang bagaimana permainan dijalankan sekaligus seperti apa karakter para pemainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Realitas politik sanggup menundukkan seseorang yang lantang menyuarakan kritik terhadap penguasa. Peristiwa seperti ini dapat terjadi di manapun, termasuk di negeri ini. Dalam waktu singkat. Sebagian politikus pura-pura terkejut menyaksikan kejadian ini, sementara yang lain mengatakan tidak ada yang istimewa—mereka tahu bahwa hal itu lumrah terjadi di masa sekarang, atau setidaknya mereka sudah menduga hal itu akan terjadi.

Berpaling kepada sejarah diperlukan agar kita memahami kehidupan, sebab jangkauan kita ke masa depan demikian terbatas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di zaman pergerakan dulu, hingga masa-masa awal setelah Proklamasi Kemerdekaan, panggung politik kita diisi oleh figur-figur yang kukuh pendirian. Mereka umumnya pintar berunding tanpa harus menyerahkan pendirian. Mereka juga bukan sejenis kutu loncat yang ringan hati berpindah-pindah partai atau semula menentang habis-habisan lalu berganti dalam semalam jadi mendukung. Mereka tak akan mengubah pendirian semudah membalik tangan.

Perhatikanlah misalnya Sutan Sjahrir. Perdana Menteri termuda dan pertama di Republik ini, yang pernah dipenjara bersama Bung Karno oleh penguasa kolonial, tidak menyerahkan pendiriannya sekalipun ia dipenjara oleh pemerintahan kawan seperjuangannya itu. Bahkan, hingga Sjahrir sakit dan tak lagi mampu berbicara—bisu, secara harfiah, dan meninggal di negeri orang.

Mohammad Hatta memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden karena tidak lagi sepaham dengan jalan yang ditempuh Soekarno. Saran-sarannya tidak lagi didengar oleh kawan seperjuangannya sejak muda itu. Di era sekarang, mundur dari jabatan apa, lagi setinggi itu, hanya kelangkaan. Sebab itu, mengherankan bila seorang politikus berubah pendirian demikian drastis dalam waktu singkat. Tapi mungkin juga tidak mengherankan, sebab sudah semakin jamak.

Memang, tidak mudah bagi mereka yang terjun ke dunia politik untuk sampai kepada tataran kenegarawanan seperti Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Keduanya, juga banyak figur pergerakan seperti Leimena, Natsir, Yamin, siapapun, teguh mempertahankan pendirian oleh karena meresapi apa yang mereka cita-citakan dan perjuangkan. Realitas politik tidak mampu menekuk lutut mereka sekalipun berhadapan dengan penguasa yang lebih cerdik memainkan kartu-kartunya.

Teramat sukar di masa sekarang untuk mempertahankan idealisme Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Figur-figur di sekitar kemerdekaan terjun ke pergerakan politik tanpa membawa serta pamrih pribadi—kepentingan bisnis umpamanya, dan itulah yang membuat perbedaan antara generasi mereka dan umumnya generasi kini. Mereka terbebas dari kepentingan dan pamrih lain. Bagi mereka, politik adalah jalan pengabdian untuk mewujudkan ide menjadikan negeri ini rumah yang layak bagi penghuninya untuk hidup tenang dan bahagia karena saling menghargai dan berkeadilan.

Politik itu dinamis, kata para politikus. Apapun bisa terjadi, kata politikus lagi. Memang, tapi tidak selayaknya menyerahkan pendirian semudah membalik tangan. Kekuasaan memang sangat mempesona orang-orang yang menatapnya dan menggoda orang-orang yang memegangnya untuk menikmati bagaimana mengubah nasib orang lain.

Sepertinya, jarak karakter dengan Hatta dan Sjahrir menjadi semakin jauh. Semakin jauh. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler