x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Nalar Individu ke Reparasi Sistem

Korupsi itu Rakus

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Dalam narasi kolonial dan pascakolonial, korupsi memang telah menjadi panggung pertunjukan kerakusan orang-orang kuat di Indonesia. Mulai dari masa VOC hingga pascareformasi seperti sekarang, korupsi menjadi hiasan berjalannya struktur pemerintahan dari yang kecil hingga besar. Power tends to corrupts, absolute power corrupts abosolutely sebagaimana kata Lord Acton menjadi aksioma yang masih sangat relevan. Semakin kuat posisi seseorang, maka semakin memungkinkan baginya untuk menyalahgunakan sebuah kekuasaan. Menindas yang lemah, dan memperkaya kelompok serta kroni. Bahkan, kaum papa dan marjinal dianggap sebagai subordinat dan hanya menjadi ladang perasan dari berlangsungnya kekejaman elit yang berkuasa.

            Kalau kita analisis lebih mendalam, perkembangan korupsi mulai dari struktur lapisan politik terbawah hingga teratas selalu menunjukkan dua faktor yang krusial. Pertama, sistem. Konstelasi dan eskalasi politik dalam negeri di sistem negara demokrasi seperti sekarang membuat korupsi tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Logikanya bisa kita contohkan dari pemilu. Politik elektoral di Indonesia adalah one man one vote. Satu orang satu suara. Mau dari yang bodoh, pintar, tua, muda, tetap dihitung satu.

            Sistem tersebut memicu timbulnya kontestasi memperebutkan suara mayoritas kursi kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif. Pertarungan tak sehat bisa saja dipertontonkan untuk menggaet suara massa. Satu opsi yang paling sering digunakan oleh calon, dan paling praktis ialah dengan menggunakan politik uang. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi terkait adanya praktik politik uang yang dilakukan caleg untuk mendulang suara pada pemilu legislatif (pileg) 9 April 2014 lalu menyimpulkan masih maraknya praktek politik uang. Kasus terbanyak terjadi di provinsi Banten yaitu 36 kasus. Kemudian disusul Riau dan Bengkulu dengan 31 kasus. Sumatera Barat 31 kasus, dan Sumatera Utara 29 kasus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Praktik politik uang tentunya terjadi bukan berdiri sendiri. Berlangsungnya politik uang salah satunya dipengaruhi oleh pusaran kemiskinan yang menjadi-jadi. Bila kita berkaca dari indeks kemiskinan di tingkatan lapisan bawah, masih memprihatinkan. Maret 2017, BPS merilis ada sekitar 27,77 juta jiwa masyarakat miskin. Data kemiskinan itu tak sepenuhnya bisa kita jadikan pijakan. Karena, fakta empiris bisa jadi lebih mengerikan. Konklusi yang ingin saya sampaikan, kemiskinan menjadi salah satu alasan kuat masyarakat menggadaikan pilihannya dalam pemilu. Dengan uang 100, 200, atau bahkan sampai 500 ribu sudah cukup mengepulkan dapur dan mengenyangkan perut (walaupun hanya sesaat). Sudah menjadi rahasia umum, manusia marjinal dan papa seperti itu hanya memikirkan bagaimana mereka makan hari ini. Sehingga, uang yang dipolitisasi itu adalah rezeki nomplok yang tak boleh disia-siakan.

            Ketidaktahuan kaum papa dalam menangkap implikasi jangka panjang praktik politik uang semakin menambah catatan penderitaannya. Ini terjadi karena kualitas pendidikan yang diterima masyarakat bawah tak sepadan dengan mereka yang mengenyam pendidikan tinggi. Kondisi finansial yang tak memungkinkan hingga diskriminasi dalam dunia pendidikan menciptakan budaya pragmatis di masyarakat. Alhasil, agar tetap survive dari kerasnya hidup, mereka melakukan segala macam cara, termasuk memakan uang haram.

            Setelah mereka terjerembab ke dalam kubangan kotor politik uang itu, apakah yang di dapat oleh orang lemah ini? Apakah yang akan terjadi? Ketika hasil pemilu sudah diumumkan, maka disitulah elit mulai berpesta. Cost politic yang begitu besar yang telah terkuras di masa-masa kampanye membuat elit berupaya keras mencari cara mengembalikan uang atau singkatnya balik modal. Jelas saja. Untuk tataran pencalonan bupati/walikota saja bisa menghabiskan sekitar Rp.25 miliar (Aly Taufiq, 2014). Konon lagi di tataran presiden dan DPR, bisa lebih tinggi.

            Sekarang mari kita hitung pendapatan bupati/walikota. Dalam sebulan, pendapatan bupati/walikota menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 68 Tahun 2001 mencapai Rp.5,88 juta (sudah termasuk tunjangan). Sementara untuk wakilnya mendapat gaji Rp.5,04 juta (sudah termasuk tunjangan). Bila kita kalikan selama setahun, gaji bupati/walikota sebesar Rp.70,56 juta (dalam lima tahun hanya Rp.352,8 juta). Sementara wakil bupati/walikota sebesar Rp.60,48 juta (dan dalam lima tahun hanya mendapat Rp.302,4 juta).

            Kita bisa bandingkan bagaimana disparitas antara gaji dengan biaya politik yang begitu besar dihabiskan selama masa kampanye pemilu. Untuk menutupi itu lah, bupati/walikota biasanya membuka keran praktik tender dan investasi yang menjadi pintu utama penyalahgunaan wewenang. Dengan jabatan yang ia emban selama 5 tahun, akan banyak ladang investasi yang diberikan kepada para investor. Saya jamin, praktik kongkalikong bawah kolong akan terjadi. Maka, dalam situasi seperti ini, power tends to corrupts menemukan defenisi terbaiknya. Dan lagi-lagi, masyarakat akan kena getahnya. Tidak mendapatkan public service secara maksimal.

            Sistem politik yang sudah sedemikian cacat kian diperparah oleh kualitas penegakan hukum yang masih tumpul. Guru besar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Adi Sulistyono, pernah mengatakan bahwa proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tak menjerakan. Pelaku korupsi yang menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun. Mereka bahkan seperti pelancong. Bisa bebas keluar penjara sesuka hati tanpa penjagaan dari aparat penegak hukum. Contohnya bisa kita lihat dari kasus Gayus Tambunan yang tertangkap sedang menikmati permainan tenis di Bali.

            Dalam latar semacam ini, individu (yang juga menjadi faktor krusial) pasti akan terjepit. Mau tidak mau, suka tidak suka, sistem telah membelenggu mereka. Singkatnya, keadaan yang memaksa mereka untuk berlaku korup. Bila pun ada yang ingin keluar dari lubang maut itu, pasti sangat sulit. Karena, sebagaimana dikatakan oleh Bertrand de Speville (mantan Ketua Komisi Antikorupsi Hongkong), melawan korupsi adalah pekerjaan sunyi. Jumlah teman menyusut, jumlah musuh melonjak. Ancaman datang bertubi-tubi. Dan kita akan semakin dikucilkan di lingkungan sekitar. Sungguh mennyakitkan sekali bukan?

            Lingkaran setan korupsi akan selalu ada bilamana tidak ada itikad baik dari setiap individu untuk memutuskannya. Sistem yang sudah sedemikian akut hanya bisa diputus bila individu di dalamnya memiliki nalar dan akal yang sehat untuk mengubahnya. Bila ini sudah dicapai, barulah realisasi kebijakan pro rakyat perlahan dapat dilakukan. Upaya-upaya peningkatan ekonomi kerakyatan melalui program UMKM misalnya lebih mudah dimaksimalkan. Sistem pendidikan yang demokratis, ilmiah, dan berbasis pada kemanusiaan akan lebih mudah dibentuk dan direalisasikan. Dan terakhir, bila sudah ada kesadaran, penegakan hukum pastilah tidak tebang pilih. Tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

            Akhir kata, mari berlomba memperbaiki diri, berlaku jujur, dan memainkan nalar sehat di mana pun dan kapan pun. Selepas itu, pasti kita lebih mudah mereparasi sistem. Semoga.

Penulis adalah Analis Muda Politik di Departemen Ilmu Politik FISIP USU dan Alumni Kelas KPK dan pegiat literasi di Toba Writers Forum.

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler