x

Sejumlah calon jemaah calon haji asal Jawa Barat mendengarkan bimbingan dari panitia penyelenggara ibadah haji saat tiba di Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi, 27 Juli 2017. Sebanyak 808 jemaah calon haji dari kloter satu dan dua asal Cianjur, Bogo

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Internasionalisasi Haji dan Politik Arab Saudi

Setelah sebelumnya, Iran dan Libya pernah mengusulkan dan mendesak soal internasionalisasi haji, kini Qatar juga bersuara sama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Haji merupakan ritual wajib bagi setiap muslim yang dijalankan secara serentak di Kota Mekkah, Arab Saudi. Raja Arab mengklaim sebagai “pelayan dua kota suci” (khadim al-haramain) Mekkah dan Madinah sehingga memiliki peran vital dalam tata kelola ibadah haji. Ini artinya, otoritas tunggal soal haji, jelas hanya dimiliki oleh Arab Saudi dan tidak memungkinkan melibatkan negara muslim lainnya. Ibadah yang seharusnya menjadi hak seluruh umat muslim, dimonopoli oleh Arab Saudi, sehingga muncul ide “internasionalisasi” haji yang digaungkan beberapa negara muslim.

Setelah sebelumnya, Iran dan Libya pernah mengusulkan dan mendesak soal internasionalisasi haji,  kini Qatar juga bersuara sama. Qatar bahkan merasa dibatasi ketika warga negaranya hendak berhaji ke Mekkah, karena otoritas Arab Saudi menetapkan hanya dua jalur yang boleh dipergunakan warga Qatar ketika masuk wilayah Arab Saudi. Konsekuensi ini jelas membuat otoritas Qatar geram, belum juga selesai soal embargo negara-negara Arab terhadanya, kini malah dipersulit soal ibadah. Qatar melancarkan kritik keras terhadap politisasi haji yang dilakukan Saudi, bahkan keinginan agar tata kelola haji dapat dilakukan secara internasional, disampaikannya ke PBB dengan alasan bahwa monopoli haji oleh Saudi dianggap melanggar kebebasan beragama.

Memang sulit dipungkiri, bahwa haji yang dikelola secara tunggal hanya oleh otoritas Saudi, tidak saja bernilai devisa sangat besar bagi kerajaan, tetapi juga sangat berimpilkasi politis, dimana Arab Saudi pada akhirnya akan memiliki posisi tawar yang sangat penting di dunia muslim. Menurut Azyumardi Azra, Raja Faisal sejak 1960-an telah menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara muslim lain untuk mewujudkan dan menguasai Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Itulah kenapa pada akhirnya, dukungan negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI juga tak mempermasalahkan Saudi sebagai pemegang hak istimewa atas tata kelola haji, tentu saja dengan privilege yang diberikan Saudi kepada negara penyuplai jamaah haji terbanyak, seperti Indonesia, Malaysia, Turki, Pakistan dan Nigeria.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudah sejak lama, Arab Saudi terlampau sensitif ketika ada suara-suara yang menggaungkan “internasionalisasi” ibadah haji. Klaim kerajaan atas “khadim al-haramain” jelas merupakan “misi politik” Saudi untuk tetap mempertahankan otoritas istimewanya atas tata kelola haji. Internasionalisasi berarti deklarasi perang melawan otoritas kerajaan dan cara apapun akan dilakukan otoritas kerajaan untuk menghalau segala upaya yang mengarah pada pengelolaan bersama atas situs-situs suci umat muslim. Memang harus diakui, bahwa ibadah haji nampaknya tak pernah steril dari nuansa politik jika melihat pada cara-cara pengelolaan haji oleh Arab Saudi, baik dari segi perizinan, kuota jamaah, bahkan hingga persoalan jalur masuk para jamaah, diatur sedemikian rupa atas wewenang kerajaan.

Ibadah haji sejatinya adalah seruan Nabi Ibrahim atas perintah Allah, agar seluruh umat muslim datang berziarah ke tempat-tempat suci di Mekkah, seperti Ka’bah. Secara umum, “seruan” berarti memiliki konotasi “kebebasan” bagi siapa saja yang mampu untuk menjalankan ibadah haji. Cerita ini secara apik direkam oleh al-Quran dalam surat Al-Hajj, ayat 27: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” Ayat al-Qur’an yang turun 1500 tahun yang lalu, justru masih sangat dirasakan sekarang, bahwa para jamaah haji datang dari berbagai pelosok dunia untuk mendatangi dua kota suci, Mekkah dan Madinah. Tidak pernah ada otoritas agama yang mengatur soal hak istimewa pengelolaan ibadah haji, kecuali klaim Arab Saudi sendiri yang menjadikan dirinya sebagai otoritas tunggal pengelola ibadah haji.

Memang sangat sulit rasanya menghapus status “khadim al-haramain” yang disandang oleh raja Saudi, karena memang secara politik dia adalah penguasa wilayah Arab Saudi dengan segala tanggungjawab yang dibebankan kepadanya. Rasa tanggungjawab yang besar, memang semestinya linier dengan semakin baiknya pengelolaan ibadah haji, termasuk fasilitas, keamanan dan kenyamanan yang dirasakan oleh segenap Tamu Allah ini. Peristiwa-peristiwa kekacauan yang mengakibatkan jatuh korban—seperti peristiwa Mina—seharusnya tak lagi terulang, jika memang otoritas Saudi sangat serius sebagai “pelayan dua kota suci”. Jutaan jamaah yang semakin bertambah setiap tahunnya, harus diantisipasi secara profesional dari setiap tetek bengek pengelolaannya. Walaupun misi politik tetap berjalan, namun jika dibarengi dengan semakin baik dan profesional tata kelola hajinya, saya rasa akan lebih sedikit muncul persoalan.

Otoritas Arab Saudi juga nampaknya harus menurunkan tensi egoismenya dalam hal kepentingan politik vis a vis negara muslim. Ibadah haji adalah kewajiban seluruh umat muslim, sehingga memang ada tanggungjawab bersama di dalamnya yang tidak melulu menjadi hak istimewa Saudi. Setiap orang berhak menjalankan kebebasan beribadah dan beragamanya masing-masing, tanpa ada tekanan, paksaan terlebih intimidasi dari pihak pengelola tempat ibadah. Menjadikan ibadah haji dikelola secara internasional rasanya belum diperlukan, walaupun beberapa negara muslim nampak kurang suka dengan sikap arogansi Saudi dalam misi politik yang ditancapkannya. Berbagai peristiwa yang memakan korban dalam beberapa kali perhelatan ibadah haji, justru menjadi pintu masuk bagi negara-negara muslim yang kontra Saudi untuk terus menggaungkan internasionalisasi ibadah haji.

Upaya internasionalisasi apapun terhadap ibadah haji nampaknya akan sangat sulit terwujud, meskipun ada tuntutan dari dunia internasional sekalipun. Yang diperlukan saat ini adalah seluruh jamaah haji yang mengunjungi Mekkah dan Madinah akan selalu merasa aman, nyaman dan tentu saja khusyuk dalam melaksanakan ibadah. Internasionalisasi haji atau tidak, nampaknya tak akan begitu banyak berpengaruh selama pemegang otoritas pengelolaan haji terus memperbaiki mekanisme pengelolaannya. Mekkah dan Madinah pasti akan sangat dijaga, karena di dalamnya terdapat situs-situs suci, termasuk Ka’bah dan makam Nabi Muhammad yang tidak bisa secara sembarangan dikelolakam secara bersama. Lagi pula, haji yang merupakan ritual wajib setiap muslim yang bersifat suci, rasanya kurang elok jika “dikotori” oleh hal-hal yang bersifat politis

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler