x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tragedi Manusia Modern

Berbekal riset ekstensifnya, Robery Gellately mengungkapkan bagaimana tokoh barisan kiri dan kanan memakai cara-cara serupa untuk menegakkan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Benarkah Lenin seorang idealis yang tidak layak dikritik, seperti digambarkan dalam berbagai buku sejarah? Sungguhkah ia seorang yang memancangkan cita-cita keadilan sosial bagi masyarakatnya? Ataukah ia tak ubahnya diktator lain yang berlumuran darah demi menegakkan kuasanya?

Tatkala panggung sejarah Eropa yang sunyi berubah jadi riuh, di awal abad ke-20, Vladimir Lenin tengah diasingkan. Dari Zurich, Lenin menyaksikan monarki Rusia ambruk dan negeri itu terjerembab dalam perang melawan Jerman. Barangkali tidak banyak yang tahu, bahwa Lenin—seperti diungkap Robert Gellately dalam bukunya, Lenin, Stalin, and Hitler: The Act of Social Catastrophe—tidak menolak jutaan mark yang disodorkan pemerintah Jerman agar kembali ke Rusia dan mengobarkan apa yang disebut ‘perdamaian’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara cerdik, Lenin menangguk keuntungan dari situasi yang makin memburuk. Patriotisme Rusia boleh dinyalakan oleh pemerintahan sementara, tapi Lenin justru berharap Rusia menyerah kepada Jerman. “Hanya kekalahan Rusia-lah yang akan memicu revolusi,” kata Lenin. Sebaliknya, di Jerman, seorang serdadu bawahan bernama Adolf Hitler mulai menyerap ketidakpuasan sayap kanan yang merasa negerinya dipojokkan di berbagai perundingan.

Perang saudara, kemiskinan, pengangguran, dan kekacauan menyapu Eropa bagaikan awan gelap yang bergulung-gulung di langit. Namun, situasi buruk ini justru membuka peluang bagi para radikal dan kaum utopis untuk naik ke panggung kekuasaaan. Inilah saatnya mewujudkan impian tentang sebuah tatanan masyarakat baru. Dunia terlambat menyadarinya hingga tak lama kemudian menyaksikan malapetaka besar dalam sejarah manusia.

Gellately membongkar citra idealias Lenin dan meletakkannya sejajar dengan Josef Stalin dan Adolf Hitler dalam cara kedua figur ini mengagungkan horor di zaman modern. Dari arsip-arsip yang baru dibuka, ia mendapati bahwa Stalin hanyalah pengikut setia jalan berpikir Lenin—bukan sosok yang berbeda secara fundamental. Tak ada keraguan, Leninlah peletak dasar cara-cara teror untuk mencapai tujuan komunisme, dan mempraktekkannya sejak minggu pertama Revolusi Bolshevik 1917.

Sejarah memang kerap ditulis berbeda. Terlampau sering Lenin digambarkan sebagai tokoh yang bersikap hati-hati dan bijaksana, yang visinya diselewengkan oleh Stalin yang haus darah. Padahal, sesungguhnya, tulis Gellately, “Stalin pewaris logis Lenin.”

Berfokus pada dua kekuatan utama saat itu, Uni Soviet dan Jerman Nazi, guru besar sejarah di Florida State University ini mengupas ciri ideologis dan politis kekuatan-kekuatan ini. Lewat penuturan yang mengesankan, ia menarik benang merah bahwa semua tragedi yang dialami Eropa, yang diwarnai oleh dua perang dunia, revolusi Rusia, holocaust, serta kebangkitan dan kehancuran rezim Reich Ketiga, sama sekali bukan peristiwa yang terpisah. Masa-masa gelap ini adalah bagian dari persaingan sengit Komunis dan Nazi dalam memperebutkan dominasi dunia.

Perbedaan ideologi tak menghalangi Lenin-Stalin dan Hitler untuk menerapkan cara-cara serupa dalam menegakkan kekuasaan: teror, kekerasan, intimidasi, penjara, dan pembantaian. Lenin melengkapi sistem komunismenya dengan polisi rahasia Cheka dan kamp konsentrasi serta memburu siapa saja yang menentang rezim baru. Hitler membangun rezim otoriter sembari menyiapkan Gestapo, penjara, dan kamar gas.

Melalui risetnya yang ekstensif, Gellately berhasil menunjukkan bahwa Lenin-Stalin dan Hitler memang berdiri dalam barisan yang berbeda, yang satu di kiri dan yang lain di kanan. Namun keduanya menggunakan cara-cara yang sama dalam membangun dan mempertahankan kekuasaan. Karya Gellately ini saling melengkapi dengan karya Timothy Snyder, Bloodlands: Europe between Hitler and Stalin, dalam ikhtiar memahami tragedi kehidupan manusia modern.

Lenin bermimpi membawa “firdaus” Soviet ke seluruh dunia, Hitler membangun utopia Nazi hanya untuk orang Jerman. Sejak perang dunia pertama, Hitler membangun keyakinan bahwa bangsa Jerman akan berjaya bila bersih dari darah Yahudi. Kecurigaannya kepada kaum kiri Jerman yang menikam dari belakang dengan bantuan Rusia menguatkan kebenciannya kepada apa yang ia sebut sebagai “Bolshevisme Yahudi”.

Gellately menggambarkan betapa energi gelap yang dipancarkan oleh kebencian, ketakutan, dan ambisi telah memicu pembunuhan besar-besaran. Dibandingkan periode sejarah manusia lainnya, jauh lebih banyak kaum militer, dan lebih banyak lagi warga sipil, yang dibantai dalam periode kegelapan Eropa ini. Angka statistik tidak akan pernah bisa menggambarkan sepenuhnya apa yang terjadi di masa itu. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB