x

Iklan

jefri hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zoya dan Masyarakat Anomali

Satu dekade terakhir terjadi penurunan kualitas dalam kehidupan sosial, politik dan kemasyarakatan kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peristiwa yang menimpa Zoya di Bekasi sungguh menyayat hati. Pria yang telah berkeluarga dan mempunyai anak itu dikeroyok dan dibakar masa karena dituduh mencuri amplifer musala di daerah tersebut. Zoya meregang nyawa di atas bara api yang melahap di sekujur tubuhnya. Pemandangan itu sangat memilukan.

Andaikan pun benar apa yang dituduhkan, apakah sebanding harga barang itu dengan nyawa korban. Jawabnya tentu tidak.  Sungguh malang takdir yang menimpa Zoya sehingga kita diluar ikut terkejut dan kaget melihat buasnya manusia, brutal dan tidak ber prikemanusian.  Kita hanya bisa menggeleng kepala dan mengelus dada sambuil mengucap “Astagfirullah.”

Yang jadi pertanyaan kenapa peristiwa itu terjadi di masyarakat Indonesia yang katanya ramah dan menganut falsafah ketimuran. Tidak hanya sama-sama berasal dari timur, tapi juga satu bangsa dan satu agama. Harusnya, sebangsa dan seagama itu membuat Zoya mendapat perlakukan sedikit baik dari yang dia terima pada kejadian itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Inilah Indonesia dari sudut yang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keadaan yang kacau ini disitilahkan oleh Emile Durkheim sebagai masyarakat Anomie, dimana menggambarkan sebagai keadaan yang kacau tanpa peraturan. Istilah tersebut juga sering diucapkan oleh pengamat hukum Prof. Sahetapy di ILC

Kondisi itulah yang menimpa masyarakat kita dewasa ini, dimana keadaan tersebut hampir menular ke seluruh daerah Indonesia. Zoya hanyalah satu dari sekian ratus bahkan ribuan peristiwa serupa yang pernah terjadi di Indonesia.

Silahkan googling atau chek di Youtube. Begitu banyak kejadian aksi main hakim sendiri yang dilakukan warga. Dari sekian banyak itu tidak sedikit pula yang meregang nyawa yang berujung pada kematian.

Dan yang tidak kalah ngeri itu adalah maraknya kasus penganiyaan dan pembunuhan yang dilatar belakangi masalah sepele. Hanya karena tersinggung orang bisa saja menghilangkan nyawa orang lain. Dan tidak sedikit pula kita menemukan pembunuhan dalam satu keluarga. Sepertinya zaman sekarang nyawa sangat murah harganya. 

Satu dekade terakhir terjadi penurunan kualitas dalam kehiduapan social, politik dan kemasyarakat kita. Hal itu tercermin dari kondisi politik Indonesia yang tidak pernah sepi dari keributan, skandal dan pertengkaran antar sesama politisi. Hanya itu yang bisa mereka berikan pada kita pertengkaran dan keributan.

Berbagai keributan dan pertengkaran itu menjadi konsumsi media yang kemudian dibaca dan ditonton oleh sebagian masyarakat kita. Secara tidak langsung kondisi tersebut mempengaruhi alam bawah sadar. Kasarnya, pemimpin saja saling berdebat, ribut dan gontok-gontokan apalagi masyarakat yang mereka pimpin.

Di media, baik cetak maupun elektronik atau pun online hampir jarang kita temukan kisah para pemimpin yang layak ditauladani dan menjadi inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak pernah ada. Andaikan pun ada, tapi kisah tersebut tidak menarik bagi media karena media lebih cendrung memuat berita-berita pertengkaran dan keributan para politisi dan pejabat Negara.

Kaum agamawan yang harusnya bisa merobah kondisi tersebut juga terjebak kedalam zona konflik (politik) yang dibangun politisi. Secara tak langsung mereka telah ikut berpolitik praktis. Pilkada DKI Jakarta kemarin salah satu contohnya. Agamawan juga saling debat, malahan cendrung mengaku benar sembari berpegang pada dalil-dalil yang mereka miliki.

Masyarakat dibawah juga terbawa arus. Mereka saling membully satu sama lain. Dan tak jarang pula membully tokoh agama yang tidak sejalan dengan fikiran dan pendapat mereka. Pemandangan itu memenuhi timeline sosial media. 

Satu tahun belakangan ini kondisi social politik Indonesia terpolarisasi kedalam dua kubu. Yang satu pro pemerintah dan kubu lain bersebrangan. Begitu pula secara social, ada yang mengatakan bahwa kubu dan golongannya merupakan pro Pancasila. Disaat bersamaan yang pro tersebut menyebut golongan lain anti Pancasila atau sebaliknya. Itu dan itu terus yang menjadi bahan pertengkaran. Hingga kita pun bosan mendengarnya.

Kondisi bangsa yang seperti inilah yang membuat rakyat kehilangan pegangan, tidak ada lagi panutan, karena sibuk berpolitik hingga rakyat tidak terperhatikan.

Kasus Zoya atau main hakim sendiri itu ibarat gunung es di laut. Terlihat di permukaan hanya satu tapi dibawahnya sangat banyak tidak terpublikasi. Mudah-mudahan Zoya menjadi korban yang terakhir dari keadaan yang tidak menentu ini dan kita sekarang hidup di tengah masyarakat yang anomali.

Ikuti tulisan menarik jefri hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu