x

Iklan

Kamaruddin Azis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

SKPT Natuna: Kimcu adalah Kunci!

Tentang alas dan proyeksi pengembangan sentra kelautan dan perikanan yang sedang dikembangkan di Kepulauan Natuna, beranda Nusantara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perihal SKPT

Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) adalah upaya Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menggerakkan ekonomi di titik strategis dan berpotensi seperti pulau atau kabupaten/kota terluar. Mengapa terluar atau beranda Indonesia seperti Natuna dapat kita baca dari alas pikir Susi Pudjiastuti, Menteri KKP.

“Kenapa saya hantam di Natuna, sebab itu jalur perdagangan kita yang amat rentan," katanya terkait sepak terjangnya menangkapi nelayan-nelayan asing di perairan Indonesia. Ratusan kapal, hingga jenis tramper wara-wiri tanpa penindakan hukum. Masuklah alkohol selundupan, narkotika hingga senjata ilegal. Uang beredar sekitar Natuna sungguh besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kalau Indonesia berkuasa di sana, penyelundupan tak bebas lagi dan di sisi lain dapat memperoleh manfaat dari usaha perikanan,” tegasnya.

Atas dasar itulah maka regulasi dan kebijakan menjaga kedaulatan menjadi prioritas KKP. Salah satu penjabaran kebijakan itu adalah pengembangan SKPT sebagaimana juga ditekankan oleh Presiden Jokowi untuk menjadikan laut sebagai masa depan ekonomi bangsa.   

Bagi Susi, filosofi pelaksanaan SKPT harus dilihat serupa analogi ‘sirip punggung dan sirip ekor ikan bekerja’. Ada arah yang dituju, ada penopang dan saling menguatkan pada visi besar tersebut. “Standar operasi Poros Maritim harusnya seperti itu," katanya saat bertemu penulis beberapa waktu lalu (Jumat, 14/07).

Regulasi, kebijakan hingga program KKP sejatinya menjawab persoalan pada ketimpangan distribusi, pada harga barang yang selama ini membuat relasi ekonomi Timur-Barat Indonesia begitu timpang. Analogi terkait ketimbangan jalur perikanan ini, kerap disebutkan sebagai cerita ayam-ayam beku.

“Sebelum dimakan oleh orang Saumlaki, transit hingga 10 kali. Ke Makassar, Ambon, Sorong, Fak Fak, Dobo baru ke Saumlaki. Harga perkilo bisa menjadi menjadi 100 ribu," katanya. Hal yang akan berbeda jika misalnya beli ayam seharga 2 dollar dari Darwin kemudian diterbangkan ke Saumlaki yang mungkin hanya 4 Dollar.

Pembangunan sektor perikanan juga begitu. Yang dibutuhkan adalah dukungan pada skema logika seperti itu. Maka dibesutlah SKPT mulai dari Simeulue, Mentawai, Natuna, Saumlaki, Moa, Merauke, Biak, Talaud, Sangihe, Sebatik termasuk Morotai yang juga mulai digadang-gadang tahun ini. SKPT adalah urat nadi program unggulan KKP.

SKPT adalah inisiatif topdown Pemerintah sekaligus rangkaian sistem yang sarat sentuhan teknokratis, koordinatif dan membutuhkan banyak dukungan.

Dari sekian lokasi SKPT, salah satu yang pernah dikunjungi oleh Presiden Jokowi adalah Kepulauan Natuna, satu dari 15 titik yang masuk radar Pemerintah untuk dikembangkan.  Pada tanggal 7 Agustus 2017, Menteri Susi memantau lokasi ini untuk melihat status pembangunannya. Sebagai blogger, saya diundang oleh ibu Menteri untuk melihat capaian-capaian tersebut.

Natuna sebagai benchmark

Saya menyebut SKPT Natuna sebagai benchmark sebab pembanding seperti Saumlaki dan Biak, atau Simeulue dan Mentawai, pun Sebatik tak sekencang geliat Natuna, setidaknya jika melihat posisi strategisnya.

Hingga minggu pertama Agustus 2017, SKPT yang diidamkan Pemerintah di Natuna mulai menemukan wujudnya. Sarana prasarana seperti perikanan pelabuhan, tempat pelelangan ikan, ruangan pendingin sudah mulai beroperasi sebagaimana saat diperiksa oleh Susi Pudjiastuti pada tanggal 7 Agustus 2017.

Melihat capaian SKPT Natuna, menuntun saya pada kesadaran bahwa dengan kesungguhan dan penganggaran maksimum, segala kebutuhan seperti sarana prasarana bisa segera direalisasikan. Tidak ada konflik lahan atau ‘beban bawaan’ masa lalu seperti di Biak dan Saumlaki, dua lokasi SKPT yang nampaknya masih butuh energi besar untuk berbenah dan move on.

Di Biak Papua, sebagaimana hasil pembacaan saya, meski telah ada investor yang membangun depot BBM di lokasi SKPT namun masih ada riak status lahan di lokasi pelabuhan, setidaknya berdasarkan informasi yang diperoleh tahun 2016.

Di Saumlaki, lokasi SKPT-nya masih perlu dirombak karena berisi aset lama yang tak lagi fungsional. Pabrik es mangkrak sisa peninggalan rezim sebelumnya. Selain masih membutuhkan anggaran besar dan lintas sektor, diperlukan pula komitmen bersama lintas Kementerian dan Lembaga untuk bahu membahu mengalokasikan sumber daya. Bukan hanya anggaran tetapi kesungguhan untuk bergerak bersama.

Tahun ini, masyarakat Natuna bisa berbangga atas dukungan maksimum Pemerintah melalui anggaran dan komitmen maksimum. Tak lama lagi SKPT Natuna akan beroperasi dan diresmikan.

“Masyarakat berbahagia atas apa yang kita buat, sudah nampak hasilnya,” kata Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal saat memberikan sambutan pada kunjungan kerja MKP di Selat Lampa, Natuna, (07/08).

Bupati menyampaikan bahwa terkait pengembangan potensi kelautan dan perikanan Natuna masih ada beberapa hal yang masih membutuhkan solusi seperti perlunya mendorong usaha perikanan tangkap di pesisir dan laut dalam, budidaya, pengolahan hasil perikanan, serta industri.

“Usaha pengelolaan berisiko sangat tinggi oleh karena itu membutuhkan rencana pengelolaan perikanan dengan cara yang sangat sistematis, membuat roadmap. Sebagai panduan konsep program SKPT di Natuna,” katanya.

“Membangun pelabuhan sudah, hal lain adalah pentingnya peningkatan kapasitas pengetahuan nelayan setempat. Selama ini hanya menggunakan kapal kecil dengan volume produksi terbatas. Kebutuhan mereka mungkin kemampuan membaca peta agar tidak tersesat ke perbatasan. Penyadaran tentang pentingnya pelestarian alam,” kata Dr. Farkhan, peneliti BRSDM-KKP saat ditanyai kapasitas seperti apa yang dibutuhkan nelayan Natuna agar semakin berdaya ke depannya.

Kimcu sebagai kunci

Kimcu adalah kunci berkembangnya SKPT Natuna? Iya. Begini ceritanya.

Kumcu adalah pedagang ikan terpandang di Kota Ranai, Natuna. Di atas jok mobil tua serata lantai dia menerima kami. Saya duduk di sampingnya dan merekam pokok-pokok ingatan dan pikirannya. Berkaos hitam tanpa lengan, celana pendek, bersandal jepit, dia tak terlihat kalau beromzet ratusan juta di bisnis perikanan.

“Hari ini hanya bisa bawa ikan 300 kilogram ke Tanjung Pinang, tak banyak karena lagi musim angin,” katanya.  Nilai ikannya ditaksir 20an juta. Dia naikkan ke kapal Pelni dan akan sampai di lokasi setelah berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Di Tanjung Pinang, Kimcu berkongsi dengan pengusaha bernama Ivan Yusuf. Relasinya telah jalan selama 5 bulan terakhir,

“Naiknya di KM Bukit Raya atau Sabuk Nusantara di pelabuhan Selat Lampa,” katanya. Selat Lampa yang dimaksud adalah juga lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu yang sedang dipersiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Selain Kimcu ada belasan pengusaha ikan besar di Ranai tapi kini hanya tiga yang masih bertahan, atau setidaknya tetap menggeliat. Kimcu, Hei Tjan dan Hendrik di Sepompang. Kimcu memegang 10 armada atau sekurangnya 50 anggota nelayan yang selama ini menjadi pencarinya sementara Hendrik lebih besar dan tersebar di banyak titik, di banyak pulau.  

“Saya ini menderita sejak kecil. Saya tahu bagaimana sedihnya menjadi nelayan. Berat pak. Di laut, mana peduli itu pemberi modal, yang penting hasilnya sampai,” ujarnya dengah suara bergetas. Maksudnya, dia sangat paham beban nelayan di Natuna, karenanya, ketika harga ikan naik, pengusaha lain dapat leluasa menaikkan selisih pendapatan hingga 100% dan meminimalkan pendapatan nelayan pencari, dia hanya menyasar 30-40% keuntungan saja.

Yang menarik, Kimcu rupanya mempekerjakan nelayan asal Buton, Sulawesi. Sebuah upaya yang menurutnya dapat mentransfer kapasitas dari nelayan luar ke nelayan lokal. Dia tahu bahwa nelayan-nelayan dari Sulawesi adalah pencari ikan yang ulung.

“Bantuan-bantuan Pemerintah sangat cocok untuk nelayan kecil. Hanya saja sering tak beres saat di tangan oknum,” sebut pria yang pernah beberapa kali mendapat bantuan Pemerintah namun menurutnya tak pernah sepenuhnya atau dalam artian ada kebutuhannya yang seharusnya diperhatikan namun tidak terlaksana kerane keterbatasan anggaran.

“Usaha saya bergerak naik pada 2008. Sesuai pengalaman, yang perlu dijamin dalam usaha perikanan adalah ketersediaan es dan alat transpor. Selama ini transpor laut kita (dari Ranai) hanya dua kali sebulan. Saya selalu berpikir, gimana caranya bisa tembus ke Tanjung Pinang dalam waktu cepatt?” bebernya straight to the point.

“Saya pernah diundang Perindo, saya bilang ke mereka, kalau bapak mengandalkan ikan Natuna saja itu tidak cukup sebab SDM kita lemah, alat tangkap tak cukup, pompong pun hanya 5 GT ke bawah,” katanya. Kepada Perindo, dia menyarankan untuk pengembangan ke depan maka yang bisa dilakukan dengan membawa orang luar, harus ada armada sendiri, tempat sendiri, cold storage, kapal ukuran sesuai.

Dari pengalaman bisnisnya, dia menyebutkan bahwa sejauh ini bobot ikan yang dikirim ke Pontianak, Tanjung Pinang hingga Batam bervariasi dari 300 kilogram hingga yang paling besar senilai 5 ton.  Umumnya merupakan ikan segar yang ditangani dengan saksama, rapi dan tahan lama.  

“Rata-rata bisa sampai 3 ton perbulan. 4 bulan ini kurang, ada tiga bulan prei (kosong) karena musim angin. Kapasitas kapal anggota hanya 5 GT ke bawah jadi tidak bisa ke mana-mana,” katanya. Jika menaksir nilai penjualan Kimcu, katakanlah ikan yang dibawa adalah ikan segar kerapu merak (sunu) yang dihargai 100ribu/kilo maka, dia bisa mendapatkan nilai penjualan sebesar 300 juta perbulan.

Darinya diperoleh informasi bahwa dulu sebelum ada kebijakan Menteri Susi, kapal-kapal Hongkong hilir mudik di Natuna.

“Dulu, kapal Hongkong datang setiap 20 hari sekali, lewat pak Nato. Sehingga saat itu, ada yang main ikan sunu merah ada pula ikan hitam. Yang mahal adalah Tongsin (ikan sunu merah), ikan kerapu hitam laku tapi besar di ongkos,” ungkapnya. Beberapa ikan segar dipasarkan di Pontianak, itupun biasanya ikan-ikan kelas dua.

***

Ada yang unik, ternyata nama Kimcu yang disandangnya diperoleh setelah dia bermitra dengan pengusaha bernama Kim Tjong selama 5 tahun di urusan perikanan. di rumahnya terdapat banyak cold-box yang berlabel Kimcu. Selain itu, tidak kurang hingga 20 cold box disusun berlapis. Ada pula freezer dan lemari es sebanyak 5 unit.  

Beberapa waktu lalu, hal yang dikeluhkan Kimcu adalah ketika musim barat datang. Bukan hanya nelayannya tidak ke laut atau terbatas jangkauan pencariannya namun banyaknya nelayan asing yang lalu lalang di Perairan Natuna.

“Mereka datang ketika musim Utara, pada bulan Oktober, November hingga Desember. Itulah yang disukai nelayan Vietnam,” kata pria yang mengaku kerap pula dirundung rugi dalam berbisnis. Jika dia rugi hingga 60 juta, pak Hendrik bahkan rugi hingga 300 juta.

Saat ditanyakan apakah Kimcu mau ke Selat Lampa atau lokasi SKPT yang dibangun oleh KKP, dia menjawab dengan diplomatis.

“Setiap pengusaha pasti punya kulkas untuk menjamin ketersediaan es, es kecil-kecil. Untuk kebutuhan es, ada pengusaha yang punya 30 biji kulkas,” kata pria bersaudara 8 orang ini, sekali lagi dia menegaskan betapa vitalnya es bagi usaha perikanan di Natuna.

“Kalau es di Selat Lampa murah kita ambi di sana. Kita ‘kan mau bantu nelayan,” kata pengusaha yang anggota nelayannya merupakan nelayan rawai dasar. Untuk sampai ke Selat Lampa dari Ranai, memang bukan hal mudah meskipun jalan telah diperbaiki dan sangat mulus terutama mendekati loka, terutama jika hendak terhubung dengan SKPT di sana sebab sewa mobil ke sana lumayan mahal, hingga 400ribu sekali jalan.

Dia menyebutkan pula nama-nama pengusaha ikan di Kabupaten Natuna seperti pengusaha tenar bernama Nato. Di Pulau Tiga ada Pak Telon, ada juga pabrik es Tjanto. Di Selat Lampa ada pak Wandi (yang berpusat di sekitar lokasi SKPT). Ada Ishak di Sedanau, ada Mus (abang Kimcu) di Midai.

“Di Pulau Serasan ada banyak, seperti Iin, Hen, Kadir, David, ada 6, pokoknya ramai. Di Kerdau ada juga Sen Sen, ada juga Wan Han,” papar ayah dari lima orang anak dari dua istri ini.

Selama ini usaha perikanan yang ditangani Kimcu tak menemui kendala berarti sebab menurutnya sudah bisa ditangani dengan baik. ikan-ikan dari Natuna bisa langsung diekspor via Tanjung Pinang, tempat dimana dia punya jaringan hingga Batam. Dia berkoalisi usaha dengan Ivan Yusuf yang berbasis di sana. 

“Kalau harga ikan bagus, bisa dinaikkan ke pesawat. Kalau tidak naik ke kapal,” katanya.

Apa yang telah dikontribusikan oleh Susi Pudjiastuti selama hampir tiga tahun sebagai Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan dipuji oleh Kimcu alias Agus Effendi ini. Dia menjawab sekenanya saat ditanyakan apa harapannya pada ibu Menteri.  

“Kalau bisa, Ibu Susi jadi Menteri seumur hidup saja. Kalau ada gantinya, ya seperti dia lagi,” jawabnya sebelum saya menyampaikan terima kasih atas kesediaannya berbagi cerita.

***

Dari Ranai, saya lanjutkan ke Selat Lampa. Di kawasan baru yang mulai menggeliat ini saya berjumpa Edi, 55 th. Dia sedang tak mengenakan baju saat saya datang bersama peneliti BRSDM-KKP Dr. Irwan Muliawan pada siang yang sungguh terik.

Edi adalah nakhoda kapal yang saat ini menjadikan Selat Lampa sebagai hentian. Kapal yang dioperasikannya berusia 4 tahun dan menggunakan alat tangkap rawai sebagaimana yang dilakoni oleh anak buah Kimcu di Ranai. 

Dia datang dari Tanjung Balai Karimun yang berpengalaman dan saat ini menjadikan Selat Lampa sebagai pangkalan kapalnya. Dia terhubung dengan pengusaha ikan bernama Wandi, juga asal Balai Karimun. Wandi inilah yang disebutkan oleh Kimcu di atas dan sedang membangun pabrik es di sisi utara SKPT Selat Lampa dengan kapasitas hingga 3 ton.

Di tempat itu, dua kapal sedang sandar. Satu kapal serupa model kapal asing khas Thailand atau Vietnam, terdapat rak-rak plastik bertulis aksara Thailand, pun beberapa coldbox tersusun rapi. Di sisi dalam, terdapat bangunan petak dua yang telah dibeton dan berdinding tebal. Menurut rencana akan jadi pabrik es. Sumber airnya dari bukit di sisi timur.

Saat ditemui, Edi bercerita kalau jauh sebelumnya, dia kerap beroperasi hingga ke Merauke, Papua, Ambon, demikian pula di perairan Kalimantan termasuk ke perbatasan.

“Pada 1995, saya dan 17 orang asal Tanjung Balai Karimun dibajak dan disandera oleh orang-orang Vietnam. Tidak jelas, tentara atau apa. Kami ada dua kapal. Mereka mabuk-mabukan dengan senjata di tangan,” ungkap Edi.

“Lokasinya lebih dekat ke Vietnam. Tapi saat itu banyak pula nelayan Vietnam yang masuk ke perairan kita. Dekat sekali,” kata Edi. Setelah berhari-hari dengan diberi makan yang tak pantas, mereka kemudian dilepas.

***

Kimcu dan Edi adalah sehimpun pengalaman sekaligus pengetahuan dalam usaha perikanan di Natuna. Mereka adalah kunci pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Natuna. Ada banyak Kimcu-Kimcu atau Edi-Edi lain di Kabupaten Natuna yang telah telah punya pengalaman, pengetahuan, keterampilan berbisnis dan bisa membaca arah usaha.

Disebut sebagai kunci sebab Kimcu merefleksikan kapasitas dan jati diri seorang pengusaha ikan. Belajar dari pengalaman, punya pengetahuan, keterampilan pengemasan, paham pemenuhan sarana prasarana dan cekatan membuka jaringan pasar. Disebut kunci sebab dia bisa menjadi informan yang bagus untuk pengelola PPI Selat Lampa atau Kementerian Kelautan dan Perikanan sekaligus. Itu jika ada komunikasi dan kerjasama berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Mereka juga punya atau telah terhubung dengan aspek keuangan, jaringan dan yang pasti semangat untuk langgeng di bisnis perikanan.

Hadirnya SKPT sejatinya dapat menjadi oase usahanya, untuk memperoleh es atau penyimpanan ikannya.  Pengalaman mereka bisa menjadi cermin agar agenda Pemerintah untuk membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang telah digeber sejak dua tahun lalu dapat berjalan dengan efektif dan berkelanjutan.

Bukan hanya Kimcu tetapi pihak-pihak yang selama ini menjadi bagian dari hulu-hilir perikanan di salah pulau terluar Indonesia yang sangat strategis ini, Natuna!

Proyeksi ke depan

Kepala Badan Riset dan Sumberdaya Manusia KKP, M. Zulficar Mochtar, yang juga ikut mendengarkan cerita Kimcu mengatakan bahwa apa yang dialami oleh Kimcu alias Agus Effendi ini merupakan mata rantai usaha perikanan yang banyak dilakoni oleh pengusaha ikan di Indonesia.  

Hal itu pula yang menjadi harapan Pemerintah agar mereka menjadi pemain dalam usaha perikanan seperti yang diskenariokan melalui SKPT Natuna itu, setidaknya menjadi bagian dari pemanfaatan investasi seperti pabrik es hingga cold storage.

“Apa yang diinginkan ibu Menteri adalah membangun SKPT dengan didahului pengusiran atau penangkapan kapal-kapal asing. Mulai memiikirkan kebutuhan-kebutuhan operasional nelayan, seperti penyediaan kapal tangkap yang lebih besar, alat tangkap dan pelayanan oleh sentra kelautan perikanan seperti yang ada saat ini,” katanya sesaat setelah mengamati kapal bantuan KKP bertonase 30 GT di dermaga Selat Lampa, (Minggu, 06/08).

Zulficar melanjutkan. “Harapannya, setelah itu bersama pihak lain seperti Kementerian dan Lembaga disiapkan kebutuhan dasar seperti listrik, air, jalan hingga pemondokan untuk nelayan yang datang dari luar pulau. Jadi kerjasamanya bisa dengan Kementerian PUPR terkait perumahan atau Kominfo jika terkait kebutuhan komunikasi, atau oleh Kementerian Perhubungan terkait transportasi laut,” katanya.

“Skenarionya, kawasan SKPT itu dilengkapi sarana prasarana termasuk perumahan. Nelayan-nelayan dari Jawa misalnya eks cantrang bisa saja melaut di sini, dan bisa tinggal di pemondokan. Kalau mau balik ke Jawa, kapal disimpan dan pulang naik pesawat saja,” katanya.

Apa yang dikemukakan oleh Zulficar ini senapas dengan kehendak MKP terkait konektivitas usaha perikanan hulu hilir, perairan pedalaman hingga pulau-pulau kecil atau sentra perikanan di beranda negeri sebagai filosofi ‘sirip-ekor’ ala Susi itu.

Di hulu, nelayan-nelayan bekerja dengan aman di laut, tanpa garong ikan asing. Nelayan menghasilkan dan memasarkan ikannya ke PPI di area SKPT. Di sini, seluruh kebutuhan operasional terpenuhi seperti air bersih, kebutuhan operasional seperti alat tangkap, logistik, hingga urusan perizinan dan pelabuhan.

Di hilir, Perindo atau perusahaan perikanan yang melayani ekspor bisa mendistribusikan ke titik-titik ekonomis dan praktis semisal dari Natuna ke Malaysia atau Singapura, dari Manado ke Filipina atau Jepang, dari Sebatik ke Tawao Malaysia, dari Biak atau Morotai ke Pasifik, atau dari Saumlaki ke Darwin atau Cairns Australia.

Logistik bisa disuplai dari pedalaman, sayur mayur atau beras dikirim dari daratan, dari ekor dan sirip bawah Nusantara. Kemudian bergerak bersama sebagai sebuah proses bisnis di bawan kendali sirip atas atau organisasi pengelolan PPI atau SKPT.

Di Natuna, skenario itu diharapkan bisa berjalan dengan efektif dan efisien sehingga tidak harus dikirim atau menumpuk di Jakarta atau kota-kota yang selama ini menjadi hub usaha perikanan yang tidak efisien atau high cost. Filosofi ‘ekor-sirip’ ikan dapat pula dimaknai sebagai refleksi atas pengalaman Bangsa dalam melihat ketidakefekifan dan inefisiensi industri perikanan selama ini.

Jika melihat lokasi-lokasi SKPT yang diplot seperti Simeulue, Mentawai, Natuna, Saumlaki, Merauke, Biak, Tahuna, Talaud, Sebatik maupun lapis kedua seperti Morotai, Sabang, dan lain-lain maka sebagian besar merupakan kawasan ‘the outermost islands of Indonesia’ atau beranda dengan NKRI. Kawasan yang disebut sangat potensial untuk dikembangkan dalam alur pikir Poros Maritim.

Atau dengan kata lain, berkembangnya SKPT dapat menjadi sabuk pengaman ekonomi nasional sekaligus mendekatkan Negara di pusat-pusat pertumbuhan potensial yang dipunggungi oleh Negara selama bertahun-tahun. Begitulah.

***

Ketika ditemui oleh penulis di Kota Ranai, Menteri Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa untuk memoles SKPT terutama untuk lokasi seperti Natuna ke depan, kualitas dan efisiensi merupakan hal fundamental dalam menyiapkan kebutuhan-kebutuhan sarana prasarana perikanan seperti SKPT tersebut. Perlu kesungguhan dari dalam agar para pihak memperoleh manfaat nyata.

“Kita masih membutuhkan kapal keliling yang bisa membantu pengangkutan dan pengiriman ikan dari dan ke lokasi SKPT. Yang bagus kualitasnya. Kita bikin yang bagus. Jadi ke Batam dekat, ke mana-mana dekat sebab tol laut hanya ada sekali tiap dua minggu,” katanya (6/8).

Selain hal tersebut, Susi juga mengingatkan tentang perlunya kerjasama dengan pengusaha-pengusaha perikanan setempat. Mengajak mereka untuk memanfaatkan kawasan SKPT tersebut. Ini sangat relevan dengan keberadaan pengusaha seperti Hendrik, Hai Tjan dan Kimcu maupun pengusaha-pengusaha dari sekitar Ranai.

Sebagai sebuah wahana berusaha, SKPT sejatinya dapat memberikan manfaat bagi generasi muda terlatih asal Natuna. Seperti Haidir yang saat ini menjadi teknisi cold storage. Dia adalah alumni ITS Surabaya dan mempunyai pengalaman menangani pabrik es. Pun alumni-alumni kelautan dan perikanan seperti dari Universitas Riau atau Universitas Maritim Raja Ali Haji di Pangkal Pinang.

Begitulah adanya. Dari gambaran tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa prospek pengembangan kelautan dan perikanan Natuna terletak pada konsistensi dan kolaborasi di antara para pihak, nelayan, pengusaha, unit kerja Pemerintah, Perindo, investor hingga eksportir.

Di dalamnya ada Kimcu, kunci kemajuan SKPT Natuna.

 Natuna, 8/8/2017

Ikuti tulisan menarik Kamaruddin Azis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu