x

Sejumlah anggota TNI, polisi, dan anggota berbagai ormas mengarak patung Garuda Pancasila menjelang upacara dalam aksi bertajuk Sukoharjo Bumi Pancasila di Sukoharjo, Jawa Tengah, 13 uli 2017. Kamis (13/7). Aksi yang digelar untuk memperingati HUT Ka

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Keberagaman Tak Lagi Indah

Tulisan Jeumpa K. Kalila, 14 tahun, murid kelas IX Sekolah Madania, Parung, Bogor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan Jeumpa K. Kalila, 14 tahun, murid kelas IX Sekolah Madania, Parung ini kami tayangkan sudah seizin orang tuanya.

Jeumpa K. Kalila

 

“Keberagaman adalah sesuatu yang indah,”

Kalimat itu sudah diujarkan oleh guru-guru dan orangtuaku sejak aku kecil. Ide bahwa keberagaman dan perbedaan adalah hal yang patut dilestarikan telah mendarah daging dalam diriku. Kata-kata seperti “perbedaan bukanlah hal yang buruk,”  “kita harus menerima  keberagaman,” dan  “Indonesia adalah negara yang penuh keberagaman,” sudah menggema di dalam pikiran. Bertahun-tahun aku diberitahu bahwa Indonesia adalah salah satu negara paling beragam ras, agama, dan  sukunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku dibesarkan dalam lingkungan yang menghargai perbedaan. Selama bertahun-tahun, aku dikelilingi oleh orang-orang yang beragam suku, agama, ras, status sosial, ataupun pendidikan. Oleh karena itu, aku mudah beradaptasi dengan lingkungan yang bermacam-macam. Namun, akhir-akhir ini, rasanya berbeda.

Setiap pagi, di tengah-tengah kesibukan kegiatan pagi hari, kadang aku duduk di ruang tamu, membaca sekilas berita utama yang ada di halaman pertama koran. Kata-kata seperti “konflik” dan “bentrok” terasa lebih sering muncul.

Sepulang sekolah, sepintas  aku menangkap berita yang ditayangkan di televisi. Tidak jarang  aku melihat orang-orang berargumen satu sama lain. Tidak jarang aku melihat kekerasan yang terjadi di sekitar Indonesia. Tidak jarang juga aku  melihat kata-kata “agama”  “suku”  maupun  “ras”  dikaitkan dengan kejadian-kejadian ini.

Di larut malam, ketika hamper semua penghuni rumah sudah tertidur kecuali orang tuaku, aku dapat mendengar sayup-sayup percakapan mereka. Sedikit kata-kata yang bias kutangkap, tetapi aku bias paham apa yang mereka bicarakan. Pelbagai kasus dan kejadian sering diobrolkan oleh keduanya. Dan lagi, selalu  ada kata “agama” “suku” dan “ras.” Aku  pernah mendengar ada kejadian dimana pembangunan sebuah tempat beribadah dilarang. Ada juga pembakaran tempat beribadah, penghinaan seseorang hanya karenasukunya, dan lain sebagainya.

Kejadian-kejadian ini membuatku sadar bahwa ada orang-orang yang tidak dibesarkan dalam lingkungan yang menghargai perbedaan. Kesadaran ini membuatku tidak nyaman karena sangat berbeda dengan semua yang aku serap dan pahami selama  ini.

Jika aku melihat dari perspektif luar, memang benar Indonesia adalah negara yang beragam. Berjuta-juta orang berada di negara yang sama, walaupun masing-masing memiliki cerita dan latar belakang yang berbeda. Pertanyaanya adalah apakah  kita sudah menerima itu? Sudahkah kita menerima perbedaan?

Aku mulai memasuki masa dimana orang-orang yang berbeda pendapat denganku akan mencoba mengganti pikiranku tentang suatu hal. Masa dimana pendirianku harus lebih kuat. Dan sebanyak apapun rintangan yang aku hadapi, aku akan selalupercaya bahwa perbedaan bukanlah hal yang buruk, dan Negara kita ini harus menyadari itu. Kita semua berhak untuk memiliki opini kitasendiri. Kita tidak diciptakan untuk selalu memiliki satu pikiran, itulah manusia.

Memang, aku tidak terlalu mengerti maupun menyimak berita dan kejadian-kejadian di sekitarku. Aku masih sulit membedakan mana kejadian yang sebenarnya tidak penting dan kejadian yang berpengaruh besar terhadap kondisi negara. Tetapi, dengan mengobservasi lingkungan sekitarku, aku cukup mengerti bahwa akhir-akhir ini konsep “perbedaan” mengalami pergeseran makna ke arah yang buruk.

Hal ini merisaukanku. Aku cemas jika kondisi seperti ini berlanjut, Indonesia tidak lagi utuh. Aku khawatir semboyan Bhinneka Tunggal Ika lama kelamaan pupus maknanya.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler