x

Ombudsman Temukan Pelanggaran Penerimaan Siswa Baru

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Telantarkan Pelajar

Pemerintah wajib memberi solusi bagi 72 siswa yang telantar gara-gara perbedaan sikap antara Pemerintah Kota Bekasi dan Provinsi Jawa Barat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah wajib memberi solusi bagi 72 siswa yang telantar gara-gara perbedaan sikap antara Pemerintah Kota Bekasi dan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Menengah Atas Negeri 10 juga harus bertanggung jawab atas proses belajar-mengajar mereka yang telah beberapa pekan terhenti.

Para pelajar itu semula terdaftar sebagai siswa SMAN 10 Bekasi. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tiba-tiba mencoret mereka dengan alasan tak lolos jalur akademis ataupun non-akademis. Dinas Pendidikan pun menuding mereka sebagai siswa “titipan”. Alasan lain, jumlah murid sekolah favorit di Bekasi itu telah melampaui kuota, yakni maksimal 36 siswa per kelas. SMAN 10 Bekasi menampung hingga 40 pelajar per kelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan pertimbangan bujet, Dinas Pendidikan Jawa Barat memang bisa mengintervensi sekolah. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan dan penganggaran SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi. Sebelumnya, kewenangan itu berada di tingkat kota/kabupaten.

Upaya Wali Kota Blitar dan beberapa daerah lain menarik kembali kewenangan itu, dengan menggugat beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi, ditolak. Artinya, pengelolaan tetap di tangan pemerintah provinsi.

Sikap tegas Dinas Pendidikan Jawa Barat yang menegakkan aturan kuota, dan upaya memberantas praktik penitipan siswa, sebenarnya layak diapresiasi. Tapi hal itu seharusnya tidak dilakukan dengan menelantarkan murid. Siswa tetap berhak mendapat pengajaran, sesuai dengan hak dasar setiap warga negara.

Benar bahwa Dinas Pendidikan Jawa Barat telah menyodorkan dua opsi. Mereka ditawari pindah ke sekolah swasta atau sekolah menengah terbuka yang menginduk ke sekolah negeri, unggulan, ataupun SMAN 10. Tapi, faktanya, ke-72 siswa yang kini ditempatkan di SMK Yaperti--berlokasi di dekat SMAN 10--itu benar-benar kehilangan haknya mendapat pengajaran. Sebulan terakhir, mereka tak menjalani aktivitas belajar-mengajar.

Semestinya SMAN 10 tak perlu takut kehilangan dana operasional dan tunjangan sertifikasi jika mengirim guru-gurunya mengajar ke-72 siswa itu. Justru kesewenang-wenangan pemerintah provinsi, jika benar menyetop anggaran bagi SMAN 10, harus digugat bersama. Sebab, kekuasaan pengelolaan dan anggaran yang diamanatkan UU No. 23/2014 bukan untuk menelantarkan murid.

Apalagi para pelajar itu sebetulnya hanyalah korban. Ambisi orang tua terlalu besar untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit, hingga rela melakukan berbagai cara. Termasuk “menitipkan” anak dan menyogok pejabat demi mendapatkan kursi. Praktik ini juga harus diberantas. Karena itu, buka sistem penerimaan siswa baru secara gamblang. Sebab, hanya sistem pendaftaran yang transparanlah yang mampu menghentikan proyek siswa “titipan”.

Editorial Koran Tempo, Jumat, 11 Agustus 2017

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler