x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bandung, Bunuh Diri dan Indeks Kebahagiaan Ridwan Kamil

Ridwan Kamil mengklaim Indeks Kebahagiaan tinggi di Bandung menjadi anomali jika melihat beberapa kasus bunuh diri yang terjadi dikota ini. Bahagia siapa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kasus bunuh diri yang terjadi, jika dianalisis dikarenakan oleh beberapa sebab, namun jika dilihat dari bentuknya kasus bunuh diri ini bisa digolongkan dalam bentuk anomie atau kebingungan yang akhirnya menyebabkan depresi tingkat tinggi dan dalam bentuk  fatalistik yang terjadi karena keadaan pesimis dari pelaku terhadap hidup mereka, sehingga jalan untuk mengakhirinya dengan bunuh diri sebagai bentuk untuk mengakhiri penderitaan yang dialami. Teori bunuh diri ini dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam bukunya “suicide” yang menyatakan  bahwa penyebab terjadinya bunuh diri karena pengaruh dari integrasi sosial karena alasan agama, politik, keluarga hingga kekacauan hidup. Karenanya  peristiwa bunuh diri merupakan sebuah realitas sosial dengan menghubungkannya pada struktur sosial dan derajat integrasi sosial dalam suatu kehidupan warga tertentu dalam sebuah wilayah spasial tertentu, misalnya dalam skala kota.

Kasus bunuh diri sebagai suatu logika  kemalangannya, memang tidak bisa dipandang dengan simplifikasi yang mudah begitu saja, begitu pun dengan logika kebahagiaannya. Maraknya kasus bunuh diri yang terjadi di Bandung sangat memprihatinkan jika mengingat Bandung melalui Ridwan Kamil sebagai walikotanya  mengklaim kota ini memiliki Indeks Kebahagiaan warganya yang tinggi, yaitu 70,60 pada skala 0-100 yang dikeluarkan pada tahun 2015 dan hal ini juga mengacu kepada   kerangka    kerja  The American Customer Satisfaction Index yang menghasilkan angka 74. Tentu saja, angka yang fantastis jika diperbandingkan  dengan  indeks Kebahagiaan Indonesia  tahun 2014 yang hanya sebesar 68,28 pada skala yang sama. Sederhananya, ini seperti ingin menunjukan bahwa warga kota Bandung lebih bahagia daripada warga Indonesia, luar biasa bukan.  Namun apakah nyatanya demikian? .  Selain itu, jika menggunakan klaim Ridwan Kamil dengan narasi lebih besar dalam Konferensi Asia Afrika 2015 lalu sebagai kota ramah HAM, maka apakah peristiwa bunuh diri yang terkait dengan nyawa dan kehidupan manusia dikota ini sudah merepresentasikan HAM dikota ini ?.

Kejadian terbaru di kota Bandung  yang  dikejutkan dengan viralnya video bunuh diri perempuan kakak-beradik berdurasi 57 detik yang terjadi di apartemen Gateaway (24/7/2017) dan berujung pada kematian. Tidak lama kemudian pada (27/7/2017) terjadi upaya serupa oleh seorang laki-laki di flyover Pasupati walau pun selamat tapi mengalami luka sangat serius. Warga kota Bandung  tidak akan lupa dengan kejadian bunuh diri tahun  lalu yang menimpa  seorang anggota  militer  dengan cara  melompat dari lantai 8 gedung Pasar Baru (23/7/2016), persis titempat yang sama terjadi pada tahun 2014 yang dilakukan oleh seorang pedagang diPasar baru.  Selain itu, jika merujuk kepada bukti viralnya kejadian bunuh diri diruang publik, maka kejadian bunuh diri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang berada dekat Alun-Alun Kota Bandung, (1/7/2016) diperlihatkan jelas melalui video berdurasi 39 detik yang dilakukan oleh seorang pedagang kaki lima yang frustasi menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2016 lalu karena lapak jualannya disita dan dihancurkan Satpol PP yang notabene dibawah kontrol dan kendali walikota menunjukan betapa penduduk Bandung tidak secara mayoritas bahagia berdasarkan indeks tersebut dan tidak juga sebagai kota yang ramah HAM karena ada warga yang tercerabut dari hak hidupnya. Ketika penguasa membiarkan/membuat warganya mati dalam melindungi hak penghidupannya di kota, maka apa arti HAM dalam benak penguasa kota yang mendengungkan kotanya ramah HAM.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkait kasus-kasus bunuh diri ini, karena begitu viralnya berita terutama melalui sosial media , maka netizen akan dengan cepat mengetahui dan akan dengan mudahnya melakukan asumsi termasuk simplifikasi mudah bahkan menghakimi bahwa yang melakukan bunuh diri ini hanya bagian kecil dari jumlah keseluruhan warga kota sebanyak 2.481.469 jiwa (BPS-2015) jika dilihat hanya sebagai sampel dari perhitungan statistik belaka. Belum lagi jika dikaitkan dengan stigma sebagai bukan warga kota Bandung alias tidak ber-KTP kota Bandung. Masa kasus bunuh diri harus lihat KTP nya. , padahal yang penting adalah lokasi kejadiannya, yaitu di Bandung.  Tidak sering pula mereka dicap sebagai gelandangan, sebagai warga yang mengalami gangguan mental hingga warga yang imannya kurang. Yang pasti, semua warga tersebut bukan tanpa identitas tapi beridentitas sebagai manusia yang tinggal dan hidup di kota Bandung ini. Satu nyawa itu sangat berarti bukan hanya dilihat dari banyaknya lalu diperbandingkan dengan jumlah keseluruhan warga kota. Karena kejadiannya di Bandung., masa iya mau di kenal sebagai kota tujuan' bunuh diri?, maka hendaknya hal serupa diberikan pula sebagai sampel pada label klaim untuk performa yang membuat Bandung terkenal dengan indeks kebahagiaan-nya itu sehingga menjadi representasi tujuan untuk bahagia bukan untuk bunuh diri.

Jika demikian, apakah yang disurvei merupakan warga kota Bandung ber-KTP Bandung?, apakah yang disurvey itu yang dianggap memiliki ganguan jiwa?, apakah yang disurvey itu pedagang kaki lima yang dirampas barang dagangannya?, apakah yang disurvei itu warga yang digusur rumahnya seperti yang terjadi di kampung kolase dan stasiun barat atau hanya warga kota yang sedang duduk manis dan melakukan swafoto ditaman-taman kota atau sedang melakukan aktifitas urban leisure lainnya diwaktu weekend?. Apakah hanya warga kota Bandung dan ber-KTP Bandung yang berkontribusi pada perkembangan dan pertumbuhan kota ini sehingga berada dalam kondisi sekarang ini . Sungguh naif jika hanya melihat bahwa yang melakukan bunuh diri ini dianggap tidak merepresentasikan warga Bandung, jika begitu betapa naif pula untuk pemerintah kota yang  mengklaim bahwa indeks kebahagiaan itu diukurnya hanya dengan mewakili segelitir warga yang “bergembira bahagia” dari seluruh warga kota keseluruhan yang dalam kondisi keseharian.

Memang, keterbatasan  indikator  dalam  merepresentasikan   tingkat  kesejahteraan   warga  dinilai  belum cukup  untuk  menggambarkan  tingkat  kesejahteraan  yang sesungguhnya karena hanya sering dilihat dari dari  indikator   ekonomi,   diantaranya pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (GDP), dan  penurunan kemiskinan yang itu pun validitasnya dalam tatanan makro. Bagi sebagian pihak, GDP dianggap gagal menempatkan manusia sebagai aktor utama pembangunan dan gagal menjawab tantangan terkait kualitas hidup manusia sebagai individu dalam pembangunan dan pentingnya relasi antar individu dalam masyarakat. Maka soal,  Indeks kebahagiaan muncul sebagai indikator subjektif untuk menambah porsi ini walau dalam kemunculannya pertama kali  oleh Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuck pada era 1970’an banyak menuai kontroversi. Tujuannya, memang memproduksi bentuk pendataan baru  untuk menilai keadaan psikologis dan jasmani warga disebuah teritori geografis. Hal ini menjadi contoh pengukuran subjektif pada psikologi dan tingkah laku yang bersamaan dengan pengukuran objektif akan besaran orang mendaur ulang sebuah teritori tersebut dimana mereka tinggal dan hidup yang secara tidak langsung bersinggungan dengan wilayah kerja dari HAM.

Di Bandung, sangatlah wajar jika indeks kebahagiaan itu salah satunya diukur berkat sokongan fasilitas publik berupa eksisting taman-taman kota yang begitu agresif dan masif dibangun dan direvitalisasi ulang oleh Ridwan Kamil untuk meningkatkan derajat kebahagiaan warga kotanya untuk kemudian diklaim dalam sebuah indikator. Kondisi ini memang seolah menjadi alasan terkait bagaimana pentingnya ruang publik sebagai salah satu sarana interaksi warga kota yang juga dibahas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara spesifik, dalam pasal 28 disebutkan kewajiban kota menyediakan fasilitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pemerintah kota Bandung telah melakukannya melalui peran taman-taman kota yang  juga digunakan sebagai alibi untuk seolah memberikan ruang kepada warga untuk bersosialisasi, bersantai dan bercengkrama untuk menghilangkan penat, stress oleh kehidupan perkotaan yang menjadi salah satu alasan hingga munculnya bunuh diri.

Dalam konteks indeks kebahagiaan kota bandung yang diklaim oleh Ridwan Kamil dimana  terdapat tiga aspek kehidupan  yang   memiliki    kontribusii     paling tinggi  terhadap   indeks  kebahagiaan   ber angka 70,60 itu, antara lain  adalah    pekerjaan (11,91%},   hubungan   sosial (11,39%}, dan  keharmonisan  keluarga (11,28%). Maka, menilik kasus bunuh diri yang terjadi di kota Bandung ada yang terkait dengan pekerjaan. Bunuh diri yang terjadi ditahun 2016 lalu menjelang Idulfitri menimpa seorang PKL yang ladang pekerjaan dan penghidupannya dirampas oleh aparat sebagai representasi dari pemerintah kota berbanding terbalik dengan kontribusi pekerjaan sebagai peyumbang terbesar indeks kebahagiaan itu. Lalu terkait point untuk hubungan sosial atau keharmonisan rumah tangga, maka apa yang terjadi dari kasus bunuh dirinya kakak-beradik di apartemen itu tidak sama sekali menunjukan sebagai sebuah sample warga sebagai bagian dari warga kota yang menghasilkan indeks kebahagiaan itu.

Indeks kebahagiaan juga terkait sektor pendidikan dikota, tentu warga kota Bandung akan ingat betapa pusing, kesal, rumitnya hingga khawatirnya orang tua dalam hal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang carut marut hingga saat ini. Lalu, indeks kebahagiaan juga diukur dari sektor lingkungan, nyatanya Bandung mengalami degradasi lingkungan yang  tajam dalam beberapa tahun terakhir, seperti banjir dikota dan semakin sulitnya akses air bersih, hingga pembangunan kota yang tidak ekologis. Masa iya, setelah jalan-jalan ditaman kota lalu swafoto namun ketika pulang ke rumah malah kebanjiran, tidak ada air atau frustasinya mendaftarkan anak sekolah dapat dikatakan sebagai warga bahagia.

Selain itu dari sektor keamanan, maka keamanan seperti apa yang diberikan pemerintah kota jika melihat maraknya kekerasan jalanan menimpa warga dengan maraknya begal diipusat kota sehingga ada korban jiwa meninggal dunia hingga kekerasan terhadap anak sekolah di angkutan umum (angkot) yang terjadi beberapa waktu lalu dapat menjadi klaim sebuah indeks kebahagiaan. Apakah tombol panik yang dilauncing july 2015 lalu telah bekerja baik sebagai usaha preventif dalam menjaga warganya agar aman sehingga kebahagian dijalan dan diangkot dapat dirasakan atau tombol panik ini mampu juga bekerja untuk mencoba meredam praktik bunuh diri yang akan dilakukan yang notabebe pada lokasi kejadian sebagai ruang publik dan banyak dilihat orang lalu bagaimana dengan program layanan kesehatan yang baru diluncurkan Ridwan Kamil juga memiliki layanan konseling untuk  menangani kasus bunuh diri seperti ini dikota.

Bunuh diri itu hanya sebagai kasus ekstrim dari warga kota yang mengalami tuntutan yang besar dalam kehidupan yang tidak mampu dilaluinya,  tapi melihatnya hanya secara parsial dalam simplifikasi sempit  sangatlah tidak elok begitupun dengan klaim indeks kebahagiaan itu. Jadi indeks kebahagiaan itu sebagai nilai dari Kota yang bunuh diri atas segala kondisi yang tidak juga merepresentasikan itu atau juga sebagai lansekap bunuh diri dikota. Warga kota yang akan menilai ini, sekarang dan dikemudian hari bahwa ada apa dengan Bandung, ada apa dengan kota. 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler