x

Salah satu calon jamaah umrah mendatangi kantor First Travel di Jalan Radar Auri, Cimanggis, Depok, 28 Juli 2017. Mereka meminta uang yang telah disetor dikembalikan karena tak kunjung diberangkatkan umrah. Imam Hamdi/Tempo

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terjebak Skema Ponzi

Meski banyak kasus sudah terungkap, skema Ponzi masih juga ampuh untuk menggaet korban-korban baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mereka yang terpanggil untuk menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci rupanya berpotensi menjadi sasaran empuk pihak-pihak yang ingin menangguk untung secara cepat. Dengan menawarkan biaya yang jauh lebih murah dari rerata tarif pasar, banyak orang tergiur untuk berpaling ke biro perjalanan seperti ini.

Lazimnya, dalam bisnis apapun, ada batas tarif minimum yang masih dapat ditoleransi oleh pelaku bisnis untuk ditawarkan kepada konsumen sagar perusahaan masih memperoleh margin keuntungan. Betapapun sosial watak sebuah perusahaan, ia memerlukan keuntungan agar perusahaan bukan hanya sanggup bertahan hidup, namun mampu berkembang secara berkelanjutan. Dengan demikian, watak sosialnya akan berdampak baik kepada semakin banyak orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena itu, banyak orang mungkin bertanya: mengapa biro perjalanan mampu menawarkan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan perusahaan lain di bidang industri yang sama, diminati sangat banyak orang, tapi ternyata tidak mampu mengirim peserta ibadah tepat seperti waktu yang dijanjikan? Artinya, batas minimum biaya yang dikenakan kepada peserta ibadah semestinya lebih tinggi dari yang sekarang agar seluruh peserta dapat berangkat beribadah tepat waktu.

Lantas, apa yang terjadi? Bagaimana mungkin perusahaan ini tetap menawarkan jasanya dengan biaya murah? Kemungkinan pertama, ada subsidi silang yang diambilkan dari margin keuntungan hasil kepesertaan jemaah VIP yang membayar jauh lebih mahal. Namun, bila kalkulasi bisnisnya benar—dalam arti perusahaan masih memperoleh margin keuntungan sekalipun melakukan subsidi silang, mestinya tidak akan ada jemaah umrah berbiaya murah yang tertunda keberangkatannya. Penyelenggaran perjalanan ibadah umrah akan happy, begitu pula peserta berbiaya murah juga happy.

Tapi itu tidak terjadi. Banyak, sangat banyak, warga masyarakat yang sudah mendaftar dan membayar ternyata tertunda keberangkatannya tanpa kepastian. Bila skenario sudsidi silang tidak berjalan dengan hasil positif, ada kemungkinan lain yang terjadi. Kemungkinan itu ialah diterapkannya skema Ponzi.

Skema itu kira-kira bekerja seperti ini: Mereka yang lebih awal mendaftar diberangkatkan dengan subsidi dari uang yang disetor peserta berikutnya. Subsidi ini diperlukan untuk menutupi kekurangan biaya minimum agar perusahaan tidak nombok dari kantongnya sendiri.

 Sayangnya, cara ini mula-mula dapat berjalan mulus hingga suatu titik tertentu timbul kesulitan arus kas. Untuk menutup biaya keberangkatan, harus semakin banyak warga masyarakat yang berhasil dibujuk untuk mendaftar. Bila target pendaftar baru tidak terpenuhi, banyak orang tertunda keberangkatannya karena uang yang masih ada di kas tidak lagi mencukupi untuk membiayai keberangkatan. Makin lama, jumlah peserta yang tertunda makin menumpuk, terlebih lagi bila perusahaan makin sukar merekrut peserta baru karena kabar buruk penundaan keberangkatan semakin menyebar.

Praktik skema Ponzi sudah sering dipraktikkan di mana-mana sebagai cara untuk menyedot dana masyarakat. Praktik terbesar yang terungkap belum lama ini ialah yang dilakukan Bernard Madoff. Dalam sidang yang berlangsung di Manhattan, New York, pada 24 Maret 2014, para juri menyimpulkan bahwa perusahaan yang didirikan Madoff bukan pialang saham dan investasi, melainkan pelaku penipuan skema Ponzi. Praktiknya baru terbongkar setelah 30 tahun dan ketika itu Madoff divonis 150 tahun penjara.

Mengapa skema Ponzi masih juga berhasil dipraktikkan? Kuncinya ialah iming-iming biaya sangat murah atau janji hasil investasi sangat tinggi. Secara bisnis rasional, kedua janji itu sukar dipenuhi, namun banyak orang masih juga terkecoh. Contohnya janji imbal hasil 10 persen per bulan untuk investasi dalam jumlah tertentu. Mereka yang mudah tergiur oleh bujukan ini akan terjebak skema Ponzi.

Bagaimana imbal hasil 10% per bulan bisa didapat? Inilah soalnya. Bisnis yang lumrah niscaya mustahil mendatangkan imbal hasil sebesar itu dalam waktu pendek. Maka, pihak yang menawarkan investasi itu akan memilih cara seperti ini: bila waktu 30 hari telah tiba, dan pembayaran imbal hasil pertama jatuh tempo, ia menggunakan uang yang disetor investor belakangan untuk membayar imbal hasil peserta terdahulu.

Begitu menerima imbal hasil seperti yang dijanjikan, investor ini akan terdorong untuk menaruh lebih banyak lagi uangnya. Kata-kata pujian mulai menyebar. Calon-calon investor pun berebut kesempatan untuk menanamkan uangnya, dan menimbulkan efek berantai. Semakin banyak orang berinvestasi, berarti uang masuk terus mengalir, dan promoto investasi masih bisa tenang membayar imbal hasil untuk investor terdahulu.

Kesulitan akan muncul ketika investasi baru berjalan lamban, dan promotor mulai kesusahan membayar imbal hasilpada waktu yang dijanjikan. Semakin besar imbal hasil yang dijanjikan, semakin besar peluang skema Ponzi ini ambruk dengan cepat. Begitu pembayaran imbal hasil mulai terlambat, beritanya cepat menyebar. Krisis likuiditas ini akan memicu kepanikan, dan terjadilah rush, orang-orang berebut meminta kembali uangnya. Maka, keruntuhan ‘bisnis’ ini tak lagi mampu dielakkan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler