x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Test Ulang Asumsi Kita untuk Results Hebat

Continuous improvement merupakan hukum alam yang sebaiknya diikuti oleh orang yang mau berkembang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Leadership Growth: Intellectual and Spiritual Stretching Needed

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Beware of Overconfidence and Faulty Assumptions: Dua puluh tahun perjalanan pulang usai memenangi Perang Troya merupakan perjuangan panjang lahir batin bagi Odysseus dan timnya.

Dari berbagai rintangan dan ujian sebagaimana dikisahkan dalam The Odyssey, karya klasik Homer circa 800 BC, salah satu yang dikenal adalah ketika Odysseus menghadapi Sirens – dalam mitologi tersebut digambarkan sebagai suara wanita yang dapat menyedot sukma para pelaut untuk hanyut ke dimensi alam lain, yang meyebabkan kapal-kapal terdampar dan berujung pada kematian.

Odysseus ingin mendengarkan Sirens, namun maunya tetap dapat menjaga kewarasan dan kendali dirinya. Untuk itu dia menyumpal telinga semua anak buahnya dengan lilin dan mengikat dirinya sendiri ke tiang kapal, untuk menjamin tidak hanyut mendengar alunan suara Sirens.

Cerita tersebut dapat diinterpretasikan, sebagaimana diajarkan dalam khasanah edukasi agama-agama besar, bahwa melawan godaan nafsu merupakan tantangan berat bagi manusia. Odysseus yang digambarkan sebagai sosok hebat itu pun harus mengikatkan diri ke tiang kapal agar tubuh, pikiran dan jiwanya tetap terjaga, tidak terombang-ambing tergiur suara Sirens.

Dalam konteks pengembangan kepemimpinan, termasuk ketegori nafsu yang dapat membahayakan adalah mengasumsikan diri sudah sukses, hebat, merasa tidak perlu menambah perspektif baru sebagai eksekutif, dengan semangat tinggi memburu peluang-peluang baru yang diasumsikan menguntungkan.

Dengan perilaku seperti ini, mereka membuat planning dan program kerja ke depan melulu berdasarkan godaan peluang-peluang yang diasumsikan bagus. Tidak mengikatkan diri pada tujuan-tujuan utama yang memerlukan fokus dan tahapan kerja terinci untuk mencapainya.

Tanpa disiplin eksekusi menentukan langkah-langkah kongkrit untuk meraih goal dan tujuan utama, energi kepemimpinan para eksekutif dan tim mereka dapat habis akibat distraksi, tersedot peluang-peluang menggiurkan yang belum tentu memberikan positive impact bagi kepentingan-kepentingan jangka panjang organisasi.

“Persoalan kita bukannya tidak memiliki cukup peluang untuk menghasilkan uang. Problemnya adalah, kita memiliki terlalu banyak peluang untuk kehilangan uang,” kata Keith J. Cunningham. “It’s easier than you think to self-sabotage your wealth, especially if you’re ignorant about your assumptions.”(The Ultimate Blueprint for Insanely Successful Business, 2011)

Keith Cunningham layak mengatakan demikian. Lebih dari reputasinya sebagai mentor dan coach bidang tata kelola keuangan organisasi, dengan pengalaman internasional lebih dari 30 tahun, dia mengalami sendiri kepahitan bagaimana membangun usaha dan ambruk akibat tidak tahan menghadapi godaan-godaan peluang bisnis yang memikat, kemudian berhasil bangkit lagi.

“Faulty assumptions are just another way of saying it was a good idea. All my problems started out as a good idea …” tutur Keith menceritakan pengalamannya. Dia kini disamping mengelola bisnisnya sendiri, memberikan pelatihan-pelatihan pengelolaan keuangan, juga menjadi penasihat sejumlah organisasi.

Gratifikasi jangka pendek, dorongan untuk dianggap sebagai eksekutif sukses, tantangan-tantangan bisnis baru yang promising, adalah sebagian dari godaan-godaan bagi para leaders – ibarat alunan suara Sirens bagi para pelaut dalam kisah Odysseus.

Ini fakta dari guru manajemen yang sudah membantu pengembangan perusahaan-perusahaan hebat di dunia, Peter F. Drucker, “50% of the leaders I have met don’t need to learn what to do. They need to learn what to stop.”

Berhenti dari busy-ness, untuk berpikir dengan mendalam mengenai business yang (ikut) mereka kelola, menjadi tantangan besar bagi para eksekutif.

Mengatur nafas, ibarat “mengikatkan diri ke tiang kapal” bak Odysseus, berhenti dari kesibukan sana-sini berburu peluang, nancang pikir, merupakan perubahan perilaku yang sulit mereka lakukan.

Perilaku kepemimpinan seperti itu kemungkinan besar diakibatkan karena para eksekutif cenderung membangun identitas diri dengan semua yang dilakukannya.

Dengan cara itu mereka meneguhkan konteks strategis diri di dunia ini. Alasan pentingnya mereka eksis di kehidupan ini telah mereka terjemahkan dengan pilihan kegiatan untuk memperlihatkan diri mampu – consistently over rate their performance (hasil survei Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching). Mereka bekerja dengan hebat, kendati sering khilaf atas taget yang harus didapat.

Tantangan kita adalah bagaimana stop dari kehebohan tersebut, untuk melakukan olah pikir dengan perspektif baru. Waktu untuk berpikir, melakukan evalusai, dan melakukan perubahan perilaku kepemimpinan sesungguhnya merupakan leverage yang sangat berharga bagi para leaders.

Ini selalu perlu diingatkan kepada para eksekuif atau leaders. Agar mereka dapat menjadi lebih hebat dan efektif, dibandingkan prestasi mereka saat ini.

Sebab, jika mereka malas untuk mengubah perilaku kepemimpinan mereka dan mempercayai yang mereka lakukan sudah baik, bahayanya adalah, “They sabotage lasting change by canceling its possibility. We employ these belief as article of faith to justify our inaction and then wish away the results,” kata Marshall Goldsmith, executive coach kelas dunia.

Kecenderungan sabotase terhadap peluang peningkatan kompetensi diri, mementingkan kehebohan kerja dan mengabaikan results yang signifikan, dipicu oleh sejumlah keyakinan yang perlu dikoreksi.  

Diantara keyakinan yang wajib ditata ulang tersebut adalah, overconfidence. Merasa sanggup mengatasi semua tantangan, menetapkan goals tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat melemahkan energi untuk mencapai goals tersebut.

Orang sukses atau yang selalu merasa berhasil telah membangun organisasi bisnis atau institusi yang mereka pimpin, memiliki tiga kecenderungan:

1). Merendahkan proses sederhana yang efektif (maunya melakukan hal-hal kompleks); 2). Melecehkan pedoman, tata-cara, dan follow up; 3). Sangat meyakini, kendati tanpa dasar, bahwa sukses sekarang ini hasil upaya sendiri.

Gabungan ketiganya akan menimbulkan exceptionalism, merasa diri istimewa. Setiap orang yang merasa diri lebih hebat dibanding orang lain yang masih memerlukan guidance dan struktur, maka akan kehilangan bahan baku utama untuk melakukan perubahan, yaitu sikap rendah hati, humility.

Dua faktor pengganjal kemajuan sebagaimana disebutkan diatas, overconfidence dan exceptionalism, hanya sebagian dari 15 faktor yang menurut Marshall Goldsmith, dapat merupakan “heavy baggage to our journey of change.” (Triggers, 2015).

Program coaching dan mentoring dengan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) sesungguhnya memberikan tantangan kongkret, on the job program, bagi eksekutif yang memiliki kecerdasan hati, pikiran, dan spiritual untuk menjadi lebih hebat dari level pencapaiannya saat ini.

MGSCC mengajak para leaders atau eksekutif untuk melakukan tiga hal penting, yaitu: 1). Berani (courage) keluar dari zona nyaman, menata ulang keyakinan-keyakinannya selama ini, melakukan hal-hal baru yang memberikan positive impact bagi banyak orang; 2). Rendah hati (humility) mengakui ketidaksempurnaan diri, perlu dukungan stakeholders untuk mengembangkan kepemimpinan; dan, 3). Disiplin eksekusi menerapkan actions plan dan melakukan follow up dengan para stakeholders secara konsisten.

Langkah-langkah tersebut kelihatannya sederhana, tapi dalam kenyataannya berat diimplementasikan. Paling sulit umumnya ketika harus bersikap rendah hati.

Sebenarnya, kalau kita mengikuti hukum alam, semua itu dapat dilakukan. Karena setiap tahap dari pengembangan diri atau peningkatan kompetensi ada proses bertahap: unconscious incompetent (belum sadar kalau belum bisa), conscious incompetent (menyadari belum kompeten), conscious competent (sadar sudah kompeten), dan unconscious competent (sudah mahir, contohnya mengemudi kendaraan sambil texting).

Sehebat apapun seseorang, setiap menghadapi perubahan zaman, akan kembali ke posisi unconscious incompetent atau conscious incompetent untuk mengatasi tantangan baru tersebut.

Begitu menghadapi perubahan lanskap bisnis, sosial, ekonomi, yang belakangan ini makin dinamis, para eksekutif atau leaders yang bersemangat menjadi lebih baik lazimnya bersedia dengan rendah hati belajar lagi, memperkaya perspektif mereka. Ini proses alam untuk continuous improvement atau kaizen.  

Organisasi-organisasi hebat yang terbukti terus berkembang puluhan tahun dengan prestasi meyakinkan – umumnya di negara-negara maju, seperti General Electric, Boeing, Ford Motor Company, termasuk US Navy, etc – selalu dipimpin oleh para eksekutif dan leaders yang mengikuti hukum alam tersebut. Mereka menjadi teladan para penerus mereka, yang sampai hari ini bersedia rendah hati belajar meningkatkan efektivitas kepemimpinan masing-masing.

Mereka memiliki prinsip, stop learning stop leading. Kalau kata Peter Drucker, orang-orang yang berhenti belajar bakal seperti dinosaurus, mengalami kepunahan.

Menjadi eksekutif atau leader yang lebih efektif itu pilihan, karena memerlukan mental, intellectual, dan spiritual stretching.

Jika Anda menyadari bahwa perilaku kepemimpinan memiliki impact bagi orang-orang penting di sekitar kehidupan Anda, yaitu para stakeholders, tentu Anda akan bersikap lebih bijak. Tiba saatnya investasi waktu untuk belajar, menguji kembali asumsi-asumsi yang selama ini jadi landasan eksekusi, dengan perspektif baru, dan meningkatkan kompetensi meraih results lebih baik.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB