x

Iklan

Ricky Sandriano

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Panglima TNI 'Korbankan' AU Demi Popularitas

Jika kita lihat secara seksama, begitu banyak kejanggalan yang terjadi mulai dari penetapan tersangka kasus dugaan korupsi Heli AW 101 sampai pengangkatan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin banyak yang bertanya, ada apa di balik pengangkatan Danpuspom menjadi Irjen TNI. Apa yang melatarbelakangi, adakah kompetensi yang dimiliki Danpuspom Mayjen TNI Dodik Wijanarko, apakah ini tidak ada kaitannya dengan kriminalisasi kasus Heli AW101 yang merugikan institusi dalam lingkungan TNI lainnya?

Ya, wajar saja publik mengkait-kaitkan promosi tersebut dengan pengungkapan kasus Heli AW 101. Seperti kita ketahui, penanganan kasus dugaan korupsi Heli AW 101 masih sangat sumir dan belum tuntas ditangani Danpuspom. Bahkan, kasus tersebut masih kabur dan masuk wilayah grey area. Selain itu, kasus tersebut belum memenuhi syarat karena masih dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan apakah adanya kerugian Negara atau tidak.

Jika kita lihat secara seksama, begitu banyak kejanggalan yang terjadi mulai dari penetapan tersangka kasus dugaan korupsi Heli AW 101 sampai pengangkatan Danpuspom sebagai Irjen TNI. Dalam kasus Heli AW101 ini kenapa seorang Panglima TNI menyalahkan prajuritnya dengan langsung mengumumkan tersangka. Pertanyaannya kemudian, apakah benar Panglima benar-benar tidak tahu adanya pembelian Heli AW 101. Padahal dalam hierarki militer, seorang prajurit wajib tunduk pada Undang-Undang dan komandan. Jadi, terlalu dini jika menuduh prajurit TNI AU bersalah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pengangkatan Danpuspom sebagai Irjen TNI, seperti yang dikatakan pemerhati militer Fahrozi, jabatan Irjen TNI yang berasal dari pejabat Danpuspom tidak lazim. Menurutnya, jabatan Irjen biasanya dijabat jenderal yang pernah memimpin teritorial atau minimal pernah menjabat Pangdam. Lanjutnya, posisi Inspektur Jenderal biasanya dijabat sosok yang pernah menduduki garis komando, karena karir Danpuspom paling tinggi bintang dua.

Ia juga menilai, pengangkatan Danpuspom sebagai Irjen TNI kurang pas. Karena di dalam tugas dan kewenangan yang tertuang dalam Tupoksi, Irjen menangani institusi TNI secara lebih luas dan makro menyangkut transparansi anggaran dan kinerja. Ini berbeda dengan institusi Puspom yang lebih cenderung pembinaan dan pendisplinan internal anggota.

Polemik kasus Heli AW101 makin tidak jelas kemana arahnya, praktisi hukum Urbanisasi mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan agar kasus ini tidak dipolitisasi, dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi sejumlah jenderal di TNI Angkatan Udara.

Ia pun berharap, masalah ini tidak boleh jadi uji coba tanpa mengindahkan fakta hukum. Urbanisasi menilai, langkah yang dilakukan penyidik TNI sudah menyimpang jauh dan menjatuhkan citra lembaga TNI, dan hal ini harus dicegah.

"Surat panggilannya saja tidak ada, kemudian dia tidak tahu disangkakan melakukan apa, salahnya dimana, terus kasusnya apa kok tiba-tiba sudah dinyatakan tersangka, apalagi penetapan ini tidak dilakukan secara lazim dalam institusi kemiliteran, yakni berikan dulu surat pemeriksaan, lanjut surat pemberitahuan hingga penetapan, jadi harus pakai prosedur, tidak sesukanya sendiri," Ujarnya

Penetapan tersangka tanpa surat panggilan, dikatakan Urbanisasi sebagai kesewenangan dan menyalahi prosedur hukum acara. "Ini saya katakan sebagai abuse of power, pihak Puspom telah terlalu jauh melangkah," Imbuhnya.

Kiprah Panglima Cenderung Politis

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Adi Prayitno melihat belakangan ini gelagat Panglima TNI syarat muatan dan misi politik. Dia menduga hal itu dilakukan sebagai bekal maju pada Pemilihan Presiden 2019. Ditambah lagi, Gatot beberapa kesempatan terlihat agresif mengisi seminar kebangsaan yang digelar oleh perguruan tinggi, organisasi masyarakat termasuk partai politik. Sehingga, dikhawatirkan kegiatan tersebut dimanfaatkan Gatot untuk memoles citra di 2019.  

“Tidak mungkin aktif blusukan jika tak ada maksud nyapres. Gatot seolah memanfaatkan jabatannya untuk meraup dukungan politik, ini bisa berefek negatif buat instansi TNI karena TNI tidak boleh melakukan politik praktis," Ujarnya

Bahkan, Peneliti Imparsial Eva Rosita menilai kiprah Panglima cenderung politis. Selain itu katanya, Gatot juga tidak melakukan restrukturisasi komando teritorial, malah menambah komando daerah militer, yakni Papu dan Sulawesi Utara. Pada catatan lain, Eva mengungkapkan, Panglima juga tidak melaksanakan pengadilan militer. "Penyelesaian kasus pelanggaran HAM stagnan," jelas Eva.

Sementara itu, Analis Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, jabatan yang bertugas di tubuh TNI seperti Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan lainnya harus benar-benar netral, kemudian tidak berkecimpung dalam aktifitas politik. Karena, TNI sebagai instansi termasuk personel yang berada didalam harus bisa juga menahan godaan politik. "TNI itu pelindung rakyat, jadi semuanya harus mengutamakan rakyat, bukan politik," ujarnya.

Terkait Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang ditengarai ingin mengikuti kontestasi Pilpres 2019, Siti mengatakan harus menunggu waktu. Selama masih menjabat, imbau Siti, Panglima harus bersih dari aktivitas dan ambisi politik. "Kalau ingin mengikuti kontestasi, harus lepas dari jabatan. Apalagi (masa pensiun Panglima) tidak lama lagi," Terang Siti Zuhro.

Bijaknya, Panglima TNI lebih baik fokus melaksanakan tugas untuk menjaga pertahanan negara dari segala ancaman. Pak Gatot harus menahan ambisi politik apalagi masa pensiun beliau tidak lama lagi. Sehingga, Gatot harus benar-benar fokus menjalankan tugasnya sampai memasuki masa-masa pensiun nanti.

Ikuti tulisan menarik Ricky Sandriano lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler