x

Pengunjung melintasi fosil Patagotitan mayorum hewan purba jenis Titanosaurus yang dipajang di Museum Sejarah Alam Amerika di New York, AS, 9 Agustus 2017. Patagotitan merupakan hewan purba terbesar di dunia. Fosil ini berhasil ditemukan di La Flecha

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Museum, Alternatif Wisata Bagi Tunanetra

dalam ruangan prasasti, penhunjung Tunanetra diperbolehkan menggenggam atau menyentuh benda bersejarah, meski harus menggunakan sarung tangan lateks

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahad siang kemarin, saya dan 29 teman tunanetra diajak Lembaga perbankan Australia New Zealand (ANZ), nmengujungi Museum Nasional di jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ini pertamakalinya saya kembali mengunjungi museum dan mengisi liburan dengan acara yang terkonsep. Meskipun, saat masih melihat dulu, saya sudah sering Jalan – jalan terkonsep seperti ini. Tapi kali ini saya melakukannya dalam keadaan mata terpejam.

Titik pertemuan awal dilakukan di Menara ANZ, jalan Sudirman. Kami memesan taksi online untuk menuju Menara ANZ. Kami sampai di titik pertemuan awal,sekitar jam 8 dan langsung digiring menuju kafetaria yang berada di lobi lantai dasar. Setelah sarapan di kafetaria Menara ANZ, kami diberikan kaos seragam berlogo ANZ dan Museum Nasional.

Kemudian kami dibagi menjadi tiga kelompok, dimana satu kelompok terdiri dari 10 Tunanetra dan 10 pendamping. Dalam kelompok kelompok tersebut juga ikut serta orang orang dari struktur Board of Director ANZ dan berbaur dengan karyawan. Mereka juga menjadi pendamping Tunanetra di acara tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski kami dituntun pendamping dari susuanan BOD ANZ, kami dan mereka tidak mendapat fasiloitas yang berbeda.Misalnya, saat perjalanan menuju Museum Nasional kami menggunakan bus Transjakarta. Maka para awak BOD ANZ itu juga menggunakan alat  transportasi yang sama. Tepat jam 9 kami berjalan kaki dari Menara ANZ menuju halte busway Karet. Dari halte Karet, kami menuju halte Museum Nasional.

Ketika memasuki bangunan Museum Nasional atau yang dikenal sebagai Museum Gajah, saya masih berpikir bentuk museum itu sama seperti terakhir saya mengunjunginya 8 tahun lalu. Ternyata, Museum Gajah sudah berubah total. Menurut pendamping saya dan pemandu museum, Museum Gajah sudah teridiri dari 4 lantai dan saat ini sedang membangun gedung lanjutan sebanyak 3 lantai. “Nantinya museum ini akan menjadi tujuh lantai,” ujar salah satu pemandu.

Dari semua ruangan yang telah disediakan pihak museum, saya merasa sangat nyaman ketika berada di ruang prasasti. Sebab, dalam ruangan ini, penhunjung Tunanetra diperbolehkan menggenggam atau menyentuh benda bersejarah, meskipun harus menggunakan sarung tangan berbahan lateks. Fasilitas dapat menyentuh prasasti asli, belum tentu dimiliki pengunjung dari kalangan non Tunanetra. Dari pengalaman itulah, sayabisa merasakan, wisata sejarah dapat menjadi alternatif jalan jalan menarik bagi penyandang Tunanetra. Sebab, selama ini yang saya dengar dari teman Tunanetra, acara mengisi liburan paling menarik bagi mereka adalah makan dan duduk bersama untuk mengobrol. Vakansi seperti berjalan ke alam seperti gunung atau pantai malah tidak dapat dinikmati seratus persen. “Kadang saya malah dapat capeknya saja,” ujar salah satu teman Tunanetra.

Wisata museum atau bersejarah lainnnya, menurut saya, tidak saja memberi hiburan dan pengalaman baru bagi Tunanetra. Karena Tunanetra beraktifitas banyak mengandalkan audio, maka wisata museum yang membuka akses perabaaan bagi pengunjungnya, dapat menginterpretasi objek yang nyata bagi Tunanetra. Melalui perabaan benda benda bersejarah, Tunanetra dapat merasakan bagaimana bentuk arca, prasasti, nekara atau alat penunjang kehidupan yang digunakan manusia dahulu kala.

Museum bukan saja dapat menjadi ajang pembelajaran, tapi memberikan bentuk visual yang nyata bagi Tunanetra dalam mendiskripsikan sejarah itu sendiri. Meski saat ini, Tunanetra sudah dapat membaca buku dan sarana pengenal sejarah lainnya dalam bentuk digital, saya yakin, interpretasi tentang suatu benda sejarah dari masing masing Tunanetra akan berbeda. Lain halnya bila mereka diperbolehkan menyentuh atau meraba benda bersejarah – tentunya dengan prosedur yang aman bagi benda bersejarah dan Tunanetra itu sendiri, interpretasi Tunanetra terhadap sejarah dapat diseragamkan

Karena itu, bila Museum Nasional menyelesaikan pemugarannya nanti, terutama untuk ruang yang menyimpan patung, arca, atau prasasti yang dapat diraba, ruangan tersebut harus disertai tulisan yang menggambarkan sejarah dan dapat dibaca Tunanetra. Keterangan tersebut sebaiknya tersedia dalam huruf Braille. Sebab, ada beberapa benda bersejarah yang disimpan dalam kotak kaca, sehingga tidak dapat disentuh pengunjung. Tentu akan menyenangkan, bila ada replika yang dapat disentuh. Agar pengunjung yang berkebutuhan khusus tahu latar belakang sejarah benda tersebut.

 

 

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB