x

Petugas menolong seorang anak yang ikut dalam antrean pembagian beras gratis 5 kilogram di halaman Balaikota Surakarta, Jawa Tengah, 30 Juni 2016. Beras ini dikumpulkan dari zakat fitrah karyawan pemkot Surakarta. TEMPO/Bram Selo Agung

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zakat dan Pemerataan Kesejahteraan

zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Aries Musnandar*

Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ekonomi Islam

Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu  berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.

Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Melalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have  dengan kalangan the have not.

Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.

Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.

Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.

Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.

Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.

 

Optimalisasi Zakat untuk Kesejahteraan

Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.

Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perekembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?

Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.  

Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dalam pengembangan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.

 

*) Tim Pengajar/Dosen Pascasarjana UNIRA (Universitas Raden Rahmat)  Malang.

Penasehat Center for Islamic Economic Studies (CIES), FEB Universitas Brawijaya, Malang

 

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB