x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kasus 17 WNI di Suriah: Dilema Etis yang Diperlukan

Agenda counter narrative adalah "posisi bertahan atau mehanan atau membendung", yang tidak boleh dilakukan secara parsial dan setengah hati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik menyimak pernyataan Lalu Muhammad Iqbal, Direktur PWNI Kemenlu pada Senin 7 Agustus 2017, bahwa untuk membebaskan ke-17 WNI  dari wilayah yang tak dikuasai oleh pemerintahan yang resmi di bagian utara Suriah, Kemenlu telah melakukan berbagai upaya sesuai SoP (Standard of Prosedure) Kemenlu, termasuk melakukan risk assesment. Artinya pembebasan ke-17 WNI itu mungkin salah satu operasi pembebasan paling berisiko yang pernah dilakukan oleh Kemenlu.

Risk assesment itu, dalam perkiraan saya, dilakukan terutama karena lokasi penyekapan ke-17 WNI tersebut berada di wilayah "tak bertuan": Ain Issa dan Kobani yang terletak di bagian utara Suriah, yang meskipun sudah dikuasai oleh SDF (Syrian Democratic Forces) melalui dua  sayap operasionalnya (YPG dan YPJ), namun posisi Ain Issa hanya berjarak sekitar 50 km dari Raqqah, yang belum sepenuhnya bisa direbut dari kombatan IS. Simpulnya, lokasi penyekapan itu masih memenuhi semua syarat untuk dikategorikan sebagai daerah operasi militer, wilayah tempur. Bisa dibayangkan, jalur evakuasinya pasti ngeri-ngeri sedap.

Dan salah satu variabel inti dari risk assesment - dalam rangka membebaskan ke-17 WNI tersebut - adalah harus menjejaki dan mencoba semua akses komunikasi, lalu memilahnya, dan kemudian menentukan akses mana yang paling kredibel, yang diasumsikan dapat efektif mempercepat proses pembebasan dan evakuasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tataran lain, rencana pembebasan dan evakuasi itu juga sarat dengan pertimbangan hukum dan etika kemanusiaan tentang apakah memang pembebasan ke-17 perlu dilakukan atau tidak. Sebab banyak orang berasumsi begini: itu kan pilihan mereka sendiri. Pergi ke wilayah konflik. Bahkan kemudian muncul sindiran kasar: "That's their choice, so let them go, and let them die!"

Terkait itu, saya coba merekap beberapa catatan, yang mungkin layak dicermati. Dan memang tak terelakkan, beberapa catatan ini satu sama lain saling bertubrukan:

Pertama, ke-17 WNI itu merupakan satu keluarga besar melalui hubungan perkawinan. Ayah-ibu-kakak-adik, nenek-cucu, mertua-mantu, ipar dan besanan, hubungan poligami dan sesama madu. Artinya, dalam rombongan ini, ada satu figur yang menjadi tokoh kunci. Sebab tidak gampang mempengaruhi dan memboyong anggota keluarga sebanyak 17 orang ke sebuah tempat yang berisiko di wilayah konflik di Suriah.

Kedua, dari segi usia pun sangat menarik. Ada yang berusia kepala lima, tapi juga ada remaja usia belasan tahun dan anak-anak Balita, yang berusia tiga tahun. Di sini, hubungan dan soliditas yang berbasis keluarga memainkan peran kunci.

Ketiga, dari segi gender pun berimbang jumlahnya antara yang laki dan wanita. Dan ini menunjukkan keluarga 17 WNI telah terpapar nyaris secara merata oleh propaganda dan ideologi ISIS, sebelum mereka memutuskan berangkat meninggalkan Indonesia tahun 2015 menuju Suriah.

Keempat, sebagian di antara 17 WNI itu adalah sarjana di bidang non-agama, dan beberapa di antaranya pernah bekerja sebagai profesional. Artinya tidak benar asumsi yang mengatakan, profesonalitas bisa menjadi perisai yang cukup kuat dan efektif untuk mencegah radikalisme.

Kelima, seperti diberitakan oleh berbagai media nasional dan internasional, ke-17 WNI itu masuk ke Suriah sejak awal Agustus 2015. Artinya, mereka telah menjalani pengalaman empiris hidup di bawah rezim Islamic State (IS) di Raqqah Suriah, selama hampir dua tahun. Sebuah periode yang tak singkat. Dalam beberapa kasus di Indonesia, 2 tahun merupakan periode ideal untuk mematangkan pemahaman radikal seseorang.

Dan hingga saat ini, publik nasional belum mengetahui secara detail apa sesungguhnya yang terjadi selama periode dua tahun bagi ke-17 WNI tersebut.

Keenam, bagi pemerintah Indonesia, pembebasan dan evakuasi ke-17 WNI itu bukannya tanpa resiko. Sebab ketika mereka meninggalkan Indonesia pada Agustus 2015, sejak awal mungkin telah diniatkan untuk pergi selamanya. Namun setelah kondisinya menjadi kacau di Suriah, dan ISIS semakin terpojok, mereka toh tidak punya tujuan lain selain kembali ke Indonesia.

Ibarat dua sejoli yang sedang intim berpacaran. Lalu si wanita memutuskan pindah ke lain hati. Setelah dua tahun hidup bersama lelaki lain hatinya, si wanita itu tiba-tiba minta kepada pacar pertamanya untuk kembali dan diselamatkan dari cengkeraman lelaki lain hatinya. Wajar jika pacar pertamanya nyeletuk: "enak aja".

Ketujuh, di sisi lain, harus ditekankan bahwa pembebasan dan evakuasi itu mungkin terutama dimotivasi oleh pertimbangan kemanusiaan. Khususnya setelah satu-dua orang dari ke-17 WNI melakukan semacam imbauan publik melalui media internasional, yang secara langsung ataupun tidak langsung meminta agar mereka diselamatkan.

Kedelapan, risk assesmet yang telah dilakukan pihak Kemenlu ketika akan mulai melakukan proses pembebesan dan evakuasi, perlu dilanjutkan dengan risk assesment untuk priode paska pembebasan: penanganan lanjutan setalah ke-17 WNI itu kembali ke Indonesia, berkumpul dengan keluarga, bertemu tetangga, berinteraksi dengan komunitasnya.

Kesembilan, dari sisi upaya memerangi radikalisme di Indonesia, kasus ke-17 WNI tersebut mungkin dapat diolah sebagai materi yang sangat seksi untuk melakukan semacam counter narrative terhadap propaganda radikalisme dan kampanye massif yang pernah dilakukan oleh Islamic State (baca: ISIS) bersama simpatisan dan pendukungnya di seluruh dunia. Karena itu, kasus 17 WNI itu mungkin dapat diposisikan sebagai "dilema etis" yang diperlukan.

Kesepuluh, sering terlupakan bahwa agenda counter narrative adalah "posisi bertahan atau mehanan atau membendung". Dan sebab itu, tidak boleh dilakukan secara parsial apalagi setengah hati. Harus diposisikan sebagai agenda maraton yang memerlukan napas panjang dan kesabatan. Dan jangan lupa, komunitas radikal di Indonesia juga dapat mengeksploitasi kasus ke-17 WNI tersebut sebagai bahan counter narrative tandingan untuk melawan.

Kesimpulannya, melawan radikalisme dan terorisme bukan an over-night solution's agenda.

Syarifuddin Abdullah | 15 Agustus 2017 / 22 Dzul-qa'dah 1438H.

Keterangan foto ilustrasi: Latar belakang adalah sungai Tigris yang menjadi garis perbatasan antara Irak (Faysh Khabur) dan Suriah (Semalka) di bagian utara Irak-Suriah. Dekat dengan titik pertemuan conjuction perbatasan tiga negara: Irak-Suriah-Turki.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB