x

Iklan

dirga maulana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ruang Akrobat Kaum Salafi ~ Dirga Maulana

Ada beberapa ustad salafi yang kini digemari oleh masyarakat Indonesia, seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Subhan Bawazier, dan Firanda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dirga Maulana

Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Gerakan dakwah salafi di Indonesia sedang tumbuh pesat. Mimbar-mimbar masjid perkantoran kini dikuasai ustad-ustad salaf. Yang menyaksikan mereka di YouTube mencapai ratusan ribu orang. Yang menjadi pengikut mereka di Instagram sekitar 234 ribu. Kelas menengah muslim Indonesia merambah ke gerakan dakwah salafi. Bagaimana potret dakwah salafi di media sosial, televisi, dan radio?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gerakan dakwah salafi dibawa oleh para pelajar dari perguruan tinggi Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan, terutama Jami'ah Imam ibn Su'ud di Riyadh; Islamic University di Madinah; Ummul Quro University, Mekah; Darul Hadith of Dammaj, Yaman; dan Punjab University, Lahore (ICG, Asia Report No. 83, 2004).

Dari lulusan tersebut kita kenal nama Ja'far Umar Thalib, Yazid bin Abdul Qodir Jawwas, Abdul Hakim Abdat, Chamsaha Sofwan (Abu Nida), Abu Qotadah, dan Yusuf Utsman Baisa. Merekalah tokoh salafi yang berpengaruh. Gerakan dakwah mereka memiliki misi utama pada kembalinya ajaran Islam yang murni, yang diteladankan oleh Nabi Muhammad dan dua generasi sesudahnya. Mereka kerap menentang segala bentuk bidah (unwarranted innovation), sesuatu yang tidak ada rujukannya pada Nabi Muhammad, dan segala bentuk khurafat (takhayul).

Mereka kini semakin sadar akan pentingnya teknologi informasi. Kajian-kajian mereka kerap diunggah di YouTube, siaran radionya dipancarkan oleh radio-radio salafi, dan sudah banyak televisi yang mereka dirikan (Ihsan TV, Ahyar TV, dan Rodja TV). Mereka sangat sadar bahwa ruang publik adalah tempat persaingan ideologis. Namun, kalau kita dengar secara saksama, ceramah-ceramah tersebut kerap kali gemar membidahkan kelompok luar yang tidak mengikuti manhaj (metode)-nya.

Meyer dan Moors dalam bukunya, Religion, Media, and the Public Sphere, menyebutkan bahwa ruang publik agama menjadi bentuk baru dalam proses meditasi, proliferasi di ranah publik, dan mengaburkan beberapa batasan antara hiburan dan agama (Meyer & Moors, 2001). Mereka seakan sudah memprediksi betapa kekuatan media, yakni media sosial, televisi, dan radio, sebagai media masyarakat milenial mendapatkan informasi agama. Dakwah agama salafi ini sadar bahwa kekuatan media tersebut bisa memperpanjang jangkauan dakwah mereka.

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta pernah melakukan riset tentang radio-radio salafi di Indonesia. Temuan penting yang perlu digarisbawahi adalah, pertama, radio-radio ini kerap berseberangan dan menyinggung perasaan warga Nahdlatul Ulama dalam hal ibadah. Kedua, radio salafi mengandalkan gelombang frekuensi radio untuk mendakwahkan paham mereka. Ketiga, radio menjadi ajang kontestasi ideologis (PPIM, 2015).

Media tersebut menjadi "ruang akrobat" mereka untuk merebut pengaruh dari kalangan arus utama, NU dan Muhammadiyah. Ada beberapa ustad salafi yang kini digemari oleh masyarakat Indonesia, seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Subhan Bawazier, dan Firanda. Dakwah mereka mengajak pada fundamentalisme agama.

Menurut Martin E. Marty dan Scott Appleby dalam The Fundamentalism Project, "fundamentalisme" diartikan sebagai kecenderungan pemeluk agama tradisional untuk memisahkan diri dari komunitas seimannya guna meredefinisi komunitas sakral dan menentang orang-orang tidak beriman serta tidak taat beragama. Kelompok ini percaya pada konspirasi kaum sekuler dan liberal (Marty & Scott, 1995).

Atas dasar itu, masyarakat awam mendasarkan pola dan pemahaman keagamaan yang merujuk pada manhaj salafi. Meminjam istilah Din Wahid, ada proses mobilisasi untuk melakukan pelestarian tata cara beragama menurut manhaj salaf (Wahid, 2014). Pesatnya perkembangan dakwah salafi di berbagai medium memiliki dampak luas yang kemudian berdampak pada arus konversinya para aktivis organisasi muslim arus utama, NU, Muhammadiyah, dan Persis, yang hijrah ke salafi. Hijrah mereka ini disimbolkan pada pakaian yang mencirikan seorang salafi, yakni celana panjang cingkrang (isbal), memelihara jenggot, dan banyak hal yang diklaim sebagai perbuatan yang sunah. Banyak juga masjid yang tadinya cenderung NU dan Muhammadiyah telah dikuasai oleh ustad-ustad salafi.

Islam yang bercampur dengan budaya Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang bidah. Mereka tidak setuju pada konsep Islam Nusantara. Mereka dengan tegas menyebut orang non-muslim sebagai kafir. Hal ini menjadi perhatian kita bersama untuk lebih peduli dan tetap menggunakan berbagai medium untuk menyebarkan gagasan Islam moderat. Islam yang merangkul, bukan memukul. Islam yang sadar pada konsep demokrasi Pancasila. Islam yang berpegang teguh pada kemanusiaan dan Islam yang tidak hanya meningkatkan ibadah individu tapi juga ibadah yang berdampak pada aktivitas sosial, sehingga Islam keindonesiaan benar-benar ciri khas moderatisme Indonesia.

Artikel ini dimuat dalam Opini Koran Tempo edisi 15 Agustus 2017

Ikuti tulisan menarik dirga maulana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler