x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pasal Hatta yang Kian Terlupakan

Buah pikir Bung Hatta sangat relevan dengan situasi saat ini untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan dengan kemakmuran yang dinikmati bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Puluhan tahun yang silam, para perintis dan pendiri Republik ini mencita-citakan Indonesia masa depan yang mandiri secara ekonomi. Dalam pandangan mereka, kemandirian ini sangat mungkin dicapai mengingat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Mereka memahami benar, apabila kekayaan sumber daya alam ini dikelola secara benar untuk kepentingan bangsa, rakyat akan sejahtera.

Di sisi lain, mereka juga memahami benar bahwa kekayaan yang besar berpeluang untuk diperebutkan oleh berbagai kekuatan dalam negeri maupun kekuatan luar. Karena itu, mereka berpikir tentang pentingnya meletakkan prinsip dasar yang dapat menjadi landasan pembangunan, lebih khusus lagi pengembangan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila kita menengok kembali Undang-undang Dasar 1945, di dalamnya terdapat Pasal 33 yang memuat pemikiran tadi. Untuk mengingatnya, perlu disebutkan 3 ayat di dalamnya: Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal ini kerap disebut sebagai Fasal Hatta, sebab pemikiran Bung Hatta mengenai bagaimana perekonomian Indonesia dijalankan dan bagaimana kekayaan alam dikelola tecermin dalam pasal ini. Di masa mudanya, Bung Hatta memang belajar ekonomi di Belanda dan niscaya membaca karya-karya pemikir ekonomi yang pemikirannya masih berpengaruh hingga kini. Namun, Bung Hatta memiliki pandangannya sendiri mengenai bagaimana perekonomian Indonesia harus dijalankan.

Menurut ekonom Sritua Arief, Bung Hatta adalah seorang ekonom strukturalis. Dalam penilaian Bung Hatta, pasar yang liberal dan sistem kapitalisme telah menciptakan kesengsaraan masyarakat luas, karena sistem ini hanya dinikmati oleh golongan kecil elit, sementara golongan masyarakat banyak diabaikan atau, menurut istilah Bung Hatta, ‘ditindasinya’. Bung Hatta menilai penting norma sosial, institusi negara, maupun faktor-faktor non-ekonomi lain dalam pembangunan ekonomi.

Sejak sebelum kemerdekaan, Bung Hatta sudah memikirkan soal ini. Ia cemas bahwa kekayaan alam Indonesia tidak akan dinikmati rakyatnya, sekalipun negaranya sudah merdeka. Entah apa yang bakal dikatakan Bung Hatta melihat kenyataan saat ini ketika kekuasaan atas kekayaan alam tidak sepenuhnya berada di tangan negara. Sebab, pada 1979 pun, saat memberi sambutan dalam pertemuan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Bung Hatta telah mengingatkan perkara ini: “... Pada masa akhir-akhir ini negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang menyimpang dari dasar itu... Politik liberalisme sering dipakai sebagai pedoman ....”

Tahun ini, Republik kita berumur 72 tahun. Sayangnya, praktik ekonomi dan pikiran yang melandasinya semakin menjauh dari buah pikir Bung Hatta. Sebagai negarawan maupun sebagai ekonom yang memahami kecondongan manusia, Bung Hatta menolak penguasaan sumber daya ekonomi di tangan segelintir kekuatan modal dalam maupun luar negeri.

Buah pikir Bung Hatta, yang disebut oleh Sritua Arief ‘Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia’, tetap relevan dengan situasi saat ini untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan dengan kemakmuran yang dinikmati bersama. Pasal 33 merupakan upaya sistematis untuk mengoreksi struktur dan praktik ekonomi yang ditinggalkan oleh kolonialisme, dan pasal ini tidak pernah basi sepanjang ketimpangan ekonomi akibat penguasaan sumber daya ekonomi oleh sedikit orang masih berjalan.

Betapapun, rakyat tidak berhenti berharap agar gagasan Bung Hatta diwujudkan, walaupun banyak ekonom beranggapan bahwa gagasan itu terlampau idealis. Tapi, bukankah segala bentuk praktik berawal dari idea? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler