x

Vlog Kaesang berjudul #BapakMintaProyek. youtube.com

Iklan

surya ferdan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memotong Video, Menuai Gaduh

Video yang dipotong, untuk diunggah demi kepentingan tertentu sudah seolah menjadi trend untuk memperoleh keriuhan dimedia massa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

3 Agustus 2017 yang lalu, warganet riuh dengan potongan video yang berisi tayangan pidato Ketua Fraksi Partai NasDem Viktor B. Laiskodat. Media pertukaran pesan, whatsapp, begitu efektif mengirimkan potongan tayangan pidato dari satu gawai ke gawai lainnya. Tidak cukup bertransmisi lewat gawai, ia juga diikuti dengan unggahan media sosial lainnya seperti twitter dan facebook. Mungkin ini agar makin banyak orang yang mengetahui dan mengikuti kehebohan. Hasilnya, empat partai yang disebut dalam pidato tersebut meradang dan melaporkan Viktor atas berbagai tuduhan - tuduhan yang berasal dari sepotong video.

Peristiwa ini sebenarnya bukan fenomena baru. Sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang waktu itu sedang berkontestasi di Pilkada DKI, juga diperlakukan hampir serupa. Sumbernya sama, video yang dipotong dan disebarluaskan untuk kepentingan tertentu. Walaupun sudah ada putusan pengadilan yang menegaskan bahwa perekaman yang dilakukan bukan oleh penegak hukum tidak dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, faktanya, mantan Gubernur DKI tersebut kini mendekam dipenjara akibat tuduhan yang bersumber dari sebuah potongan video.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyelisik, menghitung

Dengan menggunakan cara sederhana dari alat yang tersedia di ranah online seperti laman pencarian google, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat dan menganalisis pesan yang dimaksud oleh si penyampai pesan. Dengan cepat juga kita bisa membandingkan frasa-frasa yang sering muncul untuk dapat menyimpulkan ke mana sebenarnya arah pembicaraan.

Dalam peristiwa video pidato Ketua Fraksi NasDem yang telah dipotong, benar apa yang dikatakan Wakapolri Komjen Syafruddin bahwa perlu diteliti lebih mendalam video yang menjadi bahan laporan. Tepat juga saran yang disampaikan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin bahwa yang diperlukan adalah klarifikasi terkait video yang beredar luas dan menimbulkan kegaduhan. Karena akan menjadi bias jika mendasarkan masalah hanya menggunakan sumber yang tidak utuh dan telah diubah sedemikian rupa.

Baru pada tanggal 7/8 atau empat hari setelah video yang dipotong tersebar luas di warganet, DPP Partai NasDem menyampaikan klarifikasi dan pernyataan sikapnya. Dalam pernyataan resmi tersebut disertakan juga rekaman suara utuh dan transkrip rekaman. Media seperti detik.com bahkan memuat secara lengkap transkrip suara utuh pidato yang video rekaman terpotongnya membuat empat partai meradang.

Dengan sedikit keisengan menggunakan ctrl (cmd)+f di aplikasi MS office word, dan menuliskan kata “negara”, “khilafah”, “mereka”, “Kupang”, “Indonesia”, “jaga”, “bunuh”, “saya”, “dia”, “kita”, “partai”, “bupati”, “mati”, “PKI”, “ekstrimis”, dan dialek daerah setempat seperti “dong”, “su”, “ko”, ternyata banyak hal menarik yang nampaknya terpotong dari rekaman utuh yang berdurasi 21 menit 12 detik itu.

Metode menganalisis isi teks seperti ini pernah secara lengkap dipopulerkan Klaus Krippendorf tahun 1980-an (Krippendorf; 2004) dan banyak di temukan pada penelitian-penelitian komunikasi di Indonesia era tahun 1990-2000-an. Perkembangan metode analisis isi semacam ini sekarang sudah menggunakan teknologi komputasi software seperti nvio dan lainnya. Biasanya, metode ini digunakan oleh peneliti kualitatif untuk menganalisis dokumen, hasil wawancara, dan sejenisnya.  

Namun karena “keisengan” yang didorong rasa penasaran ini memang tidak menggunakan secara keseluruhan metode yang dikembangkan Krippendorf. Untuk lebih memastikan temuan “iseng” di google kita bisa lakukan dengan mengetikkan frasa “word frequency tools”.  Kita juga bisa gunakan dua laman penghitung frekuensi kemunculan kata, misalnya yang disediakan oleh https://www.online-utility.org (text analyzer/TA), dan http://www.writewords.org.uk (word frequency/WF).

Dari frekuensi munculnya kata yang telah diolah oleh kedua laman tersebut diikuti kemudian memeriksanya secara manual ke dalam teks lengkap transkrip, akan didapati angka kemunculan yang sama. Sebaran kata yang dicari adalah penggunaan kata dasar sehingga untuk jenis kata yang berimbuhan akan diabaikan.

Menggunakan ketiga alat yang berbeda, didapati kesamaan frekuensi kemunculan kata. Kata “negara,” “khilafah,” dan “Intoleransi,” misalnya berturut turut berjumlah 21 kali, 6 kali, dan 5 kali kemunculan. Begitu pula dengan kata “partai,” “mereka,” dan “Kupang,” berjumlah 24, 12 dan 17 kali kemunculan. Kosa kata daerah seperti Dong, Su, Ko terbilang cukup sering muncul dengan rata-rata 19,6 kali penyebutan.

Kata yang begitu heboh seperti “ekstrimis,” “bunuh,” dengan menunjuk “mereka,” hanya muncul 3, 2, dan 12 kali. Sangat jauh berbeda dengan penggunaan kata “Kita,” “Indonesia,” dan “Jangan” yang berturut-turut berjumlah 47, 7, dan 11 kali.

Jika dilihat dan dibandingkan secara serta merta maka kita bisa menyimpulkan bahwa wacana yang disampaikan oleh Viktor B. Laiskodat merupakan wacana yang berskala nasional tentang pentingnya menjaga negara dari wacana intoleransi. Wacana ini disampaikan dalam situasi lokal masyarakat Kupang yang saat pidato disampaikan, tengah bersiap menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sebagai seorang anggota DPR RI, wajar bila Viktor menyampaikan wacana dan pengetahuannya tentang kondisi politik nasional. Oleh karena itu kata “negara” dan “Indonesia” cukup dominan dalam isi pidatonya. Demikian pula dengan pendapatnya tentang situasi negara yang menurutnya makin didesak oleh gerakan, paham, wacana intoleran yang sedang terjadi di kancah politik nasional.

Dengan menggunakan kata “saya”, Viktor menegaskan pandangan dan pengetahuan pribadinya tentang kondisi politik nasional – untuk selanjutnya dia mengajak pendengarnya, dengan pendekatan kesamaaan, menggunakan kata “kita”. Pengetahuannya tentang intoleransi yang semakin menguat, disampaikannya kepada para pendengar agar mereka mau bersama-sama menjaga “toleransi”, khususnya di Kupang, NTT.

Konteks-konteks situasi kedaerahan dalam pidato yang videonya dipotong ini terlihat, misalnya, dengan frekuensi penggunaan kata dalam dialek daerah seperti “dong”, “su”, “ko”, “Kupang”, dan “bupati”, yang sering sekali muncul. Dengan kosa kata daerah yang begitu kental, Viktor memperlihatkan kedekatan (atau mendekatkan) dirinya dengan para pendengarnya. Hal ini tentu merupakan kearifan diri sebagai anak yang juga dilahirkan dari Nusa Tenggara Timur. Pilihan kata ini akan menunjukkan bahwa Viktor tidak meninggalkan akar budayanya walaupun dia sudah menjadi tokoh di tingkat nasional.

Kekhawatiran Viktor terhadap “khilafah”, “intoleransi”, dan “ekstrimis”, sedikitnya dapat terlihat jika membandingkan penggunaan kosakata tersebut dihadapkan dengan kosakata “jaga” dan “toleransi”.

Dalam pidatonya, kata “khilafah” didekati dengan kata “intoleran” yang jauh lebih besar frekuensinya dan diperlawankan dengan kata “jaga” dan “toleransi” yang sedikit disebut. Inilah kekhawatiran yang ingin disampaikannya Viktor kepada pendengarnya dengan tujuan akhir agar semua mau menjaga toleransi. Kekhawatiran terhadap intoleransi dan pikirannya terhadap toleransi ini terlihat jelas dalam kutipan pidato berikut:

“Perang di Suriah sonde cukup bawa ke Irak... Perang di Irak tidak cukup bawa ke Indonesia... Nanti kalau di Indonesia tidak cukup dorang bawa ke mana.., tapi kita su ancur semua macam Suriah di Irak... Kita tidak mau di Indonesia seperti itu... Jangan pernah kita mau... Kita mau di Indonesia ini, sholat boleh... Orang Muslim datang ke orang Kristen punya rumah, pinjam untuk sholat dia, kasih... Mari ko sholat... Saya siapkan waktu, siapkan ruang... Itu namanya toleransi antara anak bangsa. Orang Kristen datang di orang Muslim punya rumah, ada puasa... Orang Kristen bilang, beta musti makan; siapin makan... Itu toleransi... Bukan larang warung yang buka.., orang mau bajual cari uang bagaimana caranya, ekonomi mati semua.”

Melihat struktur isinya, pidato Viktor dibuka dengan ajakan kepada pendengarnya untuk mengevaluasi pemerintahan daerah NTT dan Kupang pada awalnya. Pertanyaan tentang perubahan-perubahan yang telah dirasakan oleh warga, dijadikan pembuka untuk menggugah acara pertemuan tersebut. Kemudian dia mengingatkan bahwa memilih pemimpin haruslah yang mau bekerja dan peduli kepada perubahan yang lebih baik bagi warganya. Di tengah pidato ini, Viktor memasukkan wacana politik nasional yang menurutnya cukup memprihatinkan. Penutup pidato ini pun kembali mengingatkan pentingnya kebangsaan ketimbang kepentingan pragmatis apalagi sampai menyebabkan intoleransi.

 

Potongan yang membuat salah paham

Jika melihat struktur pidato dan kata yang digunakan, secara keseluruhan, justru mengherankan melihat kehebohan yang terjadi. Tudingan bahwa Viktor memprovokasi, menyebarkan kebencian, anti Islam, bahkan persekusi politik terhadap empat partai yang dia sebut dalam konteks lokal, menjadi tidak relevan. Keempat partai berikut organisasi-organisasi sayapnya, yang bahkan belum membaca atau mendengar keseluruhan isi pidato Viktor, begitu meyakini kesimpulan dan pendapat mereka hingga akhirnya membuat laporan kepada pihak kepolisian dan Mahkamah Kehormatan Dewan.

Padahal jika menyimak transkrip pidato secara utuh, penyebutan keempat partai tersebut dilakukan Viktor setelah menjelaskan pandangannya tentang bahaya ekstrimisme dan intoleransi yang, menurutnya, dibawa oleh para pengusung ide negara khilafah, yang di tingkat nasional kini terus menjadi warning bagi pemerintah.

Kekhawatiran inilah, yang dalam konteks situasi lokal, menurut Viktor, menguat dengan adanya dukungan keempat partai yang dia sebutkan. Karena itu, dia mengajak pendengarnya, yang apabila menjadi bagian di antara keempat partai tersebut untuk keluar, dan mencari partai lain. Dia juga mewanti-wanti agar pemilih calon kepala daerah untuk tidak mendukung ekstrimisme dan intoleransi dengan tidak memilih (calon yang diusung) keempat partai tersebut.  Dengan demikian, pernyataan di dalam pidato tersebut erat kaitannya dengan situasi Pilkada yang akan berlangsung di 2018.

Demikian pula tudingan bahwa Viktor menganjurkan kebencian, apalagi persekusi politik, merupakan kesimpulan politis yang dibuat oleh partai tertentu yang disebut dalam pidato. Dalam situasi jelang Pilkada 2018 maka kesimpulan politis ini tentu memiliki tujuan bobot politis yang ingin dicapai.

Begitu pula dengan kesimpulan bahwa Viktor mengujar kebencian terhadap agama. Jelas penyimpulan yang demikian ini hanyalah penyimpulan secara politis terhadap pidato utuh yang disampaikan di Kupang, 1 Agustus 2017 itu. Kutipan transkrip pidato yang disebut di atas justru berisi pesan toleransi, yang justru menjadi pesan utama pidato Viktor.

Adapun persekusi politik yang disimpulkan dan menjadi narasi dari Partai Demokrat juga lebih nampak sebagai penyimpulan pendapat dalam kepentingan politis ketimbang hasil kajian mendalam atas isi pidato utuh. Pidato Viktor tidak sekali pun menyebut kata “persekusi”. Begitu pula dengan anjuran pemburuan (sebagai makna persekusi menurut KBBI). Namun dalam tahun politik pilkada seperti saat ini, apapun bisa diseret-seret menjadi politis.

 

Alhasil

Setiap orang bisa memaknai teks secara berbeda-beda. Preferensi individual akan sangat mempengaruhi bagaimana teks dimaknai oleh individu. “Words don’t mean, people mean” kata Alfred Korzybski (1879), pelopor ilmu general semantic. Maka keributan yang dihasilkan oleh pemaknaan dari kata adalah keributan karena beragamnya pemaknaan. Keributan bisa jadi lebih menggila karena adanya potongan-potongan wacana tidak utuh yang dimaknai individu.

Potongan video yang kemudian ditafsirkan masing-masing oleh warganet dan akhirnya juga menjadi perbincangan di masyarakat, menjadi riuh. Menyimpulkan tanpa melihat secara utuh teks dan konteks mengirinya akan lebih sering menjadi awal kesalahpahaman ketimbang menjadi penjelasan yang utuh dari sebuah situasi.

Maka sangat tepat kiranya anjuran yang disampaikan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin bahwa forum klarifikasi lebih dibutuhkan ketimbang menimbulkan kegaduhan. Apalagi jika sampai menyeret isu yang dipersangkakan.

Ikuti tulisan menarik surya ferdan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler