x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kaum Tani Belum Merdeka

Bung Karno dan Bung Hatta menempatkan kaum tani sebagai soko guru ekonomi. Ironisnya, hingga kini kehidupan kaum tani masih jauh dari kata merdeka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara kemerdekaan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan untuk berbicara tentang sosok legendaris Soekarno. Namun, berbicara sosok Soekarno tidak bisa dilepaskan dari ideologi marhean. Menurut berbagai sumber,  ideologi ini adalah modifikasi pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai kultur Indonesia. 

Berbicara mengenai marhean tidak bisa dilepaskan dari sosok petani Indonesia. Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Soekarno.  Marhean adalah sosok petani yang mempunyai berbagai alat produksi sendiri. Alat produksi itu antara lain, lahan pertanian, cangkul dan lsebagainya. Sayangnya, hasil kerjanya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Sosok petani telah menginsipirasi Soekarno melahirkan Marhean.

Namun, berbicara tentang kemerdekaan dan sosok Soekarno, tidak lengkap tanpa berbicara tentang Hatta. Sosok cerdas dan berani dari Sumatera Barat ini, bersama Soekarno yang memploklamirkan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana Hatta memandang petani?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Dr. Dawam Rahardjo, seperti ditulis dalam bukunya yang berjudul, ’Nasionalisme, Sosialisme dan Pragmatisme,' mengungkapkan bahwa sebenarnya pemikiran Hatta sejalan dengan Soekarno. Mereka berdua menyimpulkan bahwa soko-guru (penyangga atau tiang) masyarakat Indonesia adalah petani.

Waktu berlalu. Soekarno-Hatta sudah menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia pun sudah merdeka. Tahun ini Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke-72. Sebuah usia yang tidak lagi anak-anak untuk ukuran berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya bagaimana nasib kaum tani, yang dijadikan soko guru oleh Bung Karno dan Hatta, di usia Republik Indonesia yang ke-72? Sudahkah kaum tani merdeka?

Soko-guru masyarakat Indonesia, yang pernah menjadi inspirasi Bung Karno dalam merumuskan ideologi Marhaen, itu terus menerus digencet. Pergantian rejim pemerintahan tidak serta merta menghentikan penyingkiran petani dari sumber-sumber kehidupannya.

Di saat rejim Orde Baru berkuasa misalnya, kita melihat penyingkiran petani dalam proyek pembangunan Dam di kawasan Kedungombo, Jawa Tengah. Proyek raksasa yang menyingkirkan hampir 3000-an petani itu didanai oleh Bank Dunia. Saat itu petani melakukan perlawanan. Namun, kemudian perlawanan itu dapat dipatahkan oleh pemerintahan otoriter Orde Baru dengan diawali memberikan stigma bahwa daerah Kedungombo dulunya adalah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Di era Orde Baru, bila stigma PKI sudah dilekatkan, maka perlakuan sekeji apapun akan segera mendapatkan pembenaran.

Waktu berlalu. Rejim otoritarian Orde Baru pun tumbang pada 1998. Namun itu tidak merubah pola penyingkiran terhadap soko-guru masyarakat Indonesia. Penyingkiran itu ditandai dengan makin sempitnya akses petani terhadap tanah. Menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25 hektar saja. Meningkatnya jumlah petani gurem diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS).

Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata – rata sebesar 2,6 persen per tahunnya. Di Pulau Jawa jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani. Sebaliknya, penguasaan lahan yang sangat luas justru diperlihatkan oleh korporasi-korporasi besar. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan.

Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Indonesia ke-7 semula membuat harapan baru bagi para petani. Hal itu disebabkan, selain Presiden Jokowi dikenal merakyat dan didukung partai politik yang membawa simbol-simbol Soekarno, juga karena banyaknya aktivis yang dulu memperjuangkan hak-hak kaum tani telah merapat ke Istana Negara menjadi bagian dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Namun harapan itu kini nampaknya tinggal kenangan.

Maret 2017 misalnya, untuk kesekian kalinya petani Kendeng, Jawa Tengah mendatangi ke Istana Negara. Mereka ingin bertemu Presiden Jokowi. Kedatangan mereka bukan untuk mendapatkan bingkisan sepeda dari presiden. Kedatangan mereka hanya ingin mengadukan nasibnya yang terancam disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya akibat proyek pembangunan pabrik semen.

Sebenarnya, bukan kali ini saja petani Kendeng menggelar aksi protes.

Sebelumnya, pada Desember 2016, petani-petani Kendeng melakukan jalan kaki hingga ratusan kilometer dari Rembang menuju Semarang. Tujuannya sederhana, mendesak pemerintah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara.

Penderitaan panjang soko-guru masyarakat Indonesia itu tidak hanya dialami oleh petani Kendeng. Petani Telukjambe, Kerawang juga mengalami hal yang sama. Petani Telukjambe juga datang ke Jakarta. Mereka tergusur dari tanah-tanah yag menjadi sumber kehidupan petani.

Cerita pilu nasib soku-guru masyarakat Indonesia terus berlanjut. Pada November 2016 silam, beberapa petani di Majalengka ditangkap dan mengalami kekerasan aparat keamanan. Penyebabnya, para petani itu ingin mempertahankan tanahnya yang akan digusur proyek pembangunan bandara internasional Jawa Barat.

Tidak hanya petani Jawa Barat yang tanahnya terancam digusur proyek bandara internasional. Petani di Kulon Progo, Yogyakarta juga mengalami hal yang sama. Tanah subur yang selama ini menjadi sumber penghidupan petani Kulonprogo akan hilang digantikan oleh bandara baru Yogyakarta. Tentu bandara internasional Yogyakarta bukan diperuntukan bagi para petani itu, namun bagi mereka kelas menengah yang ingin menghabiskan uangnya untuk berwisata di Kota Yogyakarta.

Soko-guru masyarakat Indonesia, yang menjadi kesimpulan pemikiran Soekarno dan Hatta, kini masih menderita. Sayangnya, penderitaan itu terus terjadi di saat presidennya justru didukung oleh partai politik yang seringkali menggunakan simbol-simbol Soekarno untuk mendapatkan suara rakyat dalam pemilu. 

Seandainya Soekarno dan Hatta masih hidup di saat Indonesia memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-72, mungkin mereka berdua akan menangis. Kaum tani yang menurut mereka adalah soko guru eknomi Indonesia masih dilindas atas nama pembangunan. Ironis. Tapi itulah kenyataanya. Kaum tani belum merdeka.

 

Sumber foto: http://www.militanindonesia.org/analisa-perspektif/agraria-tani/8284-narasi-kecil-kaum-tani.html

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler