x

Usul Proyek Gedung DPR Kembali Menguat

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Doa 'Miring' di Gedung 'Miring'

Perhelatan sidang tahunan MPR RI yang digelar setiap 16 Agustus menjadi sangat berbeda nuansanya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perhelatan sidang tahunan MPR RI yang digelar setiap 16 Agustus menjadi sangat berbeda nuansanya. Banyak kejadian-kejadian “miring” ditengah isu kemiringan gedung DPR tempat di mana perhelatan itu digelar. Sejak dari pakaian Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tidak biasa, pidato Ketua DPD RI yang menyebut dirinya sendiri sebagai Ketua Umum Hanura, hingga doa yang dipanjatkan politisi PKS, Tiffatul Sembiring yang juga terkesan “miring” menyinggung presiden yang semakin kurus dan wakilnya yang semakin senja. Doa yang dibacakan anggota MPR dari Fraksi PKS ini justru hanya terkesan guyonan, di saat “nada miring” dialamatkan khusus menyoal postur tubuh seseorang.

Doa memang bersifat universal yang penting berisi harapan dan keinginan yang tentu saja bermakna positif. Tidak ada batasan atau kriteria apapun untuk berdoa, karena doa merupakan permintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Hanya saja, doa seringkali disebut sebagai untaian kalimat atau kata-kata paling indah dibanding puisi sekalipun, karena “tiada kata seindah doa” terlebih doa merupakan dialog khusus seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan demikian, doa harus berada pada koridornya, karena doa sejatinya adalah “tatakrama” berdialog dengan Sang Maha Pencipta. Sebuah tatakrama, tentu saja harus menunjukkan keluhuran budi dengan kata-kata puitis yang indah, tidak biasa-biasa saja, terlebih doa adalah tatakrama manusia kepada Tuhan.

Bagi saya, mendoakan Presiden Jokowi agar gemuk atau agar Wakil Presiden harus tetap semangat meski di usia senja, hanyalah sebatas “sindiran” atau bahkan lelucon yang tak memiliki esensi apapun dalam sebuah doa. Karena doa sangat bernilai estetik, maka sudah semestinya sebuah doa disusun dan direnungkan secara baik, bukan dibuat dadakan yang pada akhirnya hilang sama sekali nilai estetikanya. Bagi saya, rangkaian doa yang dibacakan oleh Pak Tiffatul rasa-rasanya tidak mencerminkan sebuah doa yang baik, kurang memenuhi kriteria estetika sebuah doa yang mengandung unsur tatakrama seorang hamba kepada Tuhannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Istilah doa “miring” yang saya maksud berarti kehilangan estetika dan tatakrama, tak ubahnya ketika gedung DPR dianggap kurang layak dan harus direnovasi karena unsur kemiringan mencapai 7 derajat. Doa yang dipanjatkan juga nampaknya “miring” dan perlu “direnovasi” untuk masa-masa sidang tahunan wakil rakyat ke depannya, karena jika dibiarkan, seluruh peserta yang mendengarkan bahkan rakyat Indonesia yang melihat juga akan terkena dampak “miring”. Jadikanlah sebuah doa itu untaian kalimat indah, puitis dan penuh estetika, karena tidak hanya pemirsa yang merasa khusyuk mendengarkannya, Tuhan-pun merasa senang. “Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”, begitulah bunyi sebuah hadis Nabi Muhammad yang sangat masyhur.

Ada satu kalimat doa yang menurut saya juga tidak sesuai pada tempatnya, ketika Pak Tiffatul menyebut, “hadirkanlah pemimpin-pemimpin yang lebih takut kepada Engkau daripada kepada partainya”. Dalam ajaran Islam, pribadi yang paling takut kepada Tuhan jelas para ulama dan bukan umaro, terlebih pemimpin-pemimpin politik. Dalam al-Quran surat Fathir: 28, secara tegas disebut, “innama yakhsya allahu min ‘ibaadihi al ‘ulamaa” (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah para ulama). Jadi jelas, mengharap para pemimpin politik untuk takut kepada Tuhan, bukan saja tidak pada tempatnya, tetapi dipastikan itu hanya sebuah ungkapan “sindiran” yang tidak sepatutnya diungkap dalam sebuah doa. Alangkah lebih indah jika redaksinya diganti menjadi, “hadirkanlah pemimpin-pemimpin yang lurus yang mampu membimbing kami..”.

Kondisi sidang tahunan wakil rakyat dan Pidato Kenegaraan Presiden ini justru tidak menunjukkan kekhidmatan disaat menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Seluruh rangkaian acara yang disuguhkan hingga sampai pembacaan doa lebih banyak mempertontonkan “lelucon” yang hilang sama sekali nilai kekhidmatannya. Padahal, menyambut kemerdekaan dan mengingat perjuangan para pendiri republik ini semestinya “sakral” karena tanpa para pejuang kemerdekaan, negeri ini tak akan tumbuh sehebat sekarang. Sungguh diluar dugaan, apakah karena efek dari gedung “miring” yang menjadi perdebatan, sehingga nuansa sidang tahunan ini juga terkesan “miring?” wallahu a’lam bisshawab.

Terlepas dari sebuah kegiatan itu dalam konteks apa, semestinya memang harus dibuat sekhidmat mungkin, terlebih memperingati Kemerdekaan Indonesia. Bagi bangsa ini, sudah menjadi kebiasaan di setiap perhelatan akan selalu dibuka dan ditutup melalui untaian kalimat doa. Disinilah saya kira, betapa religiusnya bangsa ini, karena doa senantiasa ditempatkan di awal dan di akhir setiap kegiatan resmi apapun. Religiusitas tidaklah dimaknai secara serampangan, dibuat lelucon atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Doa jelas bermakna religius yang tak mungkin dihadirkan menjadi semacam lelucon, sindiran atau guyonan a la politisi. Jangan sampai religiusitas yang mengilhami dasar negara Pancasila kemudian dianggap hanya sebagai “lelucon politik” yang nilai-nilainya justru hilang berganti dengan dagelan politik yang menggelikan.    

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler