x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan yang Memahami Persoalan Universitas

The problem is money! Itulah yang terjadi pada Universitas Winconsin pada tahun 2006 sampai tahun 2007

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin

The problem is money! Itulah yang terjadi pada Universitas Winconsin pada tahun 2006 sampai tahun 2007, yang mengakibatkan reputasi akademiknya turun dari (rangking) nomor 34 menjadi nomor 38 (News and World Report's Ranking of National Doctoral Institutions). Pada saat itu, para dosen digaji di bawah rata-rata. Para guru besar mengisi waktunya untuk mencari tambahan insentif di luar universitas. Dosen berada dalam situasi keluar masuk. Ada yang bertahan mengajar, ada pula yang keluar. Tak mau lagi menjadi dosen.

Tercatat bahwa hampir sekitar 400 guru besar menerima pekerjaan dari lembaga pendidikan di luar universitasnya dalam kurun waktu empat tahun. Terjadi "faculty turnover" yang masif. Universitas kemudian merasakan begitu mahalnya harga dari kelemahan pengelolaan universitas dari sisi pembiayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Universitas harus menanggung begitu banyak implikasi (akademik dan manajerial) akibat malpraktik dalam pembiayaan. Seorang guru besar memerlukan waktu sekitar delapan tahun untuk bisa membawa uang yang cukup, untuk menutupi biaya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan dan penelitian.

Dalam beberapa kasus yang lain, untuk menutupi defisit pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di universitas, kerap para pimpinan perguruan tinggi menyiasatinya dengan menaikan kuota jumlah daya tampung mahasiswa.

Universitas berlomba-lomba untuk menambah jumlah mahasiswa. Menerima mahasiswa baru secara besar-besaran dengan menggunakan beraganm skema pembiayaan. Ada universitas yang menaikan uang kuliah. Ada universitas yang menetapkan uang pangkal. Ada pula universitas yang mengandalkan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (spp). Semua itu digunakan untuk menutupi kekurangan pembiayaan operasional pendidikan di universitas.

Tetapi, banyak pimpinan universitas yang tak menyadari adanya bahaya utama dalam penyelenggaraan pendidikan di universitas, yakni terjadinya "over crowded" jumlah mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang dididik di dalam universitas mengalami ledakan, terlalu banyak, dan sulit untuk dikelola secara baik. Insfrastruktur universitas juga terbatas. Dosen-dosen yang mengajar juga terbatas. Rasio antara ketersediaan dosen dengan jumlah mahasiswa yang belajar tak berkomposisi ideal.

Akibatnya terjadi pertaruhan yang amat mahal, yang melegitimasi adagium umum di dalam penyelenggaraan pendidikan: "jika jumlah mahasiswa yang diterima di sebuah universitas terlalu banyak, maka yang akan terjadi kemudian adalah kualitas proses belajar mengajarnya akan menurun.” Dengan jumlah mahasiswa yang banyak, maka kualitas (mutu) lulusan juga akan turun.

Memang, problem pembiayaan menjadi krusial dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Universitas-universitas harus mencari skema pendanaan yang bervariasi, legal, dan tetap menjaga posisi universitas sebagai lembaga nirlaba. Banyak pimpinan perguruan tinngi membangun skema triple-helix, kolaborasi antara tiga penjuru kekuatan potensial yang dapat saling bekerjasama: dunia usaha-universitas-pemerintah. Bahkan belakangan dikembangkan skema kerjasama quatro-helix: dunia usaha-universitas-pemerintah-komunitas masyarakat.

Semua usaha itu dilakukan untuk mencari jalan yang lebih eligible agar problem keuangan yang dialami oleh perguruan tinggi dapat diatasi. Melalui beragam skema seperti di atas dapat diasumsikan bahwa dalam kurun waktu tertentu semua pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dan penelitian dapat dipenuhi, sehingga para talenta yang ada di universitas tak berada dalam situasi turnover terus menerus. Usaha seperti di atas tak mudah untuk diwujudkan.

Usaha seperti itu setidak-tidaknya memerlukan beberapa perhatian dalam minimum tiga wilayah : (1) regulatory framework; (2) the competitive environment; dan (3) otonomi akademik dan manajerial. Yang pertama berkaitan langsung dengan dukungan kebijakan yang memungkinkan terjadinya eksekusi beragam skema pembiayaan universitas seperti triple-helix ataupun quatro-helix. Adagium yang dapat dipakai dalam mempersiapkan "regulatory framework" adalah "break all the rules."

Para regulator, pengambil kebijakan harus mengabaikan dulu semua aturan main yang ada, kemudian memetakan ulang masalah pokoknya, kemudian menentukan mana yang masih relevan digunakan dan mana yang harus diganti kebijakannya. Kebijakan yang mendukung dipertahankan. Kebijakan yang sudah kadaluarsa, tak cocok dengan kebutuhan terkini, digantikan dengan yang baru.

Yang kedua berkaitan dengan lingkungan universitas yang kondusif bagi berkembangnya kompetisi, baik dalam kegiatan akademik, kegiatan penelitian, maupun dalam mentransformasikan "tacit knowledge”menjadi“explicit knowledge." Lingkungan yang kompetitif adalah suatu proses pembentukan atmosfir akademik. Di dalam atmosfir akademik yang baik, produksi ilmu akan berkembang dengan baik, dan sebaliknya. Di dalam atmosfir akademik yang baik, setiap warga universitas akan selalu berada dalam "knowledge production situation."

Sedangkan yang ketiga berkaitan dengan tingkat atau derajat otonomi yang dimiliki dalam sebuah kepemimpinan universitas. Di sini ada kebebasan dalam menyelenggarakan pendidikan (baik di level program studi maupun di level fakultas), kebebasan dalam mendiskusikan dan mendalami pandangan-pandangan. Kebebasan dalam mengembangkan paradigma-paradigma yang "lepas" dari segala bentuk regulasi yang bersifat involutif. Otonomi harus terjadi di dua wilayah penting penyelenggaraan pendidikan, yakni otonomi dalam bidang akademik, dan otonomi juga dalam melakukan tata kelola.

Dua wilayah yang menjadi jantung berkembang atau tidaknya sebuah universitas dengan kualitas yang baik. Jika kita ingin membangun sebuah universitas yang baik, unggul, dan memiliki reputasi maka yang harus dibenahi adalah problem pengelolaan keuangan, peningkatan otonomi akademik dan manajerial, serta perumusan kebijakan-kebijakan yang mendukungnya. Tanpa perhatian yang serius terhadap masalah-masalah di atas, agaknya sulit sekali kita akan membangun sebuah universitas yang didambakan bersama.

Itu sebabnya, yang diperlukan kemudian adalah adanya sebuah "appropriate governance" yang dipimpin oleh sebuah "the new dream team." Tim kepemimpinan yang mengerti akan roh utama sebuah universitas.

 

Penulis adalah Guru Besar Sosiologi dan Wakil Rektor I Universitas Negeri Jakarta

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler