x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Menafsirkan Percakapan Gunung-Gunung

Pemimpin hebat mampu menafsirkan suara stakeholders mereka, ibarat bumi yang menyerap percakapan gunung-gunung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Swill Your Ego, Set New Standard of Success

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

 

“…bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An-Naba [78]; 6 – 7).

“… Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi tidak goncang bersama kamu….” (An-Nahl [16]: 15).

 

Betapa pentingnya fungsi gunung-gunung sebagai pasak-pasak penjaga stabilitas hamparan bumi, sebagai pusat kekuatan alam, juga dapat kita temui dalam ajaran-ajaran sebelum Islam. Sebagiannya mempercayai gunung-gunung adalah tempat berdiamnya dewa-dewa saat bertandang ke bumi. Dalam tradisi Hindu, misalnya, dikenal Gunung Meru, tempat suci sebagai simbol pusat alam semesta.

Pasak-pasak atau stakeholders berfungsi menopang tegaknya sebuah ekosistem. Gunung-gunung menjadi pasak agar hamparan bumi kondusif untuk tumbuhnya peradaban, mengolah kehidupan dengan cara lebih baik.

Dalam program pengembangan kepemimpinan berdasarkan pendekatan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), para pemimpin diibaratkan sebagai tenda yang kekuatan tegaknya didukung oleh pasak-pasak (stakeholders) yang menancap ke bumi dan sekaligus terikat ke tiang dan sisi-sisi tenda.  

Tanpa didukung pasak atau stakeholders, sebuah tenda dapat dipastikan mustahil didirikan – karena mana mungkin mengikatkan diri ke awang-awang.

Maka, para pemimpin yang tidak memperhitungkan kekuatan dan dukungan pasak-pasaknya (stakeholders) --  yaitu barisan direct reports, rekan sejawat (peers), dan atasannya, sebagai para mitra akuntabilitas -- mustahil dapat membangun kekuatan memimpin organisasinya untuk sigap menghadapi dinamika perubahan-perubahan zaman.

Jika pemimpin tersebut setingkat kepala negara, atau kepala pemerintahan, mustahil dapat bertahan tanpa ditopang para pendukungnya – paling utama adalah rakyatnya.

Menurut konsep kekuasaan sesuai tradisi pemikiran di China, umpamanya, para kaisar dianggap memegang mandat dari Langit – Tian (Tuhan). Dalam sejarah China yang panjang, saat mandat dari Langit tersebut diselewengkan, dijalankan hanya memenuhi syahwat kekuasaan elite kerajaan, dan membuat rakyat menderita, maka terjadi gerakan besar memenggal mandat atau ge ming, yang diterjemahkan sebagai revolusi. Ekosistem rontok, karena pasak-pasak yang menjaga stabilitas tercerabut, chaos.

Namun, jika pemimpin bersikap rendah hati, kekuasaan/kewenangannya membuat keputusan, melakukan eksekusi, dapat membangun hamparan bumi yang kondusif menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru, clearing the path for others, memperkuat pasak-pasaknya, meningkatkan kualitas kehidupan, lazimnya akan bertahan lama.

Para CEO perusahaan-perusahaan hebat, utamanya di AS, yang diantara mereka bertahan sampai 20 tahun membangun organisasi sehingga nilai sahamnya tumbuh secara konsisten sampai beberapa kali lipat dari rata-rata pasar, adalah para leaders dengan kualifikasi seperti itu.

Builds enduring greatness through paradoxical blend of personal humility and professional will,” tulis Jim Collins dalam buku Good to Great (Harper Business, 2001 – terjual lebih dari tiga juta jilid). Ini hasil survei Profesor Jim Collins dan tim.

Jim Collins menempatkan para leaders dengan kualifikasi seperti itu sebagai Level 5 Executive, tertinggi. Kalau mampu berkontribusi lewat bakat, kepintaran, skills, dan habit kerja yang baik, hanya berada di Level 1.  

Personal humility and professional will adalah sikap membumi dengan tetap menegakkan semangat kerja extra miles (melebihi panggilan tugas). Mereka ibarat hamparan bumi yang sanggup menafsirkan dengan indah percakapan gunung-gunung – menghargai suara para stakeholders, demi kebaikan bersama.

Apakah kecerdasan emosional kita, kecerdasan spiritual kita, dan intelektualitas kita selalu siap untuk diukur dengan parameter tersebut? Apakah sebagai leader, sebagai eksekutif, pemimpin organisasi, Anda sudah membangun diri memiliki humility dan professional will agar menjadi hebat, lebih dari sekedar bagus?

Tantangan terbesar kita adalah ego dan rasa bangga diri. Merasa sukses, atau pernah berhasil di organisasi-organisasi sebelumnya, dan memaksakan pendekatan yang membantu kesuksesan tersebut untuk mengatasi tantangan saat ini merupakan tindakan tidak efektif. Karena situasi sudah berubah, interaksi antar organisasi memerlukan strategi dan jurus berbeda. Itulah pentingnya continuous improvement.

Dan di situlah pentingnya peran para stakeholders, untuk membantu kita melakukan evaluasi dan memberikan masukan untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan kita.

Berdasarkan pengalaman, dalam banyak kasus, data-data dan masukan para stakeholders bisa membuat para leaders tidak nyaman. Karena belum tentu sesuai dengan yang diangankan atau diinginkan. Saran terbaik pada kondisi tersebut adalah, telanlah ego dan kebanggaan diri.

Karena ego dan kebanggaan diri berlebihan akan jadi liability, beban, untuk pendakian ke altitude berikutnya.

Tugas para pemimpin adalah mendengarkan fakta-fakta dari para stakeholders, bukan mendengarkan apa yang ingin didengar. Pemimpin berjiwa besar, ibarat hamparan bumi yang menyadari memerlukan pertolongan gunung-gunung sebagai pasak-pasak menjaga eksistensinya, tentu sanggup mendengarkan dan menafsirkan dengan baik percakapan gunung-gunung tersebut.

“Feedback is the breakfast of champions,” kata Ken Blanchard, salah satu leadership guru dan management expert yang program-program pelatihannya sudah membantu banyak perusahaan dan organisasi non-bisnis di pelbagai belahan dunia.

Anda tentunya ingin jadi seorang champion kan?

Menurut metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, fungsi feedback diperkuat dengan feedforward, a key lever in behavioral change and leadership growth.

Feedback, sebagaimana kita pahami, menyangkut hal-hal yang sudah terjadi – ibarat melihat ke kaca spion saat mengemudi. Feedforward mendorong kita fokus menentukan langkah-langkah kongkrit yang lebih baik mulai sekarang ini juga, agar kita menjadi lebih efektif mengolah kehidupan.

Dengan feedback dan feedforward dari para stakeholders, kita dapat pula mengembangkan standard baru untuk menentukan pencapaian-pencapaian kita. Raising the bar. Tujuannya supaya hari ini lebih baik dari kemaren.

Siap mendaki ke altitude selanjutnya. Dan seperti mendaki ke puncak-puncak gunung yang tinggi, Everest atau Chimborazo (Ecuador) misalnya, atau mendaki tahapan kehidupan dari satu keberhasilan ke sukses berikutnya yang lebih baik, memerlukan evaluasi pada setiap base camp dan sekaligus penyesuaian dengan ketinggian.

Untuk menuju altitude berikutnya memerlukan diri kita yang melebihi diri kita kemaren. Peran coach dalam proses tersebut ibarat pemandu mendampingi pendakian, menjadi sparring partner, membantu melihat perspektif baru menentukan actions lebih efektif. 

 

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)  

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler