x

Iklan

Dudi Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Proyeksi Reshuffle Jilid III Kabinet Kerja

Penulis: Muhammad Dudi Hari Saputra Peneliti Indonesia Development Institute

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis:

Muhammad Dudi Hari Saputra

Peneliti Indonesia Development Institute (INDI)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembuka

Pasca pilkada DKI Jakarta, isu reshuffle di Pemerintahan Jokowi – JK kembali santer, sinyal bahwa akan terjadi reshuffle sudah menjadi sorotan media nasional, setidaknya The Jakarta Post (23 April) sudah mengabarkan bahwa pasca pilgub DKI akan dilakukan evaluasi terhadap kinerja beberapa menteri yang dianggap tidak maksimal dalam kinerja dan tidak mampu membantu kepala negara dalam menjawab gejolak yang terjadi di masyarakat.

Dan alasan politik praktis juga menjadi pertimbangan, soliditas para menteri yang diakomodir oleh Presiden atas pertimbangan menjaga stabilitas kekuasaan dan memperkuat kekuatan di pemerintahan terlihat di momen pilkada DKI yang menjadi the testing water bagi para menteri oleh Presiden, apakah mereka tetap loyal dengan keinginan Presiden atau tidak, sehingga mampu menjaga kepemimpinan Jokowi-JK hingga 2019, bahkan melanjutkan perjuangan untuk tetap memimpin di periode ke dua.

 

Konsep dan faktor reshuffle

Akar kata reshuffle sendiri berasal dari bahasa Inggris, yang menurut kamus Oxford adalah “Reorganize or change the positions of government appointees, members of a team” atau menurut kamus Politics and Government  sebagai“The changing of positions, especially those of Cabinet ministers” (Collin: 2004). Jadi secara sederhana reshuffle adalah perubahan komposisi kabinet (jabatan menteri atau setingkat menteri) oleh kepala pemerintahan. Adapun klasifikasi kenapa seseorang bisa di reshuffle antara lain; 1. Mengundurkan diri atau meninggal, 2. Menyegarkan kabinet pemerintahan, dengan melakukan rotasi atau pergantian terhadap menteri yang berkinerja buruk, dengan di non-jobkan atau di geser ke posisi menteri yang tidak strategis, dan sebaliknya mengangkat seseorang dari luar kabinet yang berprestasi sebagai menteri atau mempromosikan seorang pejabat menteri atau setingkatnya naik ke posisi menteri yang lebih strategis dan berpengaruh.

Kemudian 3. Tekanan dari publik juga menjadi faktor seseorang bisa di reshuffle, hal ini pernah menimpa mantan menteri ESDM Archandra Tahar ketika persoalan kewarganegaraannya bocor ke publik dan menjadi perbincangan yang ramai, sehingga Presiden harus mengambil langkah untuk mengganti posisi beliau untuk sementara waktu di isi oleh Luhut Panjaitan, 4. Dan salah satu faktor paling berpengaruh adalah terkait koalisi politik,  pada reshuffle jilid 2 Presiden Jokowi memasukkan beberapa nama dari partai politik yang memutuskan untuk berkoalisi dengan pemerintah, yaitu Golkar dengan memasukkan Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian (Menperin) dan PAN dengan memasukkan Asman Abnur  sebagai menteri Pendayaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan – RB), 5. Selain terkait perubahan komposisi menteri, reshuffle juga bisa terkait perubahan struktur kementerian dan lembaga setingkat menteri, baik dengan membuat yang baru, memecah atau menyatukan yang lama, dan menghapus yang lama.

 

Kesalahan dalam memutuskan reshuffle

Sebagai content analysis (analisis sekunder) dan ­comparative analysis (analisis perbandingan), penulis menggunakan dua penelitian, pertama adalah penelitian yang di tulis Akash Paun dari Institute for Government – Inggris yang berjudul “Shuffling The Pack: A Brief Guide to Government Reshuffles”. Di dalam penjelasannya, setiap kali ada reshuffle itu memiliki beberapa resiko, pertama jika ingin melakukan penegakkan aturan, melakukan reformasi pelayanan publik dan mendorong program pemerintah akan membutuhkan waktu.

Sedangkan jika dilakukan reshuffle akan membuat waktu terbuang, karena adaptasi pejabat baru dan bisa menciptakan perbedaan kebijakan antar pejabat lama dan baru yang akan menyulitkan sinkronisasi implementasi dilapangan, belum lagi adanya ketikdapastian apakah reshuffle akan menciptakan komposisi kabinet yang berhasil atau tidak, karena nya banyak saran jika Presiden melakukan lagi reshuffle jilid 3 maka ini adalah reshuffle kabinet Jokowi-JK yang terakhir, sehingga bisa fokus sampai 2019.

Kemudian kedua, jika reshuffle tidak dilakukan secara bijak, maka dengan pasti akan menciptakan musuh dan kekecewaan pendukung, hal ini bisa kita lihat dari pengalaman di reshuffle nya Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang kemudian kecewa dan bergabung dengan partai oposisi pemerintah (Gerinda dan PKS) untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta dan akhirnya mampu mengalahkan calon yang di dukung oleh koalisi pemerintah yaitu Basuki Tjahya Purnama atau Ahok.

Kedua, penulis melakukan content analysis dari penelitian Jorgen Hermansson dan Kaure Vernby yang berjudul “Cabinet Reshuffles and Prime Ministerial Power”. Penelitian kali ini mengupas tentang kesalahan di dalam reshuffle kabinet jika tidak menggunakan acuan yang jelas dan objektif. Reshuffle memang menjadi kendala yang problematik jika mengingat dominasi kekuasaan atau hak prerogatif yang dimiliki Presiden bisa membuatnya bisa melakukan reshuffle yang tidak terukur.

Ada dua alasan kenapa reshuffle bisa menjadi tidak tepat sasaran: Pertama adalah “Problem of Proxying” yaitu reshuffle yang dilakukan atas dasar persaingan/pertarungan kekuasaan antar Presiden dan kolega pendukung nya (bisa dari kolega Wapres, ketua partai koalisi atau kepala daerah) dengan jajaran kabinet nya, utama nya jika menteri tersebut tidak mengambil keputusan sesuai agenda Presiden, kita bisa ingat dalam konteks Indonesia ketika Jonan di copot sebagai menteri perhubungan karena menolak proyek kereta api cepat dan memberikan sanksi kepada Lion Air atau Rizal Ramli yang di copot sebagai Menko Maritim karena menolak reklamasi pantai utara Jakara dan sempat bersinggungan dengan Gubernur Jakarta Ahok.

Kedua adalah “Problem of Selection Bias” yaitu kegagalan dalam menganalisis kemungkinan hubungan timbal-balik antara kepala pemerintahan dengan menteri yang ditunjuknya, selain itu bias juga sering kali terjadi karena pergantian dilakukan terhadap menteri yang tidak cakap dengan menteri baru yang juga tidak memiliki pengalaman di birokrasi apalagi sebagai menteri, dan kebanyakan pilihan didasari pada politik praktis tanpa data yang valid terkait kinerja menteri yang dipilih.

Misal blunder paling jelas dilakukan oleh Jokowi ketika menggantikan posisi menteri pendidikan Anies Baswedan yang di anggap memiliki kinerja baik tapi tidak memiliki basis politik pendukung dengan Muhadjir Effendy yang merupakan rektor Muhammadiyah Malang dan sempat menimbulkan pro-kontra perihal kebijakan awal nya terkait sekolah full-day, selain itu ada harapan dari Presiden bahwa organisasi Islam Muhammadiyah akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK, tapi fakta malah terbalik ketika PWI Muhammadiyah Jakarta malah mendukung Anies dalam pilgub Jakarta yang di dukung partai oposisi, bukan Ahok (JPNN: 2017). Yang menandakan kegagalan di dalam menentukan arah reshuffle untuk menambah kinerja yang lebih baik dan konsolidasi kekuatan di internal kekuasaan pemerintah.

 

Rehuffle yang ideal

Menurut Akash Pakun, kepala pemerintahan harus memiliki spektrum pemikiran yang holistik dan presisi dalam menentukan susunan kabinet, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dan ditekankan.

Pertama adalah reshuffle harus memiliki tujuan, merupakan keharusan bagi Presiden agar menteri yang baru ditunjuknya mengerti dan memahami kenapa dia diangkat sebagai pejabat negara, kemudian Presiden juga harus mampu menjelaskan tujuan reshuffle sebagai bagian yang integral antar sesama menteri di dalam kabinet, agar tidak terjadi pertentangan kebijakan dan tujuan antar sesama menteri, yang malah bisa memperlambat kinerja pemerintah. Dalam kasus kabinet kerja, kita bisa ingat bagaimana terjadi perbedaan antar sesama menteri, misal terkait kereta api cepat, dimana menteri BUMN Rini Soemarno berselisih paham dengan menteri Perhubungan Ignasius Jonan, atau Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang sempat bersitegang dengan Gubernur DKI Jakarta.

Sering nya terjadi perbedaan kebijakan antar sesama pejabat negara di masa kepemimpinan Jokow-JK perlu menjadi catatan merah tersendiri, yang harus segera diperbaiki agar tidak terulang jika ada reshuffle jilid 3 nanti.

Kedua, reshuffle harus mampu membawa perubahan, baik dari sisi kebijakan yang lebih baik, soliditas yang lebih kuat dan mampu menarik perhatian masyarakat secara positif. Jika reshuffle tersebut tidak membawa perubahan apa-apa, mungkin bahkan bisa menjadi lebih buruk, maka reshuffle tersebut sia-sia.

Ketiga, berfikir tentang bagaimana anda mereshuffle, bukan sekedar siapa yang anda reshuffle. Sangat penting bagi Presiden ketika melakukan reshuffle tidak membuat terjadi nya ketersinggungan yang bisa menciptakan musuh baru, contoh nya adalah Anies Baswedan yang merupakan bagian utama timses Jokowi-JK dan memiliki reputasi yang baik sebagai menteri tapi malah di reshuffle tanpa ada sebab yang pasti, sehingga pada akhir nya timbul kekecewaan dan menjadi lawan baru bagi kelompok pemerintah. Presiden juga harus menghindari pengangkatan yang bisa melanggar konstitusi, seperti diangkatnya Archandra Tahar sebagai menteri ESDM, padahal status nya masih berkewarganegaraan AS, sungguh menjadi preseden yang buruk ketika warga negara asing menjadi menteri, apalagi yang di jabat adalah kementerian ESDM yang strategis, dimana 10% pendapatan negara berasal dari sektor tersebut.

Keempat, menempatkan kandidat menteri sesuai dengan keahliannya, menurut penulis ini adalah aspek yang sangat penting, agar menteri kelak bisa maksimal dalam berkerja karena ditempatkan atas dasar kecakapan dan keahlian, bukan karena alasan politik atau kedekatan secara personal. Kelima adalah menjaga keseimbangan, perlu bagi Presiden di dalam reshuffle bersikap adil dan mengakomodir semua golongan, baik itu jumlah menteri wanita di dalam kabinet, serta keterwakilan menteri yang merepresentasikan wilayah atau etnis tertentu, serta tentu nya menjaga keseimbangan antar kelompok professional dan politisi.

Keenam, Presiden harus memperhatikan secara khusus terkait mereshuffle koalisi, mengakomodasi setiap partai yang berkoalisi dengan pemerintah sangat penting di dalam menjaga kondusifitas pemerintahan, tapi perlu di jaga dinamika komplikasi yang disebabkan karena beragam nya partai politik yang mendukung, keseimbangan dan porsi yang tepat perlu diberikan kepada setiap partai koalisi agar tidak timbul kecemburuan antar sesama partner koalisi di kabinet ketika kader nya ditempatkan pada pos menteri tertentu.  Memilih kader partai didalam kabinet juga harus memenuhi kriteria profesionalitas dan background ideologi partai tersebut, misal partai berhaluan agama ditempatkan sebagai menteri agama, dsb.

Ketujuh, Terkait reshuffle, Presiden juga harus memperhatikan logistik dan struktur pendukung ketika dilakukan perubahan kabinet atau lembaga kementerian, terutama dari sektor pekerja/pegawai senior di kementerian yang harus mengatur program baru atau mengintegrasikan dengan yang lama padahal belum tentu seiring, sehingga memakan waktu yang banyak, dan pada akhir masa implementasi selalu dikebut dan tidak berdampak sempurna, Presiden harus menghindari terjadi nya birokrasi kompleks karena reshuffle.

 

Problema Reshuffle Jilid 3

Ada nya pemberitaan perbedaan pendapat antara Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla perihal faktor terjadinya reshuffle, telah memberi sinyal ada nya perbedaan persepsi dua pasangan ini, yang bisa berdampak pada soliditas kerja di dalam kabinet pemerintahan. Jokowi yang berargumen bahwa menteri bisa di ganti jika tidak memenuhi target, di jawab oleh Jusuf Kalla bahwa jika target menjadi alasan pergantian, maka akan banyak menteri yang akan di copot, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang tidak bisa memenuhi target pendapatan pajak atau Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuldjono yang belum mencapai target pembangunan jalan karena terkendala anggaran (Kompas, 2017).

Penyebutan dua nama menteri itu bukan tanpa alasan, karena kedua nama tersebut adalah menteri yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Jokowi, sedangkan dalam reshuffle sebelum nya, Presiden mereshuffle Sudirman Said dan Yuddy Chrisnandi yang di anggap orang dekat Jusuf Kalla. Ketersinggungan di internal penguasa pemerintahan merupakan dinamika yang sulit dihindari karena bangunan kekuatan yang didasari atas koalisi yang beragam dan pragmatis-transaksional.

Sikap konsisten dan ketegasan Presiden sebagai pemilik hak prerogatif  reshuffle kabinet sangat diperlukan, agar tidak menjadi blunder kemudian hari karena yang diangkat dan yang dilengserkan bukan berdasarkan acuan target yang objektif, melainkan kedekatan personal dan kepentingan politik, yang malah bisa menambah buruk citra dan kinerja Presiden. Dan masa jabatan Presiden yang sisa 2 tahun saja, tidak memberikan ruang waktu yang banyak untuk mewujudkan janji-janji pilpres 2014, sehingga jika dilakukan reshuffle, harus dengan perhitungan yang matang, agar program pemerintah bisa berhasil untuk diimplementasikan, selain itu Presiden juga harus menjaga keseimbangan koalisi pendukung nya di dalam kabinet, agar terjadi kekompakan dan soliditas untuk meraih target bersama hingga masa purna di 2019.

Ikuti tulisan menarik Dudi Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler