x

Iklan

Ricky Sandriano

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Misi Panglima TNI ‘Mengungkit’ Kembali Kasus Heli AW 101

Publik bertanya kenapa tiba-tiba panglima Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kembali mengungkit kembali kasus pengadaan Helikopter AW 101. Padahal.....

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publik bertanya, termasuk penulis juga, kenapa tiba-tiba panglima Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kembali mengungkit kembali kasus pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101. Padahal bulan Februari yang lalu, sudah dinyatakan bahwa pengadaan Heli AW 101 ini sudah sesuai dengan aturan yang ada.

Namun kenapa sekarang kasus ini kembali mencuat? Ada apa sebenarnya dibalik kasus ini ? Siapa yang memanfaatkan kasus untuk kepentingan politiknya? Ya, penulis masih ingat apa yang dikatakan  Dewan Penasihat Nasional Air Powerforce And space center of Indonesia Connie Rahakundini, pengadaan Heli AW 101 ini terlalu dipolitisir oleh mereka yang memanfaatkan kasus tersebut.

Dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/2/2017) seperti dilansir Liputan6.com, Conie mengatakan, "Yang jelas itu perang industri pertahanan dengan menggunakan petinggi kita. Saya nggak tahu siapa dipakai siapa. Kalau bukan, Mengapa ini dibiarkan terjadi,"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Conie, pengadaan Helikopter AW 101 yang telah tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma beberapa waktu lalu sudah sesuai prosedur dalam hal pengadaan dan prosesnya.

"Soal pengadaan Helikopter AW itu kan sudah sesuai prosedur, sejak awal saya berbeda sendiri, mendukung langkah KSAU, ketika semua menyalahkan. Dari anggarannya turun sudah diubah dari untuk VVIP sampai perubahan anggaran ke anggaran heli-angkut semua sesuai rencana strategis dan prosedur" tegas Conie.

Politik Panglima TNI

Lantas apa hubungannya dengan panglima TNI, apa kepentingan dan keuntungan panglima TNI ‘mengungkit’ kembali kasus ini? Semuanya mulai terbaca pada saat pengangkatan Danpuspom Mayjen TNI Dodik Wijanarko menjadi Irjen TNI. Seperti kita ketahui, penanganan kasus dugaan korupsi Heli AW 101 masih sangat sumir dan belum tuntas ditangani Danpuspom. 

Terlebih lagi, dalam pengangkatan Danpuspom sebagai Irjen TNI, seperti yang dikatakan pemerhati militer Fahrozi, jabatan Irjen TNI yang berasal dari pejabat Danpuspom tidak lazim. Menurutnya, jabatan Irjen biasanya dijabat jenderal yang pernah memimpin teritorial atau minimal pernah menjabat Pangdam. Lanjutnya, posisi Inspektur Jenderal biasanya dijabat sosok yang pernah menduduki garis komando, karena karir Danpuspom paling tinggi bintang dua.

Ia juga menilai, pengangkatan Danpuspom sebagai Irjen TNI kurang pas. Karena di dalam tugas dan kewenangan yang tertuang dalam Tupoksi, Irjen menangani institusi TNI secara lebih luas dan makro menyangkut transparansi anggaran dan kinerja. Ini berbeda dengan institusi Puspom yang lebih cenderung pembinaan dan pendisplinan internal anggota.

Penulis kembali bertanya-tanya, ada apa Panglima tiba-tiba mengangkat Danpuspom menduduki jabatan tersebut. Apa yang melatarbelakangi, adakah kompetensi yang dimiliki Danpuspom, apakah ini tidak ada kaitannya dengan kriminalisasi kasus Heli AW 101 yang merugikan institusi dalam lingkungan TNI lainnya. Pertanyaan lainnya adalah, kenapa seorang Panglima TNI menyalahkan prajuritnya. Apakah benar Panglima benar-benar tidak tahu adanya pembelian Heli AW 101. Bahkan opini yang selama ini terbangun adalah prajurit TNI AU bersalah.

Saat ini, sudah 4 anggota TNI menjadi tersangka dalam kasus orupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland AW 101 di TNI Angkutan Udara pada periode 2016 – 2017.  Kuasa Hukum Marsekal Muda SB tersangka dalam kasus Heli AW 101, Teguh Samudera menilai penanganan kasus Heli AW 101 terlalu dipaksakan dan tidak dilakukan sesuai Undang-Undang.

Pertama, tidak ada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan pembelian Heli AW 101 tersebut merugikan negara. Apalagi pembelian barangnya masih dalam proses sehingga belum bisa diaudit.

Kedua, seharusnya aparat melakukan penyelidikan kasusnya terlebih dahulu untuk mendapatkan minimal dua alat bukti permulaan yang kuat. Kemudian dikaji dan dianalisa. Dilakukan gelar perkara. Jika dalam gelar perkara memang ada alat bukti barulah dinaikkan ke tahap penyidikan dan penetapan tersangka.

"Harusnya ada proses penyelidikan dulu jangan langsung penyidikan, dalam aturan hukum pidana itu harus ada klarifikasi sana, klarifikasi sini, mencari keterangan, pengumpulan data, tidak kemudian main menetapkan orang jadi tersangka, karena ini menyangkut hak asasi manusia," ujar Teguh Samudera dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (15/8/2017) seperti yang dilansir editor.id dihari yang sama.

Tak hanya itu, Teguh juga meminta pihak penyidik Puspom TNI untu tidak mencari kesalahan-kesalahan dalam masalah pembelian Heli karena pengadaan barang tersebut memang sudah disetujui Kementrian Keuangan, Kepala Bappenas dan Kementrian Pertahanan. Ia yakin, TNI AU tidak mungkin inisiatif sendiri membeli barang itu, pasti ada sejarahnya, ada catatannya dan ada prosedur sebelum membeli Heli tersebut.

Apalagi pembelian Heli ini, lanjut Teguh, menggunakan dana APBN. Dimana penggunaan dana APBN melalui sebuah prosedur yang telah ditetapkan Undang-Undang.

"Sekarang bagaimana membeli barang itu kalau pakai dana APBN itu prosedurnya panjang dan ketat, ini demi kepentingan negara lho, gak sembarangan, duitnya darimana, kalau sudah menggunakan anggaran negara maka semua instansi dan atasan terkait mesti semua sudah tahu, tidak mungkin uang akan keluar sendiri, pasti melalui Departemen Keuangan dan rekomendasi Departemen Pertahanan mesti tahu," katanya.

Anggaran negara tidak bisa serta merta dapat digunakan tanpa adanya persetujuan berjenjang mulai dari pengguna anggaran dalam hal ini Kementrian Pertahanan. Pemegang kewenangan keuangan negara dalam hal ini Departemen Keuangan. "Dan itu mesti melalui rapat perencanaan dan rapat koordinasi antara Kementrian," ujar dosen Pasca Sarjana ini.

Menanggapi persoalan tender dari pembelian Heli AW 101, menurut Teguh dalam pembelian aset negara apalagi untuk kepentingan pertahanan, maka tidak bisa disebut murah atau mahal. Kemudian soal pengadaan barangnya yang dimenangkan oleh satu perusahaan. Menurut Teguh, jika pemilik teknologi yang sesuai kebutuhan TNI AU hanya bisa dipenuhi pabrikan itu maka ia tergolong barang khusus.

"Barang khusus ini dalam arti apa, tidak semua orang menjual, tidak banyak pabrikan yang memproduksi lha itu yang dimaksud barang khusus berlaku kekhususan. Jadi mau dipersoalkan apanya lagi, kalau sudah dijalankan, sehingga tidak mudah orang berprasangka menduga-duga," katanya.

Teguh juga menyoroti ketidakkosistenan penyidik Puspom dalam menangani masalah Helikopter AW 101. Karena sering berubah pasal yang disangkakan. Pertama mengenai ada selisih harga hingga Rp220 miliar. Kemudian berubah lagi disangka atau dituduh tidak memiliki ketaatan dan melanggar KUHP Militer.

"Tadinya sangkaannya ini, begitu diproses, menjadi sangkaannya itu. Hukum itu gak boleh begitu. berubah-ubah. Harus ada kepastian hukum. Sejak awal harus jelas pasal dugaan yang dilanggar itu pasal berapa perbuatannya apa kemudian dasarnya apa ga boleh sembarangan," katanya.

Kemudian menyangkut pengadaan barang yang didasarkan dana APBN, menurut Teguh, jika memang mau dianggap tidak benar harus memenuhi sejumlah unsur. Pertama, harus ada tentang perbuatan yang melanggar hukum. Yang kedua, menyebabkan kerugian keuangan negara.

"Nah kalau misalnya prosesnya sedang berjalan dan belum selesai, kemudian kita menuduh ada kerugian negara, lho darimana bisa menghitung timbulnya kerugian negara. Jadi janganlah mencari-cari kesalahan manusia yang selagi menjabat dan menjalan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab, karena manusia tidak sempurna," papar Teguh.

Masih menurut Teguh, jika proses pembelian Heli AW 101 sudah final. Kemudian BPK melakukan audit dan ditemukan kekeliruan atau kesalahan dalam angka pembelian. "Ketika BPK menyatakan ada kesalahan, itu aja di Undang-Undang Keuangan Negara diatur adanya kesempatan untuk membetulkan atau perintah pembetulan. Supaya dibetulkan, bukan langsung ujug-ujug ini ada penyimpangan atau korupsi ga bisa seperti itu," Imbuh Teguh.

"Kasih kesempatan, ada klarifikasi segala macam jadi jangan secara sembrono kemudian langsung menjustifikasi ohh ini perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan yang merugikan keuangan negara, ini merupakan suatu perbuatan korupsi, jangan dulu," pungkasnya.

 

 

Ikuti tulisan menarik Ricky Sandriano lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler