x

Ilustrasi enkripsi. (Huffington Post)

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antara Berpikir Linier dan Berpikir Lateral

berpikir lateral mengajak kita untuk pindah dari eksistensi ide yang sudah ada ke suatu ide baru yang berbeda

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kekuatan aqliyya (akal) merupakan senjata berpikir manusia moderen. Namun sesungguhnya, konstruksi konsep berpikir tidak hanya bersandar pada alur ilmiah dan logis yang bersifat linier. Tetapi juga beyond the linier thinking atau out of the box yakni cara-cara berpikir kreatif “menyamping” yang disebut “lateral thinking” (Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking, 1967). Alur ilmiah dalam tataran paradigma positivisme sangat berguna dan mutlak diperlukan keberadaannya bagi pengembangan ilmu pasti alam (exacta and natural science). Pada sisi ini kekuatan berpikir linier memang sangat perlu ditumbuhkan karena terkait dengan konsistensi pada hasil keilmuan. Sesuatu disebut ilmiah dalam arti terukur dan empirik apabila proses dan prosedur yang dilalui mengikuti kaidah ilmiah yang telah tertata secara linier. Semakin ketat, rigid dan prosedural urut-urutan proses dilakukan semakin bagus hasil yang akan diperoleh. Proses ini diperlukan dalam mengembangkan produk-produk yang dihasilkan dari bidang keilmuan yang dipayungi oleh paradigma positivistik. Oleh karenanya, penelitian ilmu alam, ilmu eksakta, dan ilmu-ilmu diluar ilmu kemanusiaan amat cocok untuk mengembangkan prosedur linier ini.

Pada dasarnya berpikir lateral mengajak kita untuk pindah dari eksistensi ide yang sudah ada ke suatu ide baru yang berbeda namun memiliki hubungan dengan ide awal. Jadi, berpikir lateral merupakan hal yang terkait dengan kondisi-situasi mengemuka. Hanya saja berpikir secara lateral bukan menciptakan ide baru secara linier yang berurutan tetapi menemukannya secara “menyamping”. Berpikir kritis dalam konteks penerapan berpikir lateral merupakan keniscayaan yang mengejawantahkan tumbuh–kembangnya  cikal bakal produk-produk kreativitas manusia. Kalau berpikir linier mengajak kita mengungkapkan gagasan secara berurutan dan ajeg, maka berpikir lateral sebaliknya, ia mengajak kita agak “nyeleneh” dan tak mesti berurutan disesuaikan dengan azas pemanfaatannya.

Pada sisi tertentu dalam pembinaan sumber daya manusia (SDM) ruang berpikir linier diperlukan. Tetapi, pada titik lainnya implementasi dari pemikiran lateral yang dibutuhkan dan didorong untuk terwujud agar organisasi dapat mengantisipasi perkembangan dari dinamika organisasi. Dalam konteks ini baik berpikir linier maupun berpikir lateral sebaiknya memperoleh tempat yang seimbang dan dapat dimanfaatkan sesuai peruntukkan.

Pada saat ini diketahui bahwa dominasi pemecahan masalah dalam dunia pendidikan lebih pada cara-cara berpikir linier yang mengikuti alur prosedur ala ilmu-ilmu alam dan eksakta yang rigid, pasti, ajeg, terukur dan empirik. Cara berpikir ini terus merambah ke ilmu-ilmu lain yang sebenarnya nature dan sifat keilmuannya berbeda. Ibarat virus, penyebaran cara berpikir linier terus merasuk ke relung-relung kehidupan manusia sehari-hari disamping tentunya menular ke bidang keilmuan selain ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan berbagai ilmu sosial kemanusiaan lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akibat penanaman cara-cara berpikir linier yang demikian panjang dan sudah bertahun-tahun lamanya sejak dari jenjang pendidikan awal (TK/SD) hingga perguruan tinggi, maka pola-pola berpikir manusia Indonesia pada umumnya juga mengikuti atau mempunyai ciri-ciri yang linier seperti prosedural, kaku, sempit dan seragam. Tak terkecuali para pemangku kebijakan dibidang pendidikan di negeri ini masih kerap menganalisis masalah-masalah yang muncul dari sudut pandang cara berpikir linier tersebut. Sebagai contoh, ketika pendidikan tinggi masih dalam kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) pernah berwacana menyiapkan sistem penjaringan yang berbasis nilai rapor untuk masuk perguruan tinggi. Memahami bahwa nilai rapor setiap sekolah tidak sama standarnya maka Dikti menyiapkan rumus kuantitatif untuk menstandarisasi nilai-nilai rapor dari sekolah yang berbeda itu. Ini merupakan cara berpikir linier.

Cara berpikir linier dipengaruhi oleh paradigma pembelajaran ilmu eksakta dan alam yang mengutamakan pendekatan kuantitatif.  Padahal, jangankan antar daerah, di satu daerah saja standar nilai rapor di setiap sekolah bisa berbeda-beda. Namun pihak Dikti yakin mampu menstandarisasi nilai-nilai rapor dengan mengutak-atik nilai-nilai dengan rumus-rumus yang telah disiapkan. Formula yang diajukan Dikti ini terkesan menafikan masalah non kuantitatif atau yang bersifat kualitatif seperti fasilitas, sarana prasarana pendidikan, metodologi, kualitas guru, manajemen sekolah serta berbagai ketidak-seragaman lainnya yang biasa tampak di dunia pendidikan.

Fenomena di atas menggejala tidak hanya di dunia pendidikan tetapi juga dirasakan dan ditemukan pada komunitas sosial masyarakat dan organisasi lain termasuk organisasi pemerintah yang kerap dikeluhkan publik. Berbagai persoalan yang dihadapi organisasi pemerintah misalnya di Kementerian Agama dari waktu ke waktu kian kompleks dan tak kunjung terurai secara baik untuk ditangani dan diatasi dengan hasil signifikan. Organisasi pembawa spirit keagamaan itu malah tak mampu menjadi contoh yang patut untuk ditiru oleh organisasi lain. Terdapat kesenjangan antara spirit keagamaan yang diemban dan prakteknya.

Singkatnya, cara berpikir linier dalam tataran postivistik sudah cukup lama mendominasi kehidupan kita sehari-hari, mulai dari rakyat biasa hingga para elite yang diberikan amanah selaku pemegang kebijakan dan pemangku kepentingan di negeri ini. Institusi pendidikan mengambil alokasi cukup besar dalam menanam-suburkan cara-cara berpikir linier ini. Memang tidak selalu salah mengembangkan cara berpikir linier, hanya saja porsi untuk menumbuh-kembangkan berpikir model ini mestinya seimbang dengan cara berpikir lateral. Di negeri ini ketimpangan antara kedua cara berpikir tersebut masih tampak mencolok dan pada umumnya cara berpikir linier ini sangat dipelihara dan dimanjakan.

Disisi lain sebenarnya cara berpikir lateral pun dibutuhkan dan perlu disebar-luaskan sebagai bagian dari pengembangan kualitas SDM putra-putri bangsa. 'Lateral thinking' merupakan kekayaan potensi yang terdapat dalam diri individu manusia yang perlu diwujudnyatakan melalui sejumlah kondisi kondusif. Jika kita membuka diri bagi tumbuh-kembang cara berpikir lateral ini, maka organisasi yang mandek, stagnan dan jumud akan dapat dirubah menjadi lebih dinamis dan produktif. Kekuatan aqliyya yang diberdayakan di suatu organisasi semestinya meliputi juga cara berpikir lateral.

Oleh: Aries Musnandar

Peneliti dan Dosen Pascasarjana Universitas Raden Rahmat (UNIRA) Malang, Anggota Dewan Pakar IKA Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Penasehat CIES FEB UB

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler