x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Insiden Merah Putih di Sea Games Kuala Lumpur

Permohonan maaf, selain mengakui kesilapan, juga mengandung makna menghargai pihak yang telah diperlakukan tidak selayaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski kasusnya sangat mengagetkan dan menyakiti hati, namun saya termasuk orang yang tidak terlalu kaget ketika melihat foto bendera Merah-Putih Indonesia, yang beredar di berbagai media online, yang memperlihatkan sang Saka Merah Putih terpasang terbalik menjadi putih-merah, yang diedarkan di buku panduan acara Sea Games.

Lho, kok, tidak kaget? Sebab lebih dari itu, Malaysia pernah dan mungkin masih akan melakukannya. Itu alasan utama mengapa saya tidak terlalu kaget.

Dan seperti bisa diduga sebelumnya, ketika muncul berbagai protes, kontan Jawatankuasa Pengelola Malaysia (Malaysian Organizing Commettee = MASOC) melayangkan permohonan maaf atas kesilapan yang tak disengaja. Selain itu, Menteri Belia dan Sukan Malaysia, Khairy Jamaluddin juga menyampaikan permohonan maaf resmi Pemerintah Malaysia, secara lisan, kepada Menpora Imam Nachrawi di Hotel Shangri-la Kuala Lumpur pada 20 Agustus 2017.

Namun saya harus menyampaikan beberapa catatan, yang mohon maaf, bila terkesan kasar juga:

Pertama, jika melay-out bendera semua negara dalam satu page aplikasi di komputer, memang ada kemungkinan terjadi kesalahan, misalnya bendera bertukar negara, atau tertempel terbalik. Tapi jika hanya menyusun 10 bendera negara, lalu seseorang melakukan kesalahan memasang bendera secara terbalik untuk sebuah event sekelas Sea Games, rasa-rasanya sulit diterima sebagai kesilapan.Saya menilainya sebagai upaya test the water oleh oknum di kepanitiaan MASOC. Mengacu pada beberapa kasus sebelumnya, saya bahkan berkesimpulan bahwa ada upaya kebudayaan yang mencoba dan berusaha agar bangsa Indonesia tidak memiliki kepercayaan diri.

Kedua, mungkin ada yang mengatakan, apalah arti sebuah bendera, yang lebih sebagai simbol kebudayaan, sebelum diposisikan sebagai simbol negara. Benar juga. Tapi coba deh, ada orang yang bernama “Yusuf” atau “Josep”, dipanggil “setan” atau “iblis”, tentu si Yusuf dan Josep akan marah besar. Jadi, nama dan simbol itu amat peting, Bung.

Ketiga, banyak juga orang yang mengatakan, bahwa berdasarkan sejumlah kasus sebelumnya, Malaysia adalah gambaran tetangga rumah, yang di depan publik bisa bersikap sangat ramah, dan di hatinya tersimpan kedengkian dan kebencian.

Keempat, harus jujur juga disampaikan, kita pun sebagai bangsa dan negara harus memposisikan diri, yang membuat atau memaksa tetangga jahat itu tidak berlaku jahat. Dan mohon maaf, kita belum dan masih sering lalai melakukannya secara maksimal. Jutaan WNI yang mencari kehidupan di Malaysia – dan di Malaysia dipanggil mengejek dengan sebutan “orang Indon” – merupakan salah satu titik kelemahan negara dan bangsa Indonesia dalam menghadapi atau ketika berhadapan dengan Malaysia.

Kelima, menghadapi tetangga yang jahat, jika perlu, kita mungkin kadang perlu untuk memperlakukannya dengan kasar dan jahat juga. Tujuannya untuk membuat jera. Namun jika kita cenderung melakukan pembiaran, tetangga itu akan semakin menjadi-jadi.

Keenam, nasionalisme itu bukan ruang hampa. Tidak cukup dengan slogan dan pidato berapi-api. Nasionalisme adalah harga diri. Dan jangan berharap orang lain akan menghargai diri kita, bila kita sendiri tidak menghargai diri sendiri.

Ketujuh, dalam konteks regional, kebangkitan Indonesia di berbagai bidang, dalam beberapa dekade ke depan, memang menjadi alasan keresahan banyak tetangga di lingkungan ASEAN. Dan dengan segala kekurangannya, jika dikelola dengan baik dan benar, Indonesia memang memiliki semua syarat untuk menjadi bangsa dan negara yang besar. Kayaknya, poin inilah yang membuat banyak tetangga berusaha untuk menghambat itu. Dan saya pastikan, upaya itu tidak akan berhasil. Kemajuan dan kebangkitan Indonesia tinggal persolan waktu saja, you like it or not.

Kedelapan, permohonan maaf yang disampaikan secara resmi oleh Pemerintah Malaysia melalui MOSAC dan Menteri Belia dan Sukan (semacam Menpora), plus penggantian dan pencetakan buku panduan baru, harus dihargai juga. Sebab permohonan maaf, selain mengakui kesilapan, juga mengandung makna menghargai pihak yang telah diperlakukan tidak selayaknya.

Syarifuddin Abdullah | 21 Agustus 2017 / 28 Dzul-qa’dah 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler