x

Sejumlah siswa SDN 07 Kapot, berpose sambil menggunakan bantuan perlengkapan sekolah dari Presiden Joko Widodo di Bengkayang, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. (Dokumentasi Istana Kepresidenan)

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penguatan Karakter Bangsa Dalam Perspektif Akhlak

Ternyata terbukti dari hasil riset bahwa 80% keberhasilan unjuk kerja adalah andil dari faktor EI

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aksi dan perilaku negatif di masyarakat mulai dari demo anarkis, tawuran, KDRT, tindak korupsi, perilaku a-susila hingga bullying yang  acapkali terjadi di lembaga pendidikan merupakan wujud-wujud perbuatan tak terpuji atau lahir dari akhlak tercela. Sedang akhlak tercela dipastikan berasal dari orang bermasalah dalam keimanan yang merupakan manifestasi sifat syaitan dan iblis yang tugas utama dan satu-satunya menjerumuskan manusia agar tersesat dari koridor agama.

Agama manapun tidak membiarkan perbuatan tercela dan tidak mentolerir tindak kekerasan. Nabi Muhammad sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Islam mengarahkan umatnya menjadi mukmin atau bertakwa. Orang yang bertakwa sejatinya mempunyai akhlak terbaik (mulia). Dalam kamus bahasa Indonesia yang mendekati makna akhlak adalah budi pekerti. Senyatanya bahwa di Indonesia budi pekerti anak bangsa hingga kini masih menjadi persoalan besar, hingga dimunculkan istilah pendidikan karakter oleh pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah.  UU Sisdiknas no 20 tahun 2003  telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia sebagai suatu tujuan penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya kekerasan dan perilaku negatif yang dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita miris dan prihatin. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mengaku beragama, padahal agama memerintahkan umatnya untuk berperilaku rahmatan lil alamin, yakni membahwa rahmat dan berkasih sayang dengan sesama bahkan menjadi makhluk yang bermanfaat  bagi semesta alam yang menjaga keberlangsungan kehidupan di dunia ini secara aman dan damai..

Pada awalnya, era reformasi di Indonesia yang digulirkan belasan tahun lalu diharapkan dapat merubah struktur, sistem dan budaya yang buruk menuju perubahan bermakna, namun kenyataan tidak demikian. Keterpurukan multi dimensi masih merebak yang sesungguhnya bersumber pada kualitas karakter anak bangsa yang buruk. Hal ini mengindikasikan ada yang keliru dalam proses pembinaan (baca: mendidik) anak bangsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebenarnya, sejak orde baru berkuasa pemerintah Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Jumlah anak usia sekolah yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah makin besar. Jumlah  anak usia sekolah yang mendaftar sekolah dasar dan menengah secara statistik menurut data Bank Dunia lebih tinggi dibanding Negara-negara ASEAN lain. Namun, prestasi ini tidak disertai dengan prestasi bersifat kualitatif.

Meski secara kuantitatif pembangunan pendidikan di jenjang SD dan sekolah menengah menunjukkan hasil impresif terutama sejak keluarnya instruksi presiden (Inpres) SD tahun 1970 an - sehingga ketika itu pemerintah berani mencanangkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun -, namun dari segi kualitatif kinerja sistem pendidikan nasional justru semakin merosot. Rendahnya mutu lulusan pendidikan disebabkan pembelajaran di sekolah masih terpaku pada paradigma dan cara-cara pengajaran (pembelajaran) tradisional berupa penerusan informasi yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal (T. Raka Joni 2005). Kerangka pikir penerusan informasi yang telah bercokol lama merupakan kendala dalam pembentukan karakter anak didik. Pembelajaran semestinya menghasilkan insan-insan dengan kecakapan emosional prima sebagai unsur penting pembentukan karakter.

Temuan penelitian bahkan mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan menerima, mengenal dan mengelola emosi merupakan dasar dari berbagai kecakapan sosial dan emosional yang diperlukan. Ternyata terbukti dari hasil riset bahwa 80% keberhasilan unjuk kerja adalah andil dari faktor EI, sedang 20% lainnya berasal dari  IQ atau kemampuan intelektual (Daniel Goleman 1995). EI terkait dan sering ditemui dalam kecakapan insani (bagian dari akhlak) seseorang atau bagian dari soft skills (kecakapan insani).

Oleh karena itu kecakapan insani sangat memegang peran membentuk peradaban mulia. Hal ini berkaitan dengan akhlak mulia yang dalam sistem pendidikan nasional kita telah dengan tepat dimasukkan sebagai tujuan pendidikan nasional. Tetapi sayang secara masif kegiatan pendidikan masih belum berhasil menjadikan anak bangsa berkarakter sesuai harapan.

Akhlak terpuji.

Dalam agama akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga amanah, dapat dipercaya, bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai harkat dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu, menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan ekosistem, serta bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan bersama. Keberadaan Nabi sesungguhnya demi menyempurnakan akhlak umat manusia.

Akhlak Nabi yang dipaparkan diatas menunjukkan tiada lain bahwa kehidupan manusia semestinya bersandar pada segala perilaku positif dan tindakan terpuji. Akhlak yang mulia sejatinya ajaran substansial agama. Belum disebut sebenar-benarnya bertakwa seseorang itu apabila ia tidak menunjukkan perilaku akhlak yang mulia Dari perspektif Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia merupakan "buah" dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari'ah.

Akhlak Tercela

Contoh akhlak tercela yang sering mengemuka adalah pemaksaan kehendak sekelompok masyarakat dalam bentuk tekanan bahkan kekerasan. Sifat Al-Ghadhab atau mudah marah ketika kondisi emosi seseorang yang tak terkendali oleh kesadarannya yang memunculkan perilaku tidak menyenangkan terhadap orang lain. Perbuatan tercela semacam ini dipastikan berasal dari orang yang bermasalah dalam keimanan. Akhlak buruk merupakan manifestasi dari sifat-sifat syaitan dan iblis yang tugas utama dan satu-satunya untuk menjerumuskan manusia di dunia ini agar berperilaku menyimpang tidak sejalan koridor ajaran agama.

Kultur paternalistik yang tumbuh di kalangan masyarakat membutuhkan pengaruh dari tokoh-tokoh yang menjadi model. Dari sisi pembelajaran sosial diungkap bahwa perubahan perilaku dengan terbentuknya karakter bangsa melalui pendidikan akan dapat efektif apabila para elite pemimpinnya ikut aktif  menampilkan berbagai contoh keteladanan (Albert Bandura 1986).

Peran Tokoh Agama

Dari paparan diatas kiranya porsi muatan akhlak perlu  seimbang dengan muatan syariah dan akidah tatkala da’i atau juru dakwah menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.  Akhlak atau budi pekerti memainkan peran penting dalam kehidupan antar umat beragama. Perbuatan dan tingkah laku terpuji tersebut diatas jarang disosialisaikan/dipraktekkan secara nyata, merata dan berkelanjutan oleh para pendakwah atau pemuka agama. Kekuatan dakwah di negara kita masih seputar dakwah bil lisan (dakwah dengan kata-kata) yang acapkali disiarkan sejumlah media cetak dan elektronik. Memang tidak salah berdakwah seperti itu, Hanya saja dakwah bil lisan perlu diikuti atau bersamaan dakwah bil hal (dakwah dengan contoh perbuatan yang terpuji). Kata dan  perbuatan satu hal yang berbeda. Manusia dapat saja lihai menjelaskan ajaran agama dengan kata-kata tetapi belum tentu mahir dalam berperilaku terpuji. Justru orang yang tidak menyatukan kata dan perbuatan termasuk melecehkan ajaran agama itu sendiri jika dia mengaku beragama. Pesan kedamaian yang dikandung dari akhlak terpuji bila benar-benar dipraktekkan secara nyata akan mampu menciptakan iklim kerukunan umat beragama yang hakiki.

Para ustad, Kyai, Pendeta, Pastor, Bikhu atau penggiat dakwah lainnya paham makna penting posisi akhlak dalam hidup dan kehidupan. Perilaku pemimpin/tokoh masyrakat yang berada dalam pusaran perilaku tercela ditambah lagi miskin empati terhadap penderitaan umat (rakyat) bisa menafikan hasil dari pendidikan karakter. Sehingga karakter bangsa yang diharapkan tersebut menjadi tidak dapat terwujud. Pengejawantahan ajaran Agama sesungguhnya berdasar pada perilaku pemeluknya dan para tokoh agama memegang peran sentral dalam proses perwujudannya.

 

Oleh: Aries Musnandar

Peneliti & Dosen Pascasarjana Universitas Raden Rahmat (UNIRA) Malang

Dewan Pakar IKA UNJ

Penasehat CIES FEB UB (Universitas Brawijaya), Malang

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB