x

Presiden Jokowi (kiri) disambut Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh di Sekretariat ASEAN, Jakarta, 11 Agustus 2017. Kunjungan Presiden tersebut dalam rangka memperingati 50 tahun ASEAN. ANTARA/Rosa Panggabean

Iklan

wahyu wicaksana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ambivalensi Indonesia di ASEAN ~ I Gede Wahyu Wicaksana

Ironisnya, setelah gerak sentrifugal ASEAN diakselerasi, Indonesia justru tambah intensif bermain di luar ASEAN.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

I Gede Wahyu Wicaksana

Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Surabaya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa depan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memang sangat bergantung pada kontribusi Indonesia, karena Indonesia-lah yang paling banyak berkorban demi menjaga kelangsungan ASEAN. Namun perkembangan satu dekade terakhir menunjukkan sikap Jakarta yang ambivalen.

ASEAN didirikan pada 8 Agustus 1967. Tiga puluh tahun kemudian, Indonesia menjadi "kakak" bagi anggota lain. Ia senantiasa siap hadir demi menegakkan keutuhan dan kesatuan ASEAN. Pada 1971, Malaysia mengajukan proposal untuk merangkul Tiongkok guna mengantisipasi perluasan pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia menolak dengan dalih kedatangan Tiongkok bisa jadi mengundang intervensi Washington dan Moskow secara langsung, yang pada gilirannya ASEAN jatuh ke pergolakan militer.

Malaysia, Singapura, dan Filipina juga pernah mendesak agar ASEAN menerima usul pakta pertahanan dari Amerika Serikat untuk menghalau bahaya komunisme. Sekali lagi, Jakarta tidak setuju. Alternatifnya, Indonesia merintis Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), serta penerapan konsep ketahanan regional dan nasional di kawasan Asia Tenggara. Intinya, solusi bagi masalah ASEAN harus ditemukan dan dilaksanakan sendiri oleh ASEAN dengan berlandaskan pada kekuatan sendiri.

Indonesia tidak hanya bicara. Gagasan independensi ASEAN diwujudkan melalui upaya diplomasi Jakarta untuk mendamaikan perang saudara di Kamboja. Sepanjang 1980-an, isu Kamboja mendominasi forum dan menguras energi diplomasi Indonesia. Perdamaian Kamboja membuat masyarakat internasional yakin akan keampuhan ASEAN dan khususnya keandalan diplomasi Jakarta. Dengan demikian, Indonesia dan ASEAN dijuluki dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.

Kegaduhan mulai muncul setelah krisis keuangan Asia Timur. Posisi Indonesia kerap disepelekan. Gonjang-ganjing ekonomi dan politik dalam negeri memang mempengaruhi kewibawaan Indonesia di mata ASEAN. Indonesia dipandang tidak kredibel, misalnya dalam urusan hak asasi manusia di Myanmar, gagal menangani kabut asap, lemah melawan terorisme, menerapkan kebijakan dagang proteksionis padahal mensponsori perdagangan bebas, dan beraneka ragam persoalan intra-ASEAN yang menyudutkan Indonesia. Sebagai jawaban atas kritik itu, Jakarta membidani kelahiran Piagam ASEAN 2007 sekaligus memperingati 40 tahun ASEAN. Jakarta mentransformasi kolaborasi ASEAN menjadi multilateralisme terintegrasi. Konsep rumit ini mengisyaratkan agar ASEAN lebih bersatu dan padu dalam berbagai bidang ekonomi, politik, keamanan, sosial, dan budaya.

Ironisnya, setelah gerak sentrifugal ASEAN diakselerasi, Indonesia justru tambah intensif bermain di luar ASEAN. Dalam G-20, Indonesia selalu menyebut diri sebagai satu-satunya wakil ekonomi paling berkembang dari Asia Tenggara, seakan mengabaikan eksistensi kolega ASEAN. Bermunculan spekulasi bahwa Jakarta menganggap keberadaan ASEAN membelenggu peran global Indonesia.

Pada pertemuan puncak 60 tahun Konferensi Asia-Afrika 2015, Indonesia secara terbuka menyebutkan momentum kebangkitan mega-regionalisme Dunia Ketiga melawan dominasi kekuatan industrialis Barat. Pernyataan ini disambut hangat oleh delegasi dari Afrika dan Asia, selain anggota ASEAN. Mungkin tidak disadari oleh para diplomat di Jakarta, pernyataan-pernyataan penting mengenai kebijakan luar negeri Indonesia akhir-akhir ini lebih sering disampaikan di tengah arena diplomasi non-ASEAN-sesuatu yang dapat menyinggung kohesi sesama anggota. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia melontarkan ide Kemitraan Indo-Pasifik yang melampaui jangkauan ASEAN. Presiden Jokowi mencetuskan poros maritim dunia tanpa menjelaskan sedikit pun tentang peran ASEAN.

Pada 2012, Indonesia mendorong pengembangan skema kerja sama ekonomi komprehensif (RCEP) sebagai formula kompleks dari kemitraan ekonomi ASEAN-1, yang mencakup 16 negara termasuk Australia, India, Jepang, dan Tiongkok. RCEP dimobilisasi untuk menandingi Trans-Pacific Partnership besutan Amerika. Namun, seperti biasa, dalam proses negosiasi program kerja sama ekonomi regional, Indonesia termasuk partisipan yang paling sengit menolak point-poin liberalisasi nontarif. Seorang diplomat senior Singapura bahkan mengkritik sikap maju-mundur Indonesia seperti "kurang yakin dan tidak serius". Keluhan juga pernah diutarakan oleh perwakilan ASEAN yang mengibaratkan kebijakan proteksionisme Indonesia merugikan tujuan bersama.

Ambivalensi ini sejalan dengan tradisi politik yang lahir dari persepsi sarat kontradiksi. Di satu sisi, Indonesia adalah negara besar yang ditunjang oleh ekonomi, demografi, dan posisi yang unggul. Namun, di sisi lain, ia waswas terhadap ancaman sistem kapitalisme global. Karena itulah marak respons seperti anti-globalisasi, anti-Barat, dan anti segala hal lain yang bernuansa non-Indonesia. Walhasil, di luar negeri Indonesia lantang menyuarakan dukungan terhadap liberalisme dan universalisme, tapi di dalam negeri sibuk menutup diri. Bila tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin ASEAN akan jadi organisasi antarbangsa yang membuat banyak proses tapi sedikit kemajuan.

Ikuti tulisan menarik wahyu wicaksana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler