x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalaluddin Rumi: Pemimpin dan Janji-Janji

Datanglah, meski telah engkau langgar janjimu seribu kali. Datanglah, dan datanglah lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin, MA

 

"Datanglah, meski telah engkau langgar janjimu seribu kali. Datanglah, dan datanglah lagi. Kumpulan kita bukan kafilah keputusasaan." Itulah Jalaluddin Rumi yang sedang melukiskan bagaimana manusia harus bertobat kepada Tuhannya. Tak ada batas untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki kesalahan. Dosa tak lagi dipandang sebagai sebuah yang final bagi kehidupan manusia. Dosa adalah perbuatan kelalaian yang dapat dikasihi oleh Tuhan.

Laiknya sebuah janji, manusia diberi banyak kesempatan untuk membuat janji-janji. Manusia menyusun harapan-harapan sebagaimana ia juga berharap. Janji adalah cita-cita bersama yang dikehendaki bersama. Janji-janji manusia adalah definisi kehendak bersama antar manusia. Kehendak yang diluhurkan. Kehendak yang diusahakan. Apalagi janji itu mengikatkan diri (bersama) dengan restu Tuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan langgar janjimu, karena pelanggaran terhadap janji itu adalah memutuskan kesucian harapan-harapan dan ikatan-ikatan. Tapi, kehidupan manusia kadangkala memaksa orang untuk melanggarnya. Walau dengan demikian Tuhan kerap memanggil umatnya untuk tetap bertobat: "datanglah, meski telah engkau langgar janjimu". Tuhan setiap saat membuka diri untuk dihampiri oleh manusia yang telah membuat kesalahan. Tuhan meneguhkan sikap dan hati manusia untuk selalu datang kepada-Nya.

Memanggil terus menerus umat manusia karena dia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Penerima mandat kepemimpinan untuk mengurusi kehidupan di dunia ini.

Jalaluddin Rumi mengingatkan kita bahwa kita bukanlah kumpulan orang-orang yang (selalu) berputus asa. Kita adalah makhluk terhormat, makhluk terbaik. Makhluk yang diciptakan untuk mengurusi (kehidupan) dunia ini.

Dunia kehidupan bukanlah semata-mata perlombaan untuk menebar kebaikan, sekaligus (juga) menebar kejahatan. Dunia kehidupan adalah episode manusia untuk mempraktikan ketundukan kepada Tuhan yang menciptakannya. Dunia kehidupan sering dipenuhi oleh dinding-dinding yang dibuat atau diciptakan manusia untuk membatasi orang yang hendak mencapai ketundukan dan ketaatan kepada Tuhan. Oleh sebab itu, dunia kehidupan sering diwarnai oleh hiruk-pikuk kepentingan manusia. Hiruk-pikuk yang acap tak terlalu berhubungan dengan kehendak Tuhan. Itulah pertobatan diperlukan.

Saling menghargai janji diteguhkan. Pelanggaran dinafikan. Setiap pintu hati dibukakan agar kehidupan manusia memiliki dimensi ketuhanan. Lantas Jalaluddin Rumi berkata lagi: "Kenapa susah-susah membuka pintu di antara kita, padahal seluruh dinding (yang engkau ciptakan) hanyalah ilusi" (Haidar Bagir, 2015).

Dinding yang kita ciptakan itu bisa saja berbentuk amal ibadah. Setiap orang beramal, begitu juga setiap orang beribadah.

Ada kelompok orang yang dalam hidupnya mengandalkan amal mereka. Mereka menggantungkan keselamatan diri mereka kepada amal ibadah. Mereka tak menggantungkan keselamatan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa agama, mereka yang menggantungkan dirinya kepada amal dan ibadah sering disebut sebagai para abid (orang yang tekun beribadah).

Tetapi ada juga sekelompok orang yang menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Kelompok orang ini sering disebut sebagai murid. Kelompok orang ini memperkakukan amal ibadah sebagai usaha menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, menghapuskan perbuatan ingkar akan janji (kepada sesama manusia dan Kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Dalam paham keagamaan, kedua kelompok orang tersebut taklah cukup memadai untuk (dianggap) menjadi orang yang diridhoi Tuhan. Karena tindakan dan keinginan mereka terlahir dari dorongan-dorongan nafsu dan sikap percaya diri yang berlebihan. Mereka (selalu cenderung) menganggap bahwa amal ibadah itu merupakan perbuatan diri mereka sendiri. Kemudian mereka yakin sekali bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan. Mereka sesungguhnya, bukanlah orang-orang yang mengenal Tuhannya dengan baik.

Jika orang mengenal Tuhannya dengan baik, dalam bahasa agama sering disebut sebagai arief, maka orang itu tak sedikitpun bergantung dengan amal ibadah yang mereka lakukan. Tak bergantung pada "dinding-dinding" yang dibuatnya sendiri. Sebab pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan manusia sebagai makhluk, dengan meminjam terminologi yang digunakan oleh Ibnu Athailah Al-Iskandari, (2016) hanyalah "obyek penampakan" dari semua tindakan dan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya, orang tak boleh kehilangan harapan kepada Tuhan Yang Maha Rahmat.

Orang tak perlu terlalu banyak menyusun "dinding-dinding" pemisah yang memaksa keinginan-keinginan untuk segera terwujud. Orang acap tak sadar bahwa mereka hanya berputar-putar bertindak dan berprilaku sebagai "abid atau murid", tetapi orang lupa kepada kepasrahan total dan ketundukan tak berdaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepasrahan total dan ketundukan tak berdaya kepada Tuhan (merupakan dan) menjadi ciri orang yang arif.

Orang yang arif adalah mereka yang melihat konvergensi utuh antara usaha dan takdir Tuhan Yang Maha Esa atas dirinya. Oleh karena itu, marilah kita berusaha sekuat tenaga tak hanya sekedar menjadi "abid atau murid", tetapi bergerak maju (berkehendak) menjadi "arif”. Memang usaha ke arah itu tak mudah, memerlukan kerja keras, membutuhkan kesungguhan, dan menepikan perasaan kesulitan serta hambatan.

Tapi, sekali lagi Jalaluddin Rumi menyatakan: "Saat orang memukul permadani, pukulan itu bukan untuk si permadani, tetapi buat debu-debu di atasnya. Kalau tak tahan digosok, kapan cerminmu akan mengkilat? Kesedihan (kesulitan, pen) adalah compang-camping mantel-mantel tua yang melindungi tubuh, kelak dicopot. Tinggallah rasa manis hasil tempaan keluh kesah". Semoga kita dapat beragama dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melampaui "dinding-dinding" yang kita ciptakan sendiri.

Penulis adalah Wakil Rektor I Universitas Negeri Jakarta-Ketua KAHMI UNJ

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler